BAD DAY

2258 Words
Ana masuk ke dalam lift dengan hembusan nafas lega. Dia baru saja menyelesaikan tugasnya untuk memeriksa pasien. Dia dalam lift dia bersandar. Rasanya lelah. Kakinya lemas dan bahunya mulai terasa pegal-pegal. Tiba-tiba lift berhenti di lantai sepuluh dan itu pertanda kalau ada orang di lantai sepuluh yang ingin turun, sama seperti dirinya. Ana menunduk, tak menghiraukan siapapun yang masuk. Orang itu menekan tombol agar lift ini turun ke lobby. Ana sempat melirik sekilas dari jenis pakaian yang dipakainya. Orang ini pasti bussiness man. Pakaiannya rapi dan tak lupa sepatunya yang luar biasa mengkilap. Pasti mahal, batin Ana. Terasa lama dan menimbulkan keheningan di dalam lift. Ana terbiasa dengan keheningan yang menurutnya membawa kedamaian, tapi tidak bagi orang yang masuk tadi. Orang itu bersuara. “Hai.” Suara itu terdengar familiar. Ana mendongak dan sedikit terperangah dengan penglihatannya. “Hai... selamat siang.” Sapa Ana dengan formal “Jadi kamu kerja di rumah sakit ini?” Ana meneliti penampilan pria di depannya. Benar dugaannya, pria itu begitu rapi. Dia memakai kemeja dan celana dasar yang terlihat begitu pas untuk postur tubuhnya. Jam tangan dan sepatu kulit mahal semakin memperjelas kalau dia memiliki kekayaan yang lebih. Ah, jangan lupakan dasi yang membuatnya sangat bossy. “Ana?” “Ah... Ya, saya bekerja di sini.” Jawab Ana agak terbata karena sebelumnya sibuk menilai penampilan pria di depannya. “Kamu beda ya...” “Maksudnya?” “Ya beda. Cara kamu berdandan pas di pesta itu sama cara kamu berdandan di rumah sakit, seperti sekarang.” Ana menunduk, melihat tubuhnya yang ditutupi oleh pakaian khas kedokteran yang tak ketat itu. “Ya, beginilah cara saya berdandan ketika di rumah sakit.” Singkatnya tanpa mau menatap laki-laki itu. Dalam dirinya ada perasaan tak suka karena dinilai dengan terang-terangan oleh laki-laki yang baru dikenalnya. “Santai aja, jangan kaku.” Ana menatap mata laki-laki itu untuk sesaat. Berbicara santai dengan laki-laki yang baru dikenalnya bukanlah hal yang akan Ana lakukan. Tapi untuk kali ini dia akan melakukannya. Suami Sasha mengenalnya dan mereka juga sudah pernah bertemu, meski hanya sekali. “Kamu sendiri, kenapa di sini?” “Ada beberapa urusan dengan Direktur rumah sakit.” Hening sejenak. “Perusahaanku punya semacam program kesehatan untuk karyawannya dan aku ke sini untuk mengatur itu.” imbuhnya. Oh, baiknya... Tanpa sadar Ana memuji laki-laki itu dalam hatinya. Hatinya menghangat mendengar kebaikan yang baru saja terlontar. Lift terbuka dan menghentikan keheningan yang sebelumnya melanda. Ana mengangguk sekilas sebagai tanda permisi. Fernando tampak tak rela, tapi mau bagaimana lagi? Matanya mengikuti langkah Ana yang semakin menjauh. Dia tersenyum melihat interaksi Ana dengan beberapa orang. Dia sepertinya perempuan yang baik dan ramah, terbukti dengan banyaknya orang yang menyapa dan bagaimana caranya membalas sapaan itu. Dan itu berbeda dengan caranya membalas sapaanku! Fernando merengut karena merasakan aura perbedaan itu. Anastasia terlihat begitu ramah dan tersenyum dengan lebar saat disapa orang-orang itu. Sangat berbeda ketika disapa olehnya dan ketika membalas sapaannya. Dan itu membuat mood Fernando langsung memburuk. *** Ana mengucap istighfar saat ada mobil yang melintas di depannya dengan tiba-tiba. Dia mengelus dadanya yang berdegup kencang karena terkejut. Orang yang mengemudikannya benar-benar kurang ajar. Ana sudah bertekad akan memarahi sang pengemudi, tapi sayangnya tekad itu luntur saat dia melihat sosok tersebut. “Kamu mau bikin saya jantungan?!” Laki-laki itu nyengir, menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi. “Butuh tumpangan?” Rasanya Ana ingin memarahi laki-laki itu, tapi sayangnya tak bisa dia lakukan karena ini di depan umum. “Nggak, saya gak butuh tumpangan. Silakan pergi karena kamu mengganggu pengguna jalan yang lainnya.” Tegur Ana secara halus. Laki-laki itu justru melirik kanan, kiri, lalu ke belakang melalui spion. “Nggak ada pengguna jalan lain, kok.” Balasnya santai yang membuat Ana membatin dengan sebal. “Selamat sore, Pak...” sapaan hangat itu terdengar dan membuat Fernando sadar kalau Ana sedang bersama seseorang. Dia laki-laki yang tingginya melebihi Ana dan memakai jas dokter juga. “Ya, selamat sore juga, dokter.” Fernando balas menyapa dengan ramah. “Dia belum jadi dokter. Statusnya di sini adalah anak coas dengan tingkat ketidakdisiplinan yang luar biasa.” Kalimat Ana bagaikan sebilah pisau yang menyayat. Laki-laki itu sudah sangat bahagia bisa dipanggil dokter dengan begitu ramahnya, tapi dokter Ana, pembimbingnya, malah membuka aibnya. “Yaelah, dok... gak usah ditegasin juga kali, kan saya malu!” katanya agak berbisik, tapi masih bisa di dengan Fernando. “Kamu ngapain masih di sini? Pergi sana.” Usir Ana karena dari tadi anak magang itu terus menguntitnya dan bertanya hal yang tak penting. “Bapak ini siapanya, dok?” Bukannya pergi, anak magang itu malah terus bertanya. “Bukan siapa-siapa!” jawab Ana agak kesal. “Pacarnya ya? Hayooo...” mata Ana menyipit tanda mulai kesal dengan candaan Anak magangnya. Anak magangnya itu terlalu terang-terangan, sampai Fernando juga mendengar suaranya dan sekarang tampak mesam-mesem. Anak magang itu sudah menghibur hatinya, jadi dia akan menolong anak itu dari tatapan maut milik Ana. Anak itu mungkin tak takut dengan tatapan Ana yang serius seperti sekarang. Anak itu terlalu “Ana?” suara itu berasal dari Fernando yang mulai jengah karena diabaikan. “Apa?” “Tawaran saya?” Ana menghela nafas pelan. “Saya bawa motor sendiri.” Tolak Ana dengan halus. “Motor?” Fernando mengerutkan keningnya tak suka. “Naik motor cukup berbahaya, apalagi kamu perempuan. Jam kayak gini biasanya jalanan padet dan kayaknya gak aman deh kalo kamu naik motor.” “Pak Fernando, saya bukan amatiran. Saya udah sering menghadapi jalanan Jakarta yang super padet dan nyatanya sampai saat ini saya masih hidup. Gak ada yang perlu dihawatirkan.” Ana menekan setiap katanya. Dia merasa risih dengan perhatian kecil yang laki-laki itu berikan. “Tapi tetap saja...” “Anda ini kenapa? Kenapa anda terlihat sangat peduli terhadap saya? Ingat, kita baru bertemu sekali dan rasanya sangat aneh kalau anda langsung sedekat ini ke saya. Professional saja,” Kalimat Fernando tertahan di tenggorokan. Dia merasa canggung sekarang. Mereka memang baru bertemu dan memang aneh kalau tanpa angin dan hujan dia bersikap begitu baik pada orang yang baru ditemuinya. Apalagi perempuan itu sudah berkata dengan begitu formalnya, pertanda dia tak menerima hubungan yang lebih dari lingkup pekerjaan. Secara halus dia disuruh pergi dan mengubur perasaannya. “Maaf, kalau saya mengganggu. Saya hanya berniat baik dengan menawarkan tumpangan.” Sahut Fernando denga lemah. Rasa tak enak langsung menyelinap di benak Ana. Tak ada niatan untuk menyakiti laki-laki itu. Dia hanya... menjaga jarak. Dia tidak boleh berdekatan dengan laki-laki bahkan sampai menjalin hubungan. Itu tak baik. Dia tak ingin laki-laki itu berharap padanya yang tak bisa memberikan kepastian. “Saya menghargai niat baik kamu, tapi saya gak bisa menerimanya. Tapi, terima kasih sebelumnya.” Fernando mengangguk sekilas dengan berat hati. “Kalo gitu saya duluan. Kamu hati-hati di jalan.” Kata-kata itu diucapkan dengan mata memancarkan kesungguhan dan ketulusan. Tiba-tiba jantung Ana berdetak dengan kencang. Tubuhnya berdesir karena merasa sesuatu yang aneh. Sesuatu yang baru dia rasakan belakangan ini, tepatnya setelah bertemu dengan laki-laki itu. “Ya, silakan.” Kaca mobil ditutup dan mobil itu melaju perlahan meninggalkan area rumah sakit. Ana masih berdiri di tempat yang sama dengan anak magangnya yang masih begitu setia menungguinya. Ana menghela nafas pelan seraya menatap mobil Fernando yang perlahan menghilang. Ada apa dengan dirinya? Kenapa ada rasa sedih yang menggelayuti hatinya? “Dokter?” Ana tersentak dan langsung menatap anak magangnya. “Kenapa?” “Laki-laki itu siapanya dokter, ya?” Ana memejamkan matanya sejenak. Dia tahu anak magangnya ini berniat usil. Terlihat jelas karena sudut bibirnya berkedut seperti menahan tawa. Salah ucap, bisa jadi dia dibully habis-habisan oleh anak magangnya yang nakal itu. “Bukan urusan kamu.” “Yaahh... kita kan keluarga di sini dan sesama keluarga harus berbagi cerita.” “Keluarga kandung saya gak ada yang kepoan kayak kamu,” anak magang Ana justru nyengir menunjukkan deretan giginya. “Dari pada ngurusin saya, lebih baik kamu ngurusin pasien aja. Sana...” usir Ana. “Bagi-bagi cerita sih, dok...” anak magang bernama Aldi itu memanyunkan bibirnya. Dia memang terlihat kekanakan di umurnya yang sudah tak muda lagi. “Kalian serasi banget, apalagi pas kalian berantem. Auranya kayak kalian emang pacaran. Seru!” Seru, gundulmu itu! “Di... saya mau kasih saran,” Ana berkacak pinggang dengan wajah dibuat garang. “Apa?” lagak Aldi masih santai. “Lebih baik kamu masuk dan urus pasien kamu, atau saya bakal kasih point minus karena tindakan kamu yang gak professional di jam kerja.” Mendengar kata point langsung membuat sosok Aldi mundur ke belakang. Pointnya sudah banyak dan dia tak mau menambah lagi, setidaknya dalam waktu dekat ini. “Saya permisi ya, dok.” Katanya ramah untuk berpamitan. Ana hanya menatap Aldi dengan datar. Aldi perlahan mundur dan berbalik. Sudah beberapa meter di depannya, Aldi kembali membalikkan badan dan tersenyum nakal. “Tapi saya seriusan lho, dok... kalian serasi!” katanya setengah berteriak. Setelah itu dia berbalik lagi dan berlari meninggalkan area itu. Yang bisa Ana lakukan hanyalah memutar mata, lalu menengok ke kanan dan kiri memastikan tak ada yang mendengar teriakan Aldi. *** “Dek, bantuin ngecek undangan ini! Cepet turun!” Ana bangun dari posisi berbaringnya. Suara Kakak laki-lakinya begitu menggema dan mampu merusak gendang telinga jika perintahnya tak dituruti. Buru-buru Ana bangun dan bergegas turun. Malam ini Ana tampak cantik meski hanya mengenakan celana rumahan yang longgar, kaos lengan panjang yang agak ketat, dan tak lupa hijab instant yang cukup lebar berwarna pink. “Dek, bantuin ngecek nama-nama undangan ini, dong. Takut keselip, kan gak enak sama kolega penting di perusahaan.” Katanya setelah melihat batang hidung adik tersayangnya menuruni tangga. Sebentar lagi Kakak Ana akan menikah dan karena itulah Kakak Ana itu tampak frustasi menatap satu persatu undangan pribadi miliknya. Laki-laki itu tak biasa mengurusi hal semacam itu, makanya langsung keteteran. “Tadi udah dihitung belom?” tanya Ana setelah duduk tepat di sebelah Kakaknya. “Udah, tapi kok aneh.” Ana manggut-manggut saja lalu mengambil alih buku besar berisikan nama-nama kolega penting. Ana mencocokkan dengan nama yang tertera di undangan dan melaporkan apabila ada kesalahan. Ana membantu dengan sungguh-sungguh. Nama-nama yang tertulis sangat banyak dan membuat mata yang tak teliti bisa melakukan kesalahan. Kakak Ana adalah Direktur yang meneruskan bisnis keluarga. Karena itulah rekan-rekan sejak jaman ayah mereka yang memimpin sampai sekarang dipimpin oleh kakaknya terus bertambah. Kegiatan Ana yang sedang mengecek terhenti saat matanya menangkap sebuah nama yang terasa familiar belakangan ini. Fernando Wijaya. Ana menggeleng, mencoba menepis pemikiran kalau nama itu dimiliki oleh laki-laki yang belakangan ini mengganggunya. Daripada terus penasaran, Ana lebih memilih untuk bertanya pada Kakaknya yang juga sedang fokus. “Mas kenal sama orang ini?” Ana menunjukkan undangan milik Fernando. Sang Kakak menatap adiknya dengan kening berkerut. “Iya, kenal... kenapa?” “Oh.” Kening Ilham, Kakak Ana, semakin berkerut mendengar kata yang dilontarkan dengan judes. “Emangnya kenapa? Tumben kamu tanya kayak gitu, terus mukanya judes kayak gitu juga.” Senyum menggoda mulai menghiasi wajahnya. “Gakpapa.” Senyum Ilham tak bisa disembunyikan. Dia curiga kalau adiknya dan Fernando ada something khusus. “Dia salah satu kolega penting kita. Perusahaannya sama perusahaan kita udah kerja sama sejak lama. Dia masih muda dan single. Dia tamu khusus, jadi dia bakal dateng pas makan malam private. Nanti Mas kenalin.” Ana langsung menatap kakaknya dengan datar. “Gak usah dikenalin, males.” “Jujur... kamu kenal dia? Ada sesuatu yang terjadi di antara kalian?” tuduh Ilham. Ana mengendikkan bahunya. “Kenal, tapi gak ada sesuatu di antara kami. Hanya sebatas kenal biasa.” “Kenal di mana?” “Pas dateng ke pernikahan Sasha. Dia temen suaminya Sasha.” “Ganteng, kan? Masih single, lho.” Ana memutar bola matanya. “Biasa aja.” Ketus Ana. Ilham meletakkan semua benda yang dipegangnya, lalu menghadap ke arah adiknya yang masih berpura-pura sibuk dan fokus. “Jujur aja, ada sesuatu antara kamu sama Fernando, kan?” Kali ini Ana meletakkan apa yang dipegangnya, lalu menatap ke arah kakaknya dengan sebal. “Gak ada.” “Hei, kamu gak bisa bohongin Mas, Ana. Ekspresimu, cara berbicaramu, dan semuanya berubah saat nama Fernando diungkit-ungkit.” Mata Ilham menatap mata adiknya dengan lekat. Sang adik masih membisu. “Gak mau cerita?” Ana menghembuskan nafas dengan kasar lalu membaringkan punggungnya di sandaran sofa. “Aku kenal dia, tapi emang gak ada apapun di antara kami. Cuma... sedikit gak suka aja.” Senyum Ilham mengembang. Dia berhasil membujuk adiknya agar bercerita. “Kenapa gak suka? Dia laki-laki yang baik.” Ana diam sejenak. Dia sedang berfikir kalimat apa yang cocok untuk menjawab pertanyaan kakaknya. “Ya gak suka aja.” “Gak suka aja? Pasti ada alasannya.” “Ih, kepo!!” Akhirnya kalimat itu keluar. Ana gak bisa menjelaskan semuanya secara gamblang. Bisa-bisa dia digoda habis-habisan. Ilham hanya terkekeh pelan melihat gelagat adiknya yang semakin mencurigakan. Dia semakin yakin kalo ada sesuatu yang terjadi antara mereka berdua. “Yaudah kalo gak mau cerita,” Ilham mengikuti gaya adiknya yang sedang bersandar di sofa. “Tapi ya, dia itu orang yang baik, loyal,” Kalimat Ilham bagaikan angin lalu. “Dan satu lagi, dia rajin sholat meski karirnya lumayan menyita waktu.” “Bagus dong, berarti dia sosok yang imannya kuat. Harta gak membutakan matanya.” “Cocok tuh, kriteria idaman banget, kamu tertarik gak?” “Please deh, Mas... jangan promo laki-laki ke aku. Aku gak tertarik.” Ana menyilangkan tangannya di depan d**a. Dia kesal sekarang. Bagaimana mungkin dalam sehari dia sudah digoda dengan topik yang sama sebanyak dua kali. Menyebalkan. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD