Bab empat

1007 Words
Perempuan itu. Sanna. Melangkah masuk ke dalam area pemakaman umum yang letaknya tidak jauh dari permukiman warga yang ia tinggali hanya beberapa menit saja untuk mengendarai mobil atau motor ke kota Verona. Ia menemui salah sanak saudara dari korban yang tewas, Sanna tau sekali bagaimana perasaan ditinggalkan oleh keluarga sendiri. Perempuan itu tentunya tidak sendirian ke sana, ia bersama dengan Bellagio yang sejak datang enta hilang ke mana. Suasana mengayun sendu semua orang berdoa, agar si korban dapat diterima oleh Tuhan mereka. Tiba-tiba terdengar suara letusan pistol yang mengarah dari belakangnya, seorang pria datang dengan menggunakan pakaian hitam-hitam serba ketutup. Membuat Sanna harus waspada dengan kedatangannya yang tak terduga. “Siapa kau?” tanya Sanna tanpa menurunkan senjatanya. Sosok itu tersenyum syahdu lalu berjalan mendekat, kearahnya. “Kau tak mengenaliku?” pria itu bertanya balik, Sanna mengernyit heran kemudian hendak menurunkan senjatanya yang sayangnya ia urungkan. Perempuan itu terus mencoba mengulur waktu hingga Bellagio datang, namun pria itu tak kunjung datang juga. Sanna mengulas senyum skeptis terhadap orang di depannya lalu memberi peringatan kepada orang-orang agar secepatnya mengungsi dari sana. Ada rasa kecurigaan terhadap orang yang lagi ia hadapi saat ini, kecurigaan yang sebenarnya itu adalah orang yang dirinya cari sedaritadi. “Jika aku mengenalmu, maka kita tak akan seperti sekarang bukan?” sosok dihadapannya tersenyum mengerikan, topeng yang ia kenakan terlalu membuat yang melihat risih. “Kau ... Benar juga,” “Siapa kau, jawab atau akan tau akibatnya telah berurusan denganku!” murka Sanna mulai jengah dengan permainan ini, pria itu masih belum mau menjawab seperti sedang mencari waktu yang tepat untuk melawan perempuan itu. Sosok yang berdiri di depannya itu tiba-tiba pergi meninggalkan perempuan yang sedang mengintrogasinya itu, Sanna hendak mau mengejarnya namun langkahnya dihentikan oleh Mark. Ya, pria itu tiba-tiba menyusulnya enta dengan alasan apa jelasnya. Pria itu memandangnya intens dari atas kebawah, perempuan itu yang terlihat risih langsung mengabaikan kepentingan pribadi Mark yang datang menemuinya. “Kau sedang apa di sini?” Mark menghentikan langkahnya lalu menyodorkan satu kaleng cola yang masih tersegel rapih. Sanna menerima itu dengan santainya, kemudian ia duduk dipinggir teras rumah duka. “Hanya kebetulan saja,” “Kau tau orang yang tadi bersamaku?” tanya perempuan itu penasaran ingin tahu. “Sepertinya dia anak buah bos geng mafia yang sedang aku selidiki.” Sanna menaruh kaleng cola itu dan menolehkan kepalanya ke samping menatap mata pemuda itu. Mark terlihat jujur saat itu juga pria itu tak tahu banyak tentang kasus yang sedang dia selidiki. Mengingat dirinya baru saja menangani kasus ini, pria itu memperingati perempuan disebelahnya untuk lebih berhati-hati dalam memilih tugas. “Kau harus berhati-hati, dia bukan orang yang sembarangan. Namanya Antonio Conte, anak buahnya ada di mana-mana jadi kau harus lebih waspada lagi. Apalagi kasus kita menyangkut kepentingannya itu.” Lanjutnya. Mark menepuk pundaknya lalu melangkah ke depan dan berjalan santai keluar dari pemakaman. La Beneamata. Pemakaman umum tempatnya itu tak terlalu jauh dari lokasi kejadian saat ini, meskipun Verona itu terlihat jauh tetapi sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya saat ini. “Seharusnya, kau memberitahu terlebih dulu sebelumnya, andai saja aku tau itu akan terjadi pasti ini tidak akan terjadi.” Keluh, Sanna yang tidak melirik pemuda itu sama sekali. “Emang aku tau tentang hal ini? Kau kan tau aku cuma menerima hasilnya saja.” Saat masih dalam perjalanan menuju rumah sakit mobil milik Mark dihalang oleh pria tua dan pria yang masih terlihat muda. Ketika mau berbalik arah yang berlawanan, mobil yang mereka kendarai langsung diserang oleh senapan berjenis accuracy international AS50 dan trackingpoin guns. Pada saat hendak mencari informasi tentang orang-orang itu. Namun waktunya tak memungkinkan untuk itu, sekarang yang harus lakukan adalah melawannya satu persatu. Dorrr. Dorrr. Dorrr. Ketika melindungi diri dari penyerangan tersebut, bahu kirinya terkena satu tembakan. Saat Sanna merasakan sesuatu mengenai dirinya sendiri, ia tak peduli tentang rasa sakit yang ia terima. Namun lain dengan Mark yang melarangnya untuk melakukan apapun, pemuda itu tak ingin terjadi sesuatu yang lebih pada perempuan disebelahnya itu. “Kau tak perlu memaksakannya, bahumu terluka. Jika kau tidak beristirahat sejenak itu akan memperburuk kondisimu sendiri.” Oceh Mark yang tak dipedulikan oleh perempuan itu. Dorrr. Dorrr. Dorrr. “Tsk ... Bahuku, akhh ...” ringisnya, kesakitan. Pemuda berdecak lalu menariknya bersembunyi dibalik belakang mobilnya. Pemuda itu mengikat kain yang ia sobek dari bajunya dan membalutnya pada luka perempuan itu. “Sudah aku bilang jangan ceroboh!! Lihatlah!!” amuk, pria itu yang gemas dengan tindakan ceroboh Sanna. Perempuan itu mendengus dingin lalu memutar bola matanya malas. “Mark! Dibelakangmu!” pekik, Sanna yang mendorong tubuh besar pria itu. Mark terkejut melihat itu, Sanna tertawa sinis kemudian melengos pergi meninggalkan pria yang masih terperangah. Sanna melemparkan senjatanya dan melawan semua anak buahnya Antonio dengan tangan kosong. Perempuan itu melawan orang-orang itu dengan perlawanan bela diri yang ia miliki. Brakk. Sreett. Saat perempuan menendang salah satu dari mereka, dirinya terpaku pada satu sosok yang ia kenal. Ya, itu Bellagio. Pemimpin mereka. Perempuan itu tentu terkejut dengan yang dia lihat akan tetapi ini bukan saatnya untuk urusan peribadi perempuan itu. Sanna harus tetap melawan mereka jika tidak ia akan mati sia-sia, Bellagio tersenyum miring liat perempuan itu. Dipastikan kali ini ia tak berpura-pura sebagai salah satu pihak dari teamnya yang palsu. Gedung tampak damai sampai suatu ketika kabar penyerangan dan pengkhianatan Bellagio terdengar sampai ke telinga pak pemimpin. Pak pemimpin terkejut lalu mengirim surat pemecatan Bellagio dan melacak markas Antonio Conte, pak pemimpin sendiri tak menyangka kalau ia akan seceroboh itu dalam memilih team untuk kasus ini. Kais memandang ruangan bosnya dengan cemas, sekertaris dari pak pemimpin itu menghubungi nomor pusat delegate intelligence lain. Kais menekan tombol darurat pada daily number yang tertera di buku telponnya. Sekertaris itu bahkan tak tau jika kalau sampai bosnya mendengar masalah tersebut akan terjadi berita besar. Pemimpin keluar dari ruangnya dan meminta agar sekertarisnya tak menghubungi siapapun termaksud pusat bantu. Namun sebelum diangkat perempuan itu mengakhir sambungan itu, dan menutup telpon kantornya, Kais tau itu bukan urusannya akan tetapi jika ini masalah kantor, maka itu adalah urusannya juga terlebih lagi apa yang telah ia lakukan untuk kantor selama ini sudah membuat dirinya mengabadikan hidupnya pada perusahaan itu. Sudah menjadi resiko apabila ada hal yang tidak diinginkan di kemudian hari dan sudah menjadi resiko juga jika dirinya melakukan suatu kesalahan dan Kais kehilangan pekerjaannya sebagai seorang sekertaris.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD