Tiga

1203 Words
"Udah ngantuk atau udah tahu?" ❣❣❣ Hari sudah menjelang malam saat aku bangun. Perutku juga terasa lapar. Sejak tadi, ususku seperti dipilin, diputar tapi untung nggak dicelupin. Sementara aku meringkuk di kamar Die, kira-kira apa yang gadis itu lakukan di rumahku? Ah, aku nggak mau berprasangka. Karena prasangka selalu berakhir buruk. Aku bangun, duduk dan menatap jendela yang gordennya tertutup rapat. Aku yakin Die nggak pernah membuka jendela itu karena arahnya yang langsung menghadap ke pohon beringin menyeramkan yang ada di depan rumahnya itu. Aku beranjak dari kasur lalu berjalan menuju ke jendela. Aku penasaran tentang apa yang mungkin terjadi jika aku membuka jendela itu. Lagipula ini masih awal malam, aku yakin semua akan baik-baik saja. Benar bukan? Aku sedikit ragu saat tanganku sudah memegang ujung gorden tapi rasa penasaranku jauh lebih besar. Aku buka perlahan gorden itu dengan jantung yang berpacu kencang. Sedikit demi sedikit dan akhirnya jendela terbuka. Aku terbatuk sedikit saat debu-debu mulai mengganggu pernapasanku. Setelahnya aku menatap ke luar jendela, nggak ada apapun. Aku tergelak, merasa bodoh karena sudah merasa takut tanpa sebab. Aku hendak menutup gorden jendela lagi ketika sebuah tangan hitam keluar dari tepi jendela. Aku melotot saat sejuntai rambut menyentuh wajahku. Aku ingin mendongak ke atas tetapi nggak bisa. Akhirnya aku hanya mampu menganga dengan tengkuk yang mendingin. Aku nggak berani bergerak. Lebih tepatnya nggak bisa bergerak. Tangan dan rambut itu menghilang beberapa saat setelahnya. Aku bernapas lega. Saat berbalik, sebuah pemandangan menyeramkan terpantul di lensa mataku. Seorang wanita dengan pakaian putih yang berubah kecokelatan seolah hangus terbakar berdiri di depanku. Matanya melotot dan nyaris keluar dengan tetesan darah segar mengalir di rongga pipinya yang dagingnya mencuat keluar. Dia membuka mulutnya lebar dan mendekatiku dengan tangan terulur ke luar. Aku berusaha menjerit, berteriak, kabur atau apapun yang terpikir di otakku tetapi nyatanya aku nggak bisa apa-apa. Aku hanya diam dengan tubuh yang seolah beku. Aku bergetar hebat saat kedua tangan hitam dengan kulit terbakar itu berhasil meraih tanganku. Dia menarikku dengan keras hingga aku menghantam tembok. Aku terus berupaya menjerit tetapi sia-sia. Aku semakin panik ketika tangan itu kemudian menghilang dan menarik kakiku ke pintu kamar yang mendadak terbuka. Padahal aku sudah mengunci pintu itu dengan baik. Aku berusaha melawan dengan menancapkan kuku-kukuku ke lantai atau meraih benda apapun yang bisa menahanku. Akan tetapi di kamar Die, nggak ada sesuatu benda pun yang bisa aku raih. Aku bersyukur saat tanganku pada akhirnya berhasil berpegangan pada pintu sehingga mampu menahan tubuhku yang diseret. Garis-garis memanjang terlukis di lantai sebagai saksi bisu betapa aku sudah mencoba untuk bertahan hidup. Aku menangis tanpa suara. Hanya lelehan panas yang terasa di pipiku. Aku terus berpegangan dengan kuat hingga tarikan itu berhenti. Aku membuka mataku, yang baru saja terjadi ternyata hanya mimpi. Aku mendesah, lega, sampai menyadari ada sesuatu yang mengawasiku. Sesuatu yang gelap, berdiri di pojok kamar dan memaksaku untuk menatapnya. Namun, aku bergeming. Aku merasa akan mati jika melakukannya. Terdengar suara cekikikan, perempuan. Tepat di belakangku. Aku menelan ludah ketika tangan hitam itu mulai merayap dari bahuku ke kepalaku. Aku memejamkan mataku sembari melafalkan doa apapun yang aku tahu. Ini semakin menakutkan ketika aku berupaya bangun tetapi nggak bisa. Tubuhku seolah tertempel ke kasur yang membuatku nggak bisa pergi kemanapun. Tubuhku bergetar saat hembusan napas berbau anyir dan busuk menusuk rongga hidungku. Aku mengertakkan gigiku berusaha sebisa mungkin untuk bertahan. Aku terus berupaya bergerak, lagi dan lagi. Namun, pada akhirnya aku hanya lelah sendiri. Mungkin, aku sudah ditakdirkan mati sebagai Die. Maafkan aku Die, kamu harus hidup sebagai aku selamanya. "Pol!" Aku membuka mataku untuk kedua kalinya saat suara panggilan itu terdengar. Aku beranjak bangun dan memandang sekitarku. Gorden jendela masih tertutup rapat, lantai kamar masih seperti sedia kala, nggak ada goresan apapun serta pintu kamarku tertutup. Walau kamar ini semakin gelap karena hari yang sudah beranjak malam. Aku melihat jam tanganku, setengah enam malam. Aku menyeka keringatku yang bercucuran di sekujur tubuh. Aku perlu mandi untuk menghilangkan rasa lengket di kulitku. Walau ini bukan tubuhku dan.. Pipiku bersemu. Oke, Pol, ini bukan waktunya kamu berpikir tentang itu. Aku haus, tenggorokanku bahkan terasa seperti tercekik. Jadi, aku memutuskan untuk keluar dari kamar. Semoga Life sudah pulang, begitulah harapanku. Aku melangkah keluar dengan perlahan setelah membuka pintu kamar sedikit dan memastikan nggak ada apapun di sekitarku. Aku menuju dapur, nenek yang aku lihat nggak ada. Aku bernapas lega, lalu mulai melangkahkan kaki ke kulkas dengan santai. Aku mengambil minuman dingin dan meminumnya dengan rakus. Sebotol minuman habis dalam sekejap. Tenggorokanku terasa membaik, segar. Aku pun beralih menuju ke roti lapis yang ada terbungkus wadah transparan. Aku membuka wadah itu dan mengambil satu roti lapis. Aku makan dengan lahap. Setelahnya, aku menghabiskan sebotol minuman lagi. "Ah," desahku merasa puas. Aku menepuk-nepuk perutku yang kini terasa kenyang. Aku tersenyum bahagia. Tak aku sangka, roti lapis terasa begitu nikmat saat kelaparan melanda. Aku menutup pintu kulkas lalu beranjak pergi, hendak menuju kamarku. Aku menoleh ketika merasa ada seseorang yang melintas lalu dahiku terangkat saat melihat seorang wanita sedang berdiri di sebuah kamar. Wanita itu bukan wanita yang aku lihat tadi. Pakaiannya berbeda. Rambutnya juga lebih pendek. Mungkinkah itu Life? Sejujurnya aku nggak ingin bicara dengannya. Selain karena aku Pol, aku juga nggak mau ketahuan. Dia kakak Die, jadi dia pasti akan sadar jika ada perubahan yang terjadi padaku. Aku memegang gagang pintu, hendak memutarnya tapi batal dilaksanakan. "Kamu sudah makan?" Suara feminin, anggun dan kalem itu membuat tanganku terhenti. Aku diam sejenak, nggak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan itu. "Apa kamu sudah makan?" Dia mengulang kembali pertanyaannya. Aku menelan ludah, mengaruk-garuk kepalaku, bimbang. Dia membelakangiku sehingga yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Aku menatap ke bawah, kakinya nggak terlihat karena gaun panjang yang dia gunakan. Gaunnya bukan berwarna putih. Hal itu yang mengganggu dan membuatku merasa ragu. "Ya," jawabku. Ada jeda panjang di antara kami. Dia nggak bereaksi apapun. Aku menyerah, memutar knop pintuku lagi. "Kamu mau menonton bersamaku?" tanyanya sesaat setelah pintu dibuka. "Ya," jawabku. "Tapi aku harus ke kamar dulu," imbuhku. Dia mengangguk. Aku pun masuk ke dalam kamarku. Aku merapikan diri walau itu nggak perlu. Saat ini statusku sebagai Die, perempuan dan rambut panjang ini sungguh membuatku gerah. Drtt.. Drtt ... Sebuah pesan mendarat di handphoneku, dari Die. Kami bertukar kontak telpon tadi. Aku tersenyum bahagia karena dia nggak melupakan aku. Dengan duduk santai di tepi kasur, aku membuka dan membaca pesan darinya. Die Bagaimana keadaanmu? Pol Sejauh ini aku baik-baik saja, bagaimana denganmu? Die Jangan khawatir. Aku pandai berakting. Apa kamu melihat sesuatu? Aku terdiam sejenak, ragu. Aku takut dia akan cemas jika aku mengatakan bahwa aku melihat banyak hal aneh. Bahkan aku bermimpi buruk di hari pertama sebagai dirinya. Pol Sejauh ini aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Die Syukurlah. Ingat Pol, jangan melakukan interaksi apapun dengan apa yang kamu lihat. Pol Aku paham. Die Apa yang kamu lakukan? "Die, Die." Panggilan itu membuatku mengangkat kepalaku sebentar dari layar ponsel. "Ayo kita nonton!" ajaknya. "Ya," jawabku lalu beranjak dari kasur dengan masih memegang handphone. Pol Aku akan menonton film dengan Life. Sepertinya dia perempuan yang baik. Aku sudah membuka pintu kamar dan melihat sedikit dirinya yang masih membelakangiku. Namun aku segera menutup pintu dengan keras. Aku kunci pintunya dan bersembunyi di balik selimut dengan mata terpejam. "Die, Die." Aku hanya diam saja sembari memanjatkan doa apapun yang aku tahu. "Kamu nggak mau nonton?" tanyanya. "Nggak," jawabku. "Kenapa?" tanyanya. "Aku sudah mengantuk," jawabku dengan bibir gemetar. Ada jeda panjang lalu seolah mimpi, bisikan itu terdengar pelan tetapi sangat jelas seolah dibisikkan dari jarak dekat. "Udah ngantuk atau udah tahu?" Aku nggak berani membuka mataku lagi. Satu-satunya alasan kenapa aku batal menonton dengannya adalah balasan dari Die. Die Apa maksudmu Pol? Kakakku lelaki.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD