Satu

1431 Words
❤️Takdir manusia itu Tuhan yang tentukan. Ada yang bisa kita ubah, ada yang tidak. Dan janganlah menghakimi seseorang karena takdir yang telah Tuhan berikan padanya, ketika ia pun juga tidak bisa merubahnya❤️ ❤️❤️❤️ Malam semakin larut. Andrea tengah sibuk menyiapkan pakaian kerjanya untuk esok hari. Pria itu memang terbiasa menyiapkan segala keperluannya di kala pagi sejak malam. Sekali lagi, Andrea mengecek keperluannya. Kemeja, celana, sepatu, serta beberapa berkas telah ia siapkan. Lalu, ia duduk di tepi tempat tidurnya. Andrea melirik sang istri tercinta yang masih asyik dengan gadgetnya. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu tampak sesekali menscroll layar ponsel canggihnya. "Van, jangan lupa siapkan keperluan kerja kamu! Jangan sampai besok kita terlambat lagi seperti Kamis dan Jumat kemarin," ujar Andrea lembut. "Ah, gemes sendiri baca masalah ginian," oceh Vania tanpa menghiraukan ucapan suaminya. Andrea menghela napas panjang. Ia memperhatikan sang istri yang kini tengah cemberut sembari mengetikkan sesuatu di layar handphonenya. "Nah. Intinya jangan mau jadi bucin. Masa depan kamu ada di tangan kamu sendiri," gumam perempuan berstatus istri Andrea itu. Andrea tahu, ucapannya beberapa detik yang lalu tidak terdengar oleh telinga cantik yang fungsinya mirip dengan pegangan panci itu. Hanya sebagai pegangan. Andrea iseng menarik daun telinga Vania hingga gadis itu meringis. "Aaa... aaa..., Aduh sakit kupingku, Mas!" Andrea sontak melepaskan jewerannya pada sang istri. "Oh, maaf. Itu kuping kamu ya? Aku kira kuping panci, habisnya mirip," ucap Andrea santai, namun sarat akan sindiran untuk istri tercintanya. Vania berdecak kesal. Ia culup paham dengan nada ucapan Andrea. "Ada apa sih, Mas? Mas tadi ngomong sama aku ya?" tanya Vania. Ia sudah hafal dengan tabiat pria yang telah menjadi suaminya selama lima bulan terakhir itu. "Jangan lupa siapkan keperluan kerja kamu besok, Vania! Aku tidak mau kita sampai terlambat lagi. Malu. Langganan kok langganan telat," ulang Andrea dengan nada sabar. "Astaga, aku kira apa. Kan kerjanya masih besok, suamiku. Ini masih hari Minggu loh. Sini toh, duduk sama istri dulu! Kita baca curhatan remaja masa kini!" balas Vania santai. Andrea menggeleng. Terkadang ia merasa istrinya memiliki jalan pikiran yang sangat bertolak belakang dengannya. Entah dia yang terlalu normal, atau Vania memang sedikit kurang normal. Namun ia sendiri bingung, bagaimana bisa ia jatuh cinta pada Vania, yang sikapnya sangat jauh berbeda dengannya? "Panci-panci kamu yang besok mau dibawa, siapin dulu, Van! Kalau perlu masukin mobil sekalian biar nggak ngeribetin besok pagi!" ujar Andrea mengingatkan. "Iya," balas Vania singkat, kemudian asyik membaca tulisan-tulisan di layar handphonenya lagi. Andrea memutar bola matanya malas. Ia merasa semakin hari ia semakin cerewet karena berhadapan dengan manusia seperti Vania. Padahal dulu ia dijuluki muka tembok karena jarang berekspresi, apalagi bersuara. Tapi kini, lidahnya selalu gatal mengomentari tingkah wanita yang sudah lima bulan ini menemani hidupnya. Selalu ada saja hal yang harus Andrea komentari dari perempuan yang telah berstatus istrinya itu. "Huhu..." Andrea terkejut mendengar isakkan yang berasal dari belakangnya. Dengan segera, ia menoleh ke arah sang istri yang ternyata sedang menangis. "Ada apa, Van? Kata-kata aku ada yang salah?" tanyanya hati-hati. Perempuan itu menggeleng lemah. Membuat perasaan Andrea semakin campur aduk. "Tolong.. Mas, aku minta tolong," Andrea membalikkan badannya seratus delapan puluh derajat dengan sangat cepat. Ia melompat mendekati sang istri dan menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Kamu kenapa? Hey, kamu sakit? Ada yang sakit? Sebelah mana?" tanya Andrea diliputi kekhawatiran. Vania menepuk d**a kirinya beberapa kali. Air matanya masih terus mengalir. Membuat kekhawatiran Andrea semakin menjadi. Andrea pun segera merebut handphone yang masih bertengger di tangan kanan Vania lalu mendekatkan wajahnya ke arah sang istri. "Hey, kamu kenapa? Beneran sakit? Perlu aku periksa? Sakitnya gimana? Sesak atau-" "Nggak kuat aku tuh. Hiks..." Vania berhamburan ke dalam pelukan Andrea secara tiba-tiba. Membuat Andrea terdorong dan nyaris saja terjengkang. "Vania, kamu kenapa?" tanya Andrea lembut sembari mengusap punggung istrinya. Vania masih terus menangis sesenggukan dan enggan menjawab pertanyaan Andrea. Andrea memejamkan matanya, berusaha menenangkan dirinya sendiri yang dilanda kebingungan serta kekhawatiran. "Slreppp...." Kausnya terasa basah. Membuat Andrea sontak membuka matanya. Ia terdiam membeku sebelum akhirnya mendorong Vania hingga pelukan istrinya itu terlepas. "Kamu buang ingus di kaus aku? Van, jorok!" kesal Andrea. "Kok aku malah didorong? Dasar nggak pengertian!" kesal Vania sembari berbaring membelakangi Andrea dan memeluk erat gulingnya. Andrea semakin diliputi rasa bersalah. Bukannya menenangkan sang istri, ia malah membuatnya semakin terisak. Ia menghela napas panjang beberapa kali untuk menahan egonya. "Van," panggil Andrea lembut. "Hiks." Hanya isakkan yang terdengar dari mulut Vania. Tubuh wanita itu tampak sesekali bergetar, membuat Andrea semakin merasa bersalah. "Kalau kamu ada masalah, cerita! Aku itu suami kamu. Kamu tanggung jawabku sekarang, Van," ujar Andrea sembari membelai rambut panjang Vania. Vania masih terdiam. "Van, kamu sakit? Apanya yang sakit? Mau aku periksa? Atau kita ke rumah sakit aja?" "Oh iya, kamu tadi mau minta tolong apa?" "Hiks. Tolong ambilkan tissue!" Meski lirih, Andrea dapat mendengarnya. "Tissue?" ulangnya kurang yakin dengan apa yang barusan diminta Vania. Ia melihat istrinya menganggukkan kepala. "Sama apa? Perlu aku ambilkan obat dan air? Apa yang kamu rasakan?" tanya Andrea. Biarlah jika orang-orang di luar sana menggap Andrea kehilangan jati dirinya. Efek Vania dalam hidupnya memang begitu besar. Andrea pun sering mengeluhkan sisi cerewet yang akhir-akhir ini ia miliki, tepatnya setelah Vania resmi menjadi istrinya. "Tissue aja," balas Vania. Andrea pun segera mengambilkan sekotak tissue dan menyerahkannya pada Vania. Andrea membantu Vania bangkit untuk duduk dan menarik selembar tissue dari kotak yang ia bawakan. Isakkan ya pun mulai reda. "Siap cerita? Kamu kenapa?" tanya Andrea. Bukannya menjawab, Vania malah menoleh kesana-kemari seperti mencari sesuatu. "Kamu nyari apa?" bingung Andrea. "Handphone aku mana?" tanya Vania sambil menatap Andrea, masih dengan mata yang merah dan berkaca-kaca. Andrea menelangkup kedua pipi Vania dan menatap matanya intens. Membuat Vania merinding disko. "Cerita dulu sama aku, kamu kenapa, Vania?" desak Andrea dengan suara yang begitu lembut, agar tak menyakiti hati Vania yang sepertinya sedang sensitif. "Aku mau handphoneku. Aku mau baca curhatan anak itu lagi," Tatapan Andrea kosong. Ia segera menarik kembali tangannya yang ada di pipi Vania. Sementara itu, Vania mengerutkan keningnya melihat perubahan drastis sikap suaminya. "Kok dilepas? Padahal aku suka tahu, diperlakukan kayak tadi. Romantis tahu? Aku suka. Ayo sini pegangin pipi aku lagi!" protes Vania. Vania menarik tangan Andrea paksa untuk ia tempelkan lagi ke kedua pipinya. Namun Andrea kembali menariknya lagi. Pria berusia tiga puluh satu tahun itu bangkit dan segera melangkah ke arah lemari untuk mengambil sebuah kaus lalu beralih ke kamar mandi. "Mau ngapain? Kan kamu udah mandi tadi," tanya Vania. "Mau ganti. Kausku kena ingus kamu kan, tadi?" balas Andrea dingin dan segera menghilang dari balik pintu kamar mandi. Vania mengangguk mengerti. Namun ia tetap cuek dan kembali mengambil selembar tissue untuk membersihkan ingusnya. Hatinya bersorak senang ketika melihat benda pipih yang sedari tadi ia cari ternyata berada di atas nakas. Mungkin Andrea yang meletakkannya di situ saat ia menangis tadi. Vania pun kembali meraihnya dan melanjutkan aktivitas membacanya. Manusia Langit Ini bukan pertama kalinya Vania menangis dan merasa sesak membaca curhatan remaja bernama akun "Manusia Langit" itu. Vania tidak tau siapa dan seperti apa wujud remaja itu. Tapi, ia dapat merasakan jika remaja itu memiliki masalah yang cukup rumit dalam hidupnya. Ia membaca kembali sebait tulisan yang dikirim oleh pemilik akun bernama "Manusia Langit" itu, 'Aku membebaskan orang lain menilai tentangku. Aku diam ketika mereka menyebutku tukang bully, atau berandal sekolah. Padahal aku merasa tidak pernah membuat masalah dengan mereka. Kecuali mereka yang mengusikku terlebih dahulu. Memangnya ini kemauanku, untuk hidup di tengah keluarga yang berantakan? Memangnya aku yang menyuruh Papa main wanita lain di luar sana? Memangnya aku, yang menyuruh Mama sering clubbing dan mabuk-mabukkan? Memangnya mereka pikir aku senang dengan semua itu? Dan hanya aku yang dipandang jahat ketika aku hanya berusaha membela diri dari mulut pedas mereka. Lalu apa yang sebaiknya aku lakukan ketika mereka menyebut Papaku sebagai pria b******k dan Mamaku jalang? Memangnya, jika itu kamu, kamu akan diam? Tapi bagaimana caraku menjelaskan semua secara baik-baik ketika apa yang mereka katakan memang benar adanya?' Setetes air mata lagi-lagi mengalir di pipi Vania. Ia menduga bahwa "Manusia Langit" itu adalah seorang gadis SMA. Keluarganya tidak harmonis, dan hubungannya dengan teman-temannya tidak baik. Ingin sekali rasanya Vania bertemu remaja itu dan melihat seperti apa wajahnya. Ingin sekali Vania minum teh bersama dengannya, lalu mendengar ceritanya secara langsung. Mungkin dengan begitu, ia akan menemukan jalan keluar untuk masalah yang dialami remaja itu, karena telah bertemu dan melihat langsung sikap remaja pemilik akun "Manusia Langit" itu . ❤️❤️❤️ Bersambung ..... Aku publish pelan-pelan sambil revisi yaaa... jangan lupa klik love nya agar masuk ke library. Untuk yang belum klik love, aku ingatkan lagi untuk klik lovenya. Jangan lupa ramaikan kolom komentar juga, yaa.. aku tunggu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD