Prolog

826 Words
“There is use, I believe, in revealing personal stories and private moments as a stand-in for the universal private moments that all of us experience and wonder, (…) — I’ve told a story that could be anybody’s story. A story of heartbreak is anybody’s story. A story of illness is anybody’s story.”- Deborah Copaken, author and photojournalist. -Prince of Sivillia: Prologue- Hanya suara angin dan gemerisik daun jatuh yang menemani monolog anak kecil berusia 10 tahun itu. Tatapannya sedari tadi tak lepas dari batu nisan yang ada di depannya, sudah tiga tahun nisan itu menancap di tanah, meneguk saliva, mencoba untuk tidak menangis dalam keadaan sekarang ini. Di usia yang masih terlalu dini, dia tidak akan paham bahwasanya manusia lebih dekat dengan kematian dan akan diajarkan tentang rasa sakit dari sebuah kehilangan. Janji hanya sekedar janji, nyata nya dia masih belum bisa menerima kepergian wanita yang sudah melahirkannya 10 tahun yang lalu, wanita yang berjuang agar dia bisa melihat dunia yang indah ini sendirian.  Daun telinganya bisa mendengar suara sepatu yang mendekat, tanpa menoleh dia sudah tau siapa yang datang.  “Saatnya untuk kembali ke Istana, Pangeran.” Seseorang yang dipanggil pangeran itu mengangguk dengan lemah.  “Pengawal, beri saya waktu sedikit lebih lama untuk berbincang dengan bunda." Jawabnya seraya menatap dua pengawal yang ada disampingnya melalui ekor mata. "Sudah lama sekali saya tidak berkunjung ke mari" lanjut pangeran yang meminta pengertian. "Baiklah, Pangeran. 15 menit, karena raja Antena pasti sudah menunggu pangeran di kerajaan"  Kedua pengawal itu melenggang pergi, memberi ruang pada pangeran, jemari kecilnya mengelus nisan itu dengan sayang.  Nafasnya kembali tersekat, kilasan kenangan tentang senyum bunda, teriakan bunda saat menyuruhnya makan, dan tutur kata lembut yang bunda lontarkan saat dia melakukan kesalahan. Bunda tidak pernah membentak pangeran, tidak sekalipun. Air mata perlahan menerobos keluar, rasanya benar-benar menyakitkan ketika kita merindukan sosok yang sudah tidak bisa kita temui lagi wujudnya. Hanya kepingan kenangan yang bisa kita peluk erat, menyisakan luka menganga yang tak pernah bisa dilihat oleh orang lain selain dirinya sendiri. Rindu itu menyesakan, membuat d**a pangeran seraya terhimpit bebatuan, sesaknya tiada tara.  Tubuh pangeran bergetar hebat, pohon dan dedaunan yang menjadi saksi runtuhnya pertahanan pangeran berusia 10 tahun itu karena sebuah kehilangan.  "Bunda... saya merindukan bunda. Saya benar-benar merindukan bunda" pangeran bermonolog, dia mengusap air mata menggunakan punggung tangan sebelum kembali melanjutkan monolognya. "Saya tidak tau apakah bunda pernah menyimpan amarah pada saya atau tidak, saya juga tidak tau apakah selama ini bunda bahagia memiliki saya, tapi yang pasti... saya bahagia memiliki bunda meski hanya sebentar." "Ayah merawat saya dengan sangat baik, seperti kata bunda dulu, saya harus menjadi seperti ayah yang perkasa. Saya akan belajar banyak hal agar kelak bisa menjadi seperti ayah." Tangis pangeran perlahan berhenti. Dia menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya perlahan. "Bunda baik-baik di sana ya, tuhan pasti jaga bunda karena bunda orang baik." Sang tata surya sudah menunggu di ujung barat, dia ingin memastikan kalau kerja kerasnya seharian tidak sia-sia meski banyak yang mengabaikan keberadaan nya. Semburat jingga mulai muncul mengiringi kepergiannya, seakan dia ingin mengatakan bahwa sekarang dialah yang paling ditunggu kehadirannya. Pangeran meraih keranjang bunga yang ada di sampingnya. "Bunda, saya harus kembali ke kerajaan. Saya akan mendoakan bunda sebelum kembali" Kedua tangan pangeran menyatu, matanya terpejam erat dan bibirnya merapalkan sebuah doa terakhir untuk bunda. Saat kelopak mata itu terbuka, hal yang pertama kali dilihat oleh pangeran adalah nama yang terukir indah di nisan itu. Rosie Sivillious Pangeran tersenyum tipis, dia mendekat dan mendaratkan sebuah kecupan disana. “I miss you, bunda. I'll be back for you" Pangeran kecil berdiri, dia melenggang pergi. Angin mengiringi langkah kakinya, menerbangkan surai hitam tebal nya. Sebelum keluar dari gerbang, pangeran menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang tepat dimana foto Rosie berada. "See you, bunda"  Langkah kaki pangeran tiba di samping mobil, salah satu pengawalnya langsung membuka daun pintunya.  "Terima kasih karena sudah menunggu saya, pengawal. Kita kembali ke kerajaan sekarang" Dari tempat peristirahatan terakhir Rosie menuju kerajaan membutuhkan waktu sekitar 3 jam lantaran jaraknya yang begitu jauh. Pangeran mengintip keluar jendela, semburat jingga perlahan memudar digantikan oleh mendung yang tiba-tiba datang. Tak lama, setetes demi setetes air hujan turun. "Sepertinya akan turun hujan, Pangeran" Tanpa diberitahu pun, pangeran sudah tau akan hal itu. Haritama lima belas menit kemudian di guyur hujan deras disertai petir dan angin. Gemuruh di luar seakan menggambarkan suasana hati pangeran yang masih berantakan untuk saat ini. Sepanjang perjalanan, tatapan pangeran tak lepas dari bangunan-bangunan yang ada di pinggir jalan. Bangunan itu seakan bekerja sama dengan hujan untuk membangkitkan kenangan nya lebih dalam bersama sang bunda di tempat ini.  Mobil yang ia naiki terus melenggang menembus derasnya air hujan, sesekali mendapatkan guncangan karena ban mobil yang masuk ke dalam jalanan yang bolong. Seperti hujan yang terus saja meneteskan airnya, seperti itu pula jemari Pangeran yang sedari tadi tak lepas dari kalung berbandul bulan sabit peninggalan terakhir Bunda Rosie. Pangeran sudah berjanji akan menjaga kalung itu selamanya, meski nyawa sebagai taruhannya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD