Bab tiga

1094 Words
Sanna pulang bersama Mark. Saat tadi mereka melakukan pencarian pemuda itu mengajaknya makan bersama di sebuah Cafe yang ada di dekat gedung pemerintah pusat. Pemuda itu tak cuma-Cuma mengajak Sanna makan bersama pria itu. Sanna diajak makan di cafe paling romantis di Italia. Secara harfiah, Mark mengajaknya kencan buta. Namun sepertinya Sanna tak menyadari hal tersebut, baginya ini hanyalah makan malam biasa saja. Sanna menggerakkan matanya gelisah karena hari ini semua jadi kacau banget. Pria yang duduk di depannya itu terus mengoceh tanpa menyadari perubahan ekspresi wajah perempuan yang ia ajak makan. “Aku perhatikan kau seperti sedang gelisah, ada apa?” perempuan itu terperanjat ketika Mark menegurnya. “Tidak,” elaknya. “Jika terjadi sesuatu katakan padaku, barang kali aku bisa membantumu.” pria itu berujar tulus pada wanita dihadapannya dengan raut yang serius. “Sungguh tidak ada apa-apa, kau jangan khawatir.” Mark memandang wajah Sanna dengan ragu, lalu pria itu menghela nafasnya berat. Hari sudah semakin malam dan perempuan itu ingin segera istirahat dan bertemu kasurnya tercinta mumpung besok hari liburnya. Sungguh Sanna sudah tidak sabar untuk berbaring di kasur busa miliknya. Setelah selesai makan keduanya langsung melajukan mobilnya keluar dari area parkir, pria itu menoleh sekilas dan mengulum bibir tipis saat melihat bahwa perempuan itu telah tertidur pulas di sampingnya. Mark menepikan mobilnya ketika sudah sampai di depan rumah perempuan itu. Pria itu menatapnya dengan tatapan sendu dan keluar dari mobilnya seraya menggendong Sanna yang tengah tidur. Saat di dalam rumah, Mark tak berani masuk ke dalam rumah lebih jauh jadinya pria itu mengantarkannya hanya sampai depan sofa saja. Pria itu juga sempat merapikan rambutnya yang terurai kedepan. Pria itu pergi meninggalkan rumah Sanna hingga perempuan itu benar-benar terlelap dalam tidurnya sendiri. Ponsel perempuan itu berdering membuat sang empunya merasa terganggu oleh suara dering ponselnya tersebut. Sanna masih mengabaikan panggilan suara itu, saat ponselnya kembali berdering lagi. Perempuan itu menjadi kesal dan beringsut dari sofa rumahnya, Sanna mengucek matanya yang memerah karena baru bangun tidur. Perempuan itu menyocokan jamnya dengan jam dinding, Sanna membelalakkan matanya ketika jam sudah menunjukkan pukul 6.25pm. Sanna segera membersihkan tubuhnya dan mencari perlengkapan rumah tangga untuk mengemas rumahnya yang masih sangat berantakan seperti kapal pecah. Bel berbunyi ketika ia menguncir rambut Hitam kecemasannya, perempuan itu melempar sembarangan arah sapu yang tengah ia pegang itu. Entah ada apa dengan raut wajah sekertarisnya pak walikota, malam-malam mendatanginya seperti ini. Sekertaris pak walikota tampak harap-harap cemas, ia seperti meminta pertolongan kepada Sanna. “Ada apa, Bu?” tanya Sanna menatapnya dengan tatapan intens. “Bisa bantu saya?” perempuan paruh baya itu mendadak nangis. Tak tau apa yang dirinya tangiskan, Sanna mengajaknya masuk ke dalam rumah. Perempuan tua yang masih menangis itu langsung berubah ketakutan dan menceritakan tentang hilangnya pak walikota beberapa hari lalu. “Sebenarnya pak walikota tidak menghilang begitu saja,” Isak sekertaris itu yang agak tersengal. Perempuan itu masih mendengarkan curhatan sekertaris itu. Sanna memberikan ia jeda waktu hingga saat perempuan itu kembali kepadanya, perempuan tua itu sudah agak lebih tenang. Dan perempuan langsing itupun juga menyiapkan alat tempurnya, mencatat informasi penting tentang pak walikota. Sanna melihat jam dinding sudah pukul 8.59pm, tanpa terasa waktu terus bergulir. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidur dan beristirahat hingga keesokan paginya. Perempuan itu mengantarkan sekertaris itu ke kamar yang dulu pernah ditempati oleh orang tuanya sendiri. Seharusnya malam ini adalah malam ketenangan Sanna namun karena ia tak tega pada perempuan tua itu yang dirinya sudah kenal dekat akhirnya, ia memutuskan untuk memecahkan kasus itu malam ini juga. Bahkan dirinya minum kopi berkafein sampai satu kotak dus sendiri hanya untuk bisa mendapatkan informasi lebih jelasnya lagi. Sanna mengambil jaketnya dan tas slim bag miliknya, perempuan itu mengembuskan nafasnya panjang, ia segera memakai topinya dan mengunci pintunya dari luar agar orang yang ada di delam rumahnya aman. Perempuan itu duduk di kursi taman seraya memerhatikan sekitarnya, dalam kata lain ia sedang memantau situasi yang tidak tepat ditengah malam seperti ini. Matanya membelalak ketika melihat pak walikota keluar seperti tak ada beban hidup. Perempuan itu terus mencoba memanggilnya, namun pak walikota seakan tak mendengar panggilan itu. Sanna yakin sekali itu adalah pak walikota, matanya masih sangat sehat untuk saat ini bahkan ia tak memakai kacamata minus apapun. “Hey! Pak! Pak walikota! Tunggu!” panggilnya yang masih mengejar orang yang dirinya anggap adalah pak walikota. Perempuan itu akhirnya menyerah dan berbalik arah pulang ke rumah, seketika itu seperti halusinasinya saja. Sanna membenturkan kepalanya perlahan dan kemudian ia mengaduh kesakitan pada bagian belakang kepalanya. Hampir saja dirinya gila hanya karena hal sepele seperti ini, Sanna memutuskan untuk tidur dan mengistirahatkan kepalanya sejenak dari kasus-kasus yang ia sedang tangani itu. Pagi ini sangat cerah namun sayangnya untuk pertama kalinya perempuan itu kesiangan bangunnya. Itu memang hari liburnya, akan tetapi jika keadaan mendesak teamnya bisa saja diminta untuk melaksanakan tugas di pagi buta seperti ini. Sanna memnium teh hijau yang sudah tersedia dimeja makannya, Sanna melirik kecil jam tangan dan mengabaikan semuanya saat itu juga, ketika ia hendak melanjutkan tidurnya dengan nyenyak. Tanpa adanya gangguan. Satu-satunya gangguan baginya adalah seorang pria yang bernama Mark. Sungguh hari ini adalah hari yang sangat damai bagi Sanna. Entah kenapa ia sangat suka hari Sabtu, itu adalah hari paling bahagia untuknya karena berjumpa dengan kasurnya tercinta. Jika ada yang mengetuk pintu atau menekan bel rumahnya buat menganggunya saja, dirinya bersumpah akan mengutuk orang itu. Mark mengerang frustrasi dengan kasus yang lagi ditanganinya, pemuda itu melengang pergi begitu saja. Ia terlalu kesal dengan pemimpin departemennya sendiri, walaupun tau ia tak akan ada gunanya melawan bosnya itu. Akan tetapi pemuda itu tak mau berpisah dengan Sanna, padahal kenyataannya Sanna bukan siapa-siapanya. Tapi ia sangat mencemaskan keadaan perempuan itu. Mark melangkah kakinya keluar dari gedung ini tak mau berlama-lama, pria itupun akhirnya menancapkan gasnya ke arah tol dan semakin menekan gas mobilnya ke arah Verona. Setelah sampai ia memantau situasi sekitar dan masuk ke dalam sebuah rumah yang tak berpenghuni. Pria itu berjalan santai, lalu menyapa seseorang yang ada di dalamnya, “pak walikota anda sudah merasa lebih baik?” pak walikota mengangguk dan tersenyum tipis pria itu. “Sudah lebih baik, terima kasih.” Ucapnya yang menyeruput secangkir teh panas. Mark menghela nafasnya panjang, lalu menyodorkan sebuah map yang pak walikota sendiri tak tau apa itu. Pak walikota meletakkan map itu diatas meja tanpa mau menyentuhnya sama sekali. “Bagaimana jika Sanna mengetahui bahwa kau tak menghilang namun bersembunyi.” Mark gak tau apa yang harus dia lakukan jika itu tak menyangkut kepentingan pribadinya sendiri. Setelah selesai berbincang dengan pak walikota, Mark memutuskan untuk pulang dan berpamitan pada pak walikota hingga tak sadar ada yang mengawasinya dari jauh. Bukan team Sanna. Dan juga bukan teamnya sendiri. Orang lain enta siapa orangnya, ia pun tak tahu karena itu baru akan dirinya selidiki setelah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD