Tiga

1324 Words
❤️Karena pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna. Namun ia akan tampak sempurna ketika kita mau menerima segala kekurangannya❤️ ❤️❤️❤️ Andrea memijat pelipisnya yang terasa pening. Perutnya sudah beberapa kali bergemuruh minta diisi. Harusnya ia bisa menikmati waktu istirahatnya sekarang. Tapi apalah daya, ia harus menunggu ruangannya untuk beberapa waktu lagi. Satu per satu orang tak hentinya keluar masuk dari ruangan Andrea. Mereka datang untuk mengambil pesanan perabot dapur dagangan Vania. "Masih lama ya? Nanti jam makan siangnya keburu habis," keluh Andrea. "Kamu duluan aja nggak papa, nanti aku bisa curi-curi waktu buat ke kantin," balas Vania. "Bukan itu," imbuh Andrea. Vania menghentikan kegiatan menulisnya kemudian menoleh ke arah sang suami. "Aku nggak tenang ninggalin ruangan ini sama kamu dan pembeli-pembeli kamu itu," lanjutnya begitu jujur.  "Lah, nggak bakal aku culik ruangannya. Aku nggak akan kuat. Lagian ruangan ini juga persis sama punyaku. Jadi nggak ada untungnya juga aku curi. Kamu tenang aja, dia aman sama aku," balas Vania dengan nada bercanda. "Kalau aku pergi, nanti siapa yang bisa pastiin kalau ruangan ini bakalan ditinggal dalam keadaan rapi?" tanya Andrea. "Ya kamu lah. Ini kan ruang kerja kamu, jadi ya tanggung jawab kamu. Masak aku," balas Vania dengan entengnya. "Itu dia masalahnya, Vania," geram Andrea. Ia yakin, jika ia pergi meninggalkan ruangannya begitu saja saat ini, tensi darahnya akan naik ketika ia kembali nanti. Seperti dua minggu yang lalu, saat Andrea buru-buru pergi ke sebuah rapat dan meninggalkan Vania dengan segala keruwetannya di ruangannya. Tragis. Ia bahkan nyaris tidak mengenali ruangan yang penuh dengan plastik dan kertas nota pembelian hasil dari kreasi istrinya itu. Sejak saat itu, ia belajar satu hal. Lebih baik memiliki kesabaran lebih untuk menunggu Vania hingga selesai dengan acaranya, dan memilih menahan rasa laparnya, agar ia dapat memastikan jika ruangannya dalam keadaan baik-baik saja, dari pada cepat kenyang tapi làngsung dilanda stress berat ketika kembali dan melihat kondisi ruangannya yang acak-acakkan. "Aduh, Bu. Saya lupa bawanya. Padahal barangnya sudah ready di rumah. Tadi buru-buru soalnya," terang Vania pada seorang wanita paruh baya yang baru saja menanyakan pesanannya. "Yah, Dokter Vania, kan saya udah ngasih DP kemarin. Mana baskom di rumah saya udah bocor semua lagi. Itu beneran saya lagi butuh loh, Dok," ujar Bu Dona dengan nada kecewa. Benar dugaan Vania, Bu Dona pasti akan kecewa mendengar barang pesanannya yang tertinggal oleh Vania. "Tadi saya mau ambilkan lagi sih, Bu. Tapi kan Ibu tahu, suami saya gimana," sindir Vania sembari melirik Andrea. Mata Andrea menyipit sebelah. Ia tahu jika istrinya tengah menggunakannya untuk lari dari masalah. "Ibu kan tahu, istri saya gimana, dari semalam juga udah saya ingatkan buat menyiapkan barang bawaannya biar tidak ada yang tertinggal, tapi ya gitu," Andrea balas menyindir. Vania berdecak. Lalu ia kembali fokus ke arah Bu Dona yang tampak kecewa. "Begini deh, Bu. Saya ambilkan sebentar pesanan Ibu. Bagaimana?" tawar Vania. "Kapan?" tanya Bu Dona meminta kepastian. "Ya sekarang. Mumpung masih jam makan siang," jawab Vania penuh semangat. Mata Andrea membulat tak percaya. "Kamu mau naik taksi sendiri?" sambung Andrea. Vania bangkit dari duduk selonjorannya di lantai, lalu mendekat ke arah suaminya. "Ya diantar kamu lah. Memang kamu tega biarin aku buru-buru pulang-pergi sendiri? Mana bawa barang bawaan lagi. Pesanan Bu Dona ini nggak sedikit loh, Mas," rayu Vania dengan nada memelas. Andrea menghela napas panjang lalu menyenderkan punggungnya. "Besok saja kalau begitu, Bu. Saya belum makan siang juga soalnya," ujar Andrea pada Bu Dona. "Eh.. kok gitu? Enggak, Bu. Ya sudah saya ambilkan sendiri aja kalau gitu," sambar Vania cepat. "Van-" "Udah nggak papa. Kalau enggak nanti bisa minta bantuan Pak Haical. Dia pasti mau kalau ngantar pulang sebentar doang," potong Vania kesal. Mata Andrea kembali membulat sempurna. Hatinya bergemuruh mendengar niat gila sang istri. Andrea sendiri bingung, kenapa bisa ia secinta itu pada wanita yang telah berstatus sebagai istrinya itu. Selain cantik dan pintar, memang apa lagi kelebihannya?  Yang ada sisi barbarnya yang lebih mendominasi. Bahkan seharusnya Andrea bisa menemukan wanita yang ribuan kali lebih baik dan lebih waras dari Vania. Vania berbalik badan dan berniat mengambil langkah seribu menjauhi Andrea. Namun, langkahnya terhenti saat seseorang menahan lengannya. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Vania melirik malas ke arah sang suami. "Apa lagi?" tanya Vania malas. "Hhh... Oke, aku antar," jawab Andrea pada akhirnya. Ia tidak mau mengambil risiko dengan membiarkan istrinya berduaan dengan Haical. Bukan karena cemburu, tapi ia lelah mendengar omongan orang tentang cinta segitiga mereka yang konyol. Bahkan tanpa perlu diadu lagi, seharusnya semua orang tau bahwa Andrea lah pemenangnya. Karena nyatanya lelaki itu telah berstatus sebagai suami Vania, seseorang yang Vania pilih untuk menemani hidupnya hingga mereka menua nanti. "Eh, kalau terpaksa tidak usah. Lagian Pak Haical biasanya-" "Aku tidak terpaksa. Ayo! Aku sudah sangat lapar sampai rasanya aku ingin sekali memakanmu hidup-hidup," potong Andrea dengan wajah dan telinga memerah, menahan amarah. Ingat... tahan. Andrea masih berjuang keras untuk menahannya. Vania menyadari perubahan raut wajah suaminya itu. Tapi ia tidak mau ambil pusing dan memilih bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. "Nah, begitu, Bu akhir ceritanya. Jadi, saya sama suami saya mau ambil sebentar pesanan Ibu. Nanti langsung saya antar ke ruangan Bu Dona deh. Bagaimana?" tanya Vania. "Hmm.. iya tidak apa-apa. Maaf ya, Dok. Kalau nggak karena buru-buru juga saya nggak papa misal barangnya baru dibawain besok," ujar Bu Dona yang merasa tak enak hati pada Andrea. "Iya, santai aja sih, Bu. Namanya juga orang jualan," balas Vania. Andrea memutar bola matanya malas mendengar omong kosong istrinya. Yup. Hanya omong kosong. Karena nyatanya selama ini Vania tetap ceroboh dan sering membuat masalah termasuk pada usaha jualan perabotnya. "Ayo, buruan!" ajak Andrea. Sepertinya ususnya sudah berdecit sejak tadi. Tapi lagi-lagi ia harus mengalah demi kepentingan sang istri. Vania dan Andrea berjalan berdampingan keluar dari area rumah sakit. "Wah, Dokter Andrea dan Dokter Vania mau makan siang di luar ya?" Kedua pasangan muda itu menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke arah sumber suara. "Eh, Pak Haical. Enggak kok. Ini baru mau ngambilin pesanan Bu Dona yang ketinggalan di rumah," jawab Vania seadanya. Andrea memutar bola matanya saat melihat Vania yang tersenyum saat menjawab omongan Haical. "Lalu, kalian sudah makan siang?" tanya Haical lagi. Vania menggeleng. "Bagaimana kalau saya traktir makan siang di restor-" "Tidak perlu. Saya mau makan siang berdua dengan istri saya setelah ini," potong Andrea. "Hah?" kaget Vania. Pasalnya Andrea tidak habis membicarakan masalah ini sebelumnya. Ia menoleh ke arah Andrea dan menatapnya dengan tatapan bodoh yang tampak menggemaskan di mata Andrea. Tanpa sadar, pria dingin itu pun tersenyum dan memutar tubuhnya agar menghadap ke arah Vania sepenuhnya. "Kapan ngerencanainnya? Emang nggak sayang uangnya kalau-" ucap Vania terpotong. "Enggak. Udah kamu ikut aja," jawab Andrea sembari tersenyum manis. Vania yang memang dasarnya lemah dengan pesona Andrea pun akhirnya luluh dan mengangguk secara otomatis. Matanya berbinar melihat wajah Andrea yang begitu damai dan bersinar. Melihat adegan tatap-tatapan romantis di depannya, ternyata cukup ampuh membuat hari Haical memanas. Ia pun tidak tahan lagi untuk pura-pura batuk hingga dua manusia di depannya kembali ke alam sadar mereka. "Ya sudah, Pak Haical, kami pergi dulu. Ayo, Van!" Vania semakin tersentak saat tiba-tiba Andrea menggandeng tangannya dan menariknya lembut untuk mulai berjalan. 'Ini beneran si muka tembok? Seneng juga dimanisin sama Mas Suami. Jadi makin cinta. Meningkatkan kebucinanku tiga kali lipat,' batin Vania. Orang-orang yang berpapasan dengan mereka bukannya iri saat melihat hal romantis itu. Malah mereka fokus ke ekspresi Vania yang cukup menyita perhatian. Bengong dengan mulut terbuka, seperti orang kelaparan yang melihat seporsi ayam panggang lezat di hadapannya. "Masih bingung juga aku sampai sekarang, kok bisa ya, Dokter Andrea nikah sama Dokter Vania?" "Iya, heran banget. Cantik sih, tapi yang waras kan masih banyak di luar sana," "Kalau dari kewarasan, jelas unggul gue kemana-mana kan?" Untung saja telinga Vania dalam mode tuli. Jika tidak, sudah dipastikan jika flat shoes yang ia kenakan kini sudah bertengger di kepala dua perawat yang sedang menggunjingnya itu. ❤️❤️❤️ Bersambung ..... Jangan lupa follow ig @riskandria06 ya, agar tahu info seputar ceritaku yang lain juga. Terima kasih sudah mampir
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD