Dua

1212 Words
"Saat kamu jadi aku, semua yang kamu lihat bukan lagi duniamu!" ❣❣❣ Aku membeku menatap bayangan di cermin. Pantulan itu bukan aku! "A-apa yang terjadi?" tanyaku pada diriku sendiri. Bukannya mendapatkan jawaban, aku malah mendapat kejutan yang nggak baik untuk kesehatan jantungku. Suaraku berubah. "Kita bertukar tubuh," celetukan itu membuat kepalaku tertoleh. Aku terdiam mendapati diriku sendiri sedang berdiri menatapku seolah ada cermin besar di depanku. Walau kenyataannya, nggak ada cermin sama sekali. "Ba-bagaimana ini bisa terjadi?" tanyaku dengan linglung. Rasanya ini terlalu nyata untuk menjadi sebuah mimpi. "Maaf," sahutnya singkat. "Apa maksudmu? Cepat rubah aku seperti semula!" hardikku panik. Die yang berada di tubuhku hanya menggeleng pelan. "Maaf, Pol," katanya yang membuat kedua kakiku seolah kehilangan saraf. "Apa ini? Kenapa? Apa yang terjadi?" tanyaku bertubi-tubi dengan putus asa. Bahkan mataku panas dan terasa berair. Die hanya diam. Aku menjadi marah dan mulai mengamuk. Aku tuntut dia agar mengembalikan diri kami seperti semula. Aku umpat dia, goyang-goyangkan tubuhnya bahkan mengancam bunuh diri. Namun Die tetap seperti biasa, dingin. Die yang melihatku yang berada di tubuhnya menangis mengajakku untuk duduk berdua. Die menenangkan aku dengan caranya, diam saja. "Berapa lama?" tanyaku setelah berhasil menguasai diriku. "Tentang apa?" tanyanya balik. "Kita akan terjebak seperti ini?" tanyaku memperjelas pertanyaanku. "Sebulan," jawabnya. "Sampai mataku kembali orange!" "Apa kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" tanyaku. "Pernah, saat aku masih kecil!" jawabnya. "Dengan siapa?" tanyaku. "Ayahku," "Begitu? Apa ayahmu juga mengalami ini saat berciuman denganmu?" tanyaku. Die mengangguk. "Ayah mencium keningku saat mataku orange dan terjadi hal seperti itu. Oleh karena itu, selama seminggu dalam sebulan, saat mataku orange aku nggak masuk sekolah. Aku pikir jadwal perubahannya besok, ternyata hari ini. Sungguh di luar dugaanku!" katanya merasa jengkel. "Jadi, alasanmu nggak masuk seminggu setiap bulan karena itu?" tanyaku. Die mengangguk. "Ya," jawabnya singkat. "Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyaku. "Apa lagi? Kita harus memerankan peran masing-masing!" jawabnya dengan enteng. "Kamu bisa melakukan itu? Memangnya apa yang kamu tahu tentangku?" tanyaku. "Semuanya," jawabnya penuh percaya diri. "Kamu seharusnya mengkhawatirkan dirimu, Pol," katanya. "Ah," seruku. "Karena aku menjadi perempuan?" Die menggeleng. "Tentu itu sulit, tapi ada hal lain yang harus kamu khawatirkan," sanggahnya. "Apa itu?" tanyaku penasaran. "Dengar, Pol," katanya penuh penekanan. "Saat kamu jadi aku, semua yang kamu lihat bukan lagi duniamu!" jawabnya penuh keseriusan. Aku menaikkan satu alisku. "Apa maksudmu?" tanyaku kurang mengerti tentang apa yang Die katakan. "Aku harap kamu bisa bertahan, Pol. Aku yakin setelah ini, kamu akan berhenti mengamatiku," ucapnya dengan yakin. Aku menelan ludah. "Jadi kamu tahu kalau aku mengawasimu?" tanyaku. Die mengangguk. "Tentu saja," jawabnya. "Semua orang tahu itu!" Aku menghela napas panjang. "Baiklah, sekarang pulanglah ke rumahku, kamu tahu jalannya bukan?" tanyanya. Aku mengangguk.       "Tapi, bagaimana aku akan berperan sebagai dirimu. Bagaimana jika keluargamu tahu?" tanyaku. Die hanya menggeleng. "Nggak akan, anggota keluargaku hanya satu, kakakku dan dia nggak cukup peduli untuk mengenaliku. Kamu cukup diam saja selama di rumahku," sarannya. "Bagaimana dengan ayah dan ibumu?" tanyaku. "Ibuku meninggal dunia saat aku kelas 6 SD. Sedangkan ayahku meninggal dunia tiga tahun lalu," jawabnya menjelaskan. "Maaf," ucapku merasa menyesal sudah bertanya. "Nggak apa," sahutnya. "Ayo pulang ke rumah masing-masing. Tenang saja, aku akan berperan dengan baik sebagai dirimu," janjinya. "Baiklah," sahutku setuju. Aku pun berdiri lalu mulai berjalan dengan Die di sebelahku. Rasanya sangat aneh saat melihat diriku, terutama tubuh yang selama 15 tahun aku gunakan, kini dimiliki oleh orang lain. Sebaliknya, kini aku merasa aneh dan janggal karena menggunakan tubuh orang lain. Rasanya apa yang aku alami ini masih sulit untuk diterima akal. "Mau aku antar sampai rumah?" tawarnya ketika kami tiba di pintu gerbang sekolah. Aku mengangguk. "Boleh," jawabku. "Oh ya, apa di rumahmu kamu punya kamar sendiri? Akan sangat merepotkan jika kamu tidur bersama saudaramu," ungkapku jujur. "Tenang saja," sahutnya. "Aku tidur di kamar terpisah dengan Life," jawabnya. "Life?" ulangku. "Itu nama kakakku," jawabnya. "Oh," sahutku sembari menaik-turunkan kepalaku. "Pol." "Ya?" "Jika kamu kesulitan, hubungi saja aku. Aku akan datang menolongmu," katanya dengan nada serius. "Tenanglah, aku nggak akan kenapa-napa," jawabku mencoba menenangkan Die. Sepertinya dia mulai merasa bersalah. "Bukan, bukan begitu," sanggahnya sedikit ragu seolah sedang memikirkan sesuatu. "Lantas, apa maksudnya?" tanyaku bingung. "Kamu nggak ngerti, ini sangat sulit dijelaskan," katanya merasa sedikit frustrasi. "Tenanglah, Die. Sudah telanjur, aku akan baik-baik saja. Jangan cemas!" Aku mencoba menenangkan dirinya. Die mendengus kasar. "Aku harap memang begitu," katanya penuh harap. Setelahnya nggak ada percakapan yang terjadi. Mulut kami bungkam, hanya berjalan menuju rumah asing yang akan menyambut kami saat pulang. Di sebuah penyeberangan di dekat lampu lalu lintas, kami berhenti untuk menunggu lampu hijau berubah menjadi merah agar bisa menyeberang. Aku menautkan alis menatap seorang pemuda yang berada di seberang sana. Dia memiliki kulit pucat dan tatapan kosong yang sedikit menakutkan. Aku mencoba tetap tenang, berusaha untuk nggak menarik perhatian. Dia tiba-tiba berjalan maju, menyebrang di jalanan yang ramai. Tubuhnya terhantam sebuah truk. Darahnya muncrat kemana-mana saat tubuhnya mendarat di aspal jalanan yang keras. Aku merasa mual ketika daging pemuda itu berhamburan. Rupanya truk yang menabraknya terus melaju, nggak peduli sama sekali dengan apa yang terjadi padanya. Mataku melotot ketika pemuda dengan wajah hancur, serta tubuh sedikit amburadul dan bersimbah darah itu mulai bangkit dengan gerakan patah-patah. Tubuhku bergetar, nyaris bertatapan mata dengan pemuda itu seandainya Die nggak menutup mataku. "Pol, abaikan itu," katanya. "Heh?" "Jangan banyak bertanya," ucapnya lagi. "Ayo!" Die kemudian mengarahkan diriku untuk berjalan masih dengan menutup kedua mataku. Dia menyanyikan lagu-lagu. Rasanya aneh karena mendengar suaraku sendiri seolah aku harus menerima kenyataan bahwa aku kembar. Setelah kami cukup jauh berjalan, Die melepas tangannya dari mataku. Dia terus berjalan dengan menggandeng tanganku. "Pol," panggilnya. "Sudah aku bilang bukan? Duniamu bukan lagi yang kamu tahu, jadi mulai sekarang abaikan apapun yang kamu lihat atau dengar. Terkecuali kamu mendengar suaramu sendiri, aku!" katanya lantas menunjuk dirinya sendiri. "Kamu mengerti?" Aku hanya mengangguk walau masih merasa bingung. Kami pun terus berjalan. Aku menuruti apa yang dia suruh. Saat aku melihat anak kecil yang menari-nari di pohon, aku hanya diam. Pun ketika dia menembus pohon, aku berusaha nggak terkejut. Ada juga seorang perempuan yang melompat dari gedung tinggi setelah meneriakkan nama seseorang. Meski begitu, dia kemudian bangun lagi, melompat lagi, begitu seterusnya seolah itu hanya reka ulang adegan. Die terpaksa menginjak kakiku ketika aku dengan bodohnya berkata baru saja melihat seorang wanita dengan leher tergorok menangis di sudut sebuah rumah. Dia terus mengomel dengan mengatakan bahwa aku harus mengabaikannya. Akhirnya, aku memilih untuk berjalan dengan mata terpejam. "Sampai," ucap Die saat kami sudah berada di rumahnya. "Kamu yakin akan meninggalkan aku dalam keadaan begini?" tanyaku dengan ragu. "Aku nggak mungkin menginap di sini, Pol! Kita berbeda jenis," katanya. Aku menghela napas. "Lalu bagaimana nasibku?" "Kamu aman di sini," janjinya. "Ingat, abaikan apa yang kamu lihat atau dengar, Pol!" katanya mengingatkan aku sekali lagi. "Baiklah," jawabku. "Masuklah!" suruhnya. Aku mengangguk lalu mulai berjalan masuk ke rumah yang aku anggap lebih mirip sebagai rumah hantu. Aku membuka pintu rumah lalu menutupnya perpelan. Rumah Die lebih lebar dari kelihatannya. Meski masih saja berantakan. Di ruang tamu, ada seorang wanita cantik berbaju putih dengan rambut hitam panjang tengah menatap layar televisi yang kosong. Aku mengabaikannya, lagipula jika itu kakak Die, Life, aku juga nggak tahu harus bicara apa. Aku berjalan ke dapur, ingin minum tetapi tertegun menatap seorang nenek yang tengah melakukan sesuatu. Dia membelakangiku sehingga aku mengabaikannya, lantas memutuskan untuk mencari kamar Die. Saat sebuah papan nama atas nama Die tertempel di pintu sebuah kamar, aku masuk ke dalamnya. Kamarnya hanya terdiri dari satu kasur besar, lemari pakaian dan meja belajar berisi buku-buku. Pintu kamarku tiba-tiba diketuk, membuatku  berkeringat dingin. Aku menelan ludah, nggak tahu harus bagaimana. "Die," panggilnya. Suara perempuan. Aku teringat apa yang Die katakan bahwa aku harus mengabaikan suara siapapun kecuali dirinya. Jadi, aku hanya duduk di tepi kasur dan menunggu. Namun, selain suara ketukan, nggak ada suara apapun lagi. Dan itu cukup untuk membuatku menggigil ketakutan. Aku ingin pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD