2. Hilangnya barang Cakra yang berharga

1925 Words
    Siang itu, Sean dan Hana menginjakan kakinya ke perpustakaan kampus. letak perpustakaan kampus sebenarnya dekat dengan gedung fakultas mereka, maka dari itu untuk mendapatkan ketenangan, Sean memilih perpustakaan yang suasananya sepi.     Sesampainya disana, Sean tetap memilih kursi kesukaannya yang berada di pojok dekat jendela, kebetulan cuaca hari ini lumayan sejuk, tidak terlalu terik. Namun pandangannya menatap seenggok kresek hitam di atas meja. “ih ada sampah, pindah yuk, Se.” ucap Hana menarik tangan Sean.     bentar, siapa tahu bukan sampah” bantah Sean dan menusuk-nusuk kresek, kening Sean berkerut, ia menyentuh benda yang keras dan tidak mungkin itu sampah. “apa, Se?” tanya Hana penasaran karena melihat perubahan ekspresi wajah Sean, lalu ia ikut meraba kresek tersebut dan memunculkan reaksi yang sama.     “buka-buka” titah Hana, Sean mengangguk dan membuka simpul kresek terbeut, Sean malah semakin bingung, isinya perkakas, styrofoam, lem, kertas karton dan sebuah gambar design.     Hana yang melihat ikut mengerutkan keningnya, “ini semua buat apa?” tanya Hana, Sean yang melihat isi kantong kresek tersebut langsung membereskannya kembali ke dalam kresek, “ini gak mungkin dibuang kan? Kalau ini tugas, kasihan pasti dia lagi kelimpungan nyari ini, aku tinggal atau bawa aja ya?” ucap Sean, dia pikir kalau memang ada yang kehilangan, orang itu akan repot mencari kreseknya tidak mungkin seseorang membuangnya.     Hana menjentikkan jarinya, “kalau gitu, kamu simpan saja” Akhirnya Sean memasukan kresek tersebut kedalam tasnya. Ia pikir akan aman kalau ada bersamanya.     Setelah menyimpannya, mereka duduk disana dan mengerjakan tugas dilaptop masing-masing, suasananya hening sampai Hana membuka pembicaraan, “Sean, kamu gak kepikiran buat punya pacar? Kayaknya kamu juga butuh itu deh”,    Sean hanya menggumam menjawab Hana, ia tidak tertarik dengan obrolan semacam ini, Hana jadi jengkel, “serius, Se. Gak mau? Padahal banyak yang nanyain kamu tahu”, Sean melirik Hana sekilas, “yaudah, nanyain doang kan? Kalau memang beneran niat datang ke aku langsung, jangan tanya orang lain” jawab Sean membuat Hana menghela nafas, “iya sih, abisan katanya kamu garang gitu mukanya, mereka takut dicuekin.”     Sean tertawa, “tuh kan, baru liat aja udah gitu rekasinya. Kalau memang niat deketin gak usah takut ditolak, kalau niat apapun hasilnya pasti dia terima, gitu kan? Fix sih, itu mah emang mereka aja yang gak punya nyali”     Hana ikut tertawa, “beuh gila banget kata-katanya, sadis. Nanti kalau ada yang nanyain kamu ke aku, aku bakal jawab gitu deh. Siapa tahu berhasil” ujar Hana sambil tertawa puas. Memang Sean itu gila, pikir Hana.     “tapi, Han. Aku sekarang agak gak tertarik buat kencan sih, mungkin karena pengalaman buruk dan udah lama juga jadi keenakan di zona nyaman. Aku males banget kenalan atau pendekatan kayak gitu. Beneran kayak cuman buang-buang waktu, syukur kalau orangnya nyambung, kalau enggak?”     Hana mengangguk, “bener sih, emang masa-masa pendekatannya lama, apalagi kalau orangnya punya perasaan yang gak pasti ya bakal makin lama buat pendekatan. Iya kan?” Sean mengangguk, “kalau aku sih beneran gak punya kriteria yang khusus, kalau dari awal nyambung dan lama-lama nyaman baru deh aku mau. Kalau orangnya kebanyakan basa-basi tuh bikin males. Jadi sekarang mau fokus kayak gini aja, kalau emang ada yang deketin dan sesuai apa yang aku rasain aku terima dengan senang hati”     “semoga cepet-cepet nemu deh, gak sabar pengen lihat kamu gandengan ke kampus. Biar gak jomblo lagi gandengannya sama ponsel terus” ledekan Hana membuat Sean melemparkan tisu bekas. Kalau bukan di dalam pperpustakaan, Hana sungguhan akan berteriak pada Sean.                                                                                          + + +       “Ra, kamu beneran lupa atau memang belum disiapin?”, tanya Halim, sudah dua jam ia ikut mengabrik kostan Cakra, bahan untuk membuat maketnya hilang. Halim yang tadinya santai jadi ikut panik, lantaran Cakra berbicara dengan hebohnya. Kini Cakra terlihat kusut dan kamar kost-nya berantakan. Halim ikut terduduk disamping Cakra, “ketinggalan di kelas kali”, ujar Halim, Cakra menghela nafas lalu mengusap wajahnya kasar, “gak ada, Hal. Aku tadi balik lagi ke kelas, nihil. Gak ada barang apapun. Kalau ada ya aku gak bakal acak-acakin kostan kayak gini. Please, aku bingung banget”.     “memang kalau beli lagi gak bisa?”.     Seketika Cakra menatap Halim tajam, Halim yang tiba-tiba ditatap seperti itu langsung terdiam dan berpura-pura meniup tangannya, “uhh debu”.      Cakra menghela nafas, “beli sih bisa, cuman dikresek itu juga ada design yang udah aku gambar. Sudah capek-capek hitung tapi malah hilang”, membayangkannya saja sudah membuat Halim bergidik, “coba ingat-ingat dulu, tadi di kampus kamu kemana aja? Siapa tahu kamu kelupaan? Nanti kita ke sana” ujar Halim membuat Cakra tersadar, Cakra kembali mengingat dia hari ini kemana saat berada di kampus, tapi ia hanya ingat di kelas dan toilet. Hari ini dia tidak pergi ke kantin.     “KETEMU!”     yang mendengar teriakan Cakra terkejut dan melemparkan topinya kesembarang arah, ia mengelus dadanya, “apasih, Ra! Ngagetin banget! Jangan teriak gitu!” bentak Halim dengan nada tinggi. Cakra yang dibentak malah menunjukan ekspresi senang bukan main, “perpustakaan! Aku tadi ke sana buat cari referensi dan kalau gak salah aku duduk di sana buat baca-baca. Fix ini! Pasti disana. Ayok!” ucap Cakra heboh meraih tangan Halim dan menyeretnya keluar kostan, tak lupa ia mengunci pintunya terlebih dahulu.     “Cakra! Anjir! Pelan-pelan! Gak usah diseret begini kayak orang pacaran tau gak?”, ocehan Halim membuat Cakra seketika melepaskan tangan Halim kemudian bergidik jijik menatap Halim. Cakra menghidupkan motornya lalu tancap gas menuju kampus. Jarak dari kost Cakra ke kampus memang tidak terlalu jauh, tapi kalau jalan kaki juga akan lama sampai di kampus.     Cakra benar-benar ngebut sampai Halim berpegangan pada belakang motor, kalau dia memeluk Cakra yang ada langsung ditendang Cakra dari motor. Setelah mereka sampai kampus dan parkir digedung fakultas teknik, Cakra langsung berlari meninggalkan Halim yang masih duduk diatas motor, “astagfirullah, gak ada akhlak” gumam Halim melihat kelakuan sahabat karibnya itu, lalu ia menyusul Cakra sambil membawa kunci motor yang Cakra tinggalkan begitu saja, “gak ada otak ninggalin kunci motor”.     Cakra membuka pintu perpustkaan dengan heboh sehingga menimbulkan suara decitan yang keras, beberapa orang di sana dan penjaga perpustakaan melihat kearahnya dengan tatapan mengganggu. Dengan sopan, Cakra menggumamkan kata maaf dan masuk kedalam perpustakaan dan menghampiri setiap meja dan lorong karena ia tidak ingat dimana dia duduk tadi. Cakra mendatangi meja satu persatu dan tidak ia temukan kresek tersebut, ia kembali frustasi. Halim yang melihatnya ikut stres, ia berinisiatif pergi menghampiri penjaga perpustakaan, “pak, bapak lihat emm bungkusan kresek disalah satu meja gak? Atau di lorong-lorong rak buku?”.     Penjaga perpustakaan berusaha mengingatnya lalu menggeleng, “seingat saya tidak, dik. Kalau kamu sudah cari terus gak nemu ya berarti memang gak ada” jawab penjaga perpustakaan membuat Halim menghela nafas, “kalau begitu, makasih”.     Halim akhirnya menghampiri Cakra yang sedang berjongkok diantara rak buku, “Ra, tadi aku nanya pak Edi.” seketika Cakra menoleh dengan wajah penuh harapan, tapi yang ia dapati ekspresi pasrah Halim, ia menggeleng, “dia bilang gak liat. Ini antara ada yang buang atau ada yang ngambil.”, Cakra mengacak rambutnya sambil mengerang pelan, “kalau yang ngambil anak arsi juga terus dia pakai design aku, lihat aja nanti bakal bonyok”.     “terus, kalau yang ngambil dan yang pakai ternyata cewek gimana?” pertanyaan bodoh Halim membuat Cakra melemparkan buku di rak asal, “abis pokoknya”, setelah mengatakan itu Cakra kembali menghela nafas, “kalau iya dipakai, sia-sia banget. Kasihan otak, udah mikir bener-bener malah dicolong”.     “bener, soalnya jarang banget otak kamu dipake, sekalinya dipake malah ilang…. Aw! Sakit!” jerit Halim tertahan gara-gara Cakra melemparkan buku tepat mengenai kepalanya.     “bantuin bikin design ya, Hal. Nanti ditraktir deh” pinta Cakra dengan nada yang amat sangat memohon, mendengar hal itu Halim tidak langsung menyetujuinya. Ide jail seketika muncul, “gak ah, aku juga butuh waktu buat garap project-nya” balas Halim. Cakra menghela nafas, “serius. Aku beneran udah pusing, apa aja deh. Asal jangan minta rumah sama mobil aja” balas Cakra, “minta dinikahin boleh?”, Cakra yang mendengar balasan Halim menatapnya tajam, “gak gitu juga!”.     Halim seketika tertawa keras membuat beberapa orang di sana ber-sssst ria, “iya, yakali. Yaudah deh dibantuin, tapi beneran apa aja nih?” tanya Halim meyakinkan jaminan dari Cakra. Cakra mengangguk, “serius! Aku traktir deh tapi harus bener bantuinnya.” Halim menepuk dadanya, “percaya sama Halim! Oke, ayok kita mulai!”     Cakra berdiri, “ah besok aja” ucap Cakra melengos membuat Halim tak bisa berkata-kata, “ajaib banget punya teman” gumamnya.     “kenapa gak sekarang sih? Kan lumayan waktunya gak kebuang” ucap Halim ditengah perjalanan mereka menuju parkiran, “beresin kost dulu. Tadi kamu acakin kan? Teman macam apa?!” tanyanya sinis.     Halim mengusap dadanya untuk yang kesekian kali, “astagfirullah, Ra. Kalau gak dikeluarin semua, mana bisa kita tahu kalau kreseknya nyelip?” bantah Halim membela dirinya sendiri, Cakra berbalik ke belakang, “kamu pikir bakal ada gitu ditumpukan kolor?” tanya Cakra didepan wajah Halim dan meraih helm-nya.     “ya….. siapa tau ada”.                                                                                           + + +   Siang tadi saat insiden hilangnya bahan untuk membuat maket punya Cakra.       Setelah jam perkuliahan selesai, Cakra yang menenteng kreseknya menghampiri Halim yang sudah berada diambang pintu, “ngapain?” tanya Cakra. Halim bersidekap, “wih, udah mau ngerjain aja” ujar Halim melirik kresek digenggaman Cakra. Cakra sendiri ikut bersidekap, “anak rajin dong”.     “tumben, mau ngopi dulu gak?” ajak Halim, Cakra menggeleng, “mumpung rajin, aku mau nyari buku dulu ke perpustakaan. Sip! Duluan ya” ujar Cakra melenggang dari hadapan Halim. Sesampainya di perpustakaan, Cakra yang risih menenteng kresek pun berinisiatif meletakan kresek di meja. Ia sengaja memilih kursi di pojok agar tidak dicuri orang. Merasa sudah aman, dia pergi menelusuri lorong buku untuk mencari referensi tugasnya     Sekitar 30 menit, dia akhirnya menemukan buku yang cocok. Diliputi perasaan yang sangat amat senang, dia melangkah tanpa beban menuju penjaga perpustakaan untuk mencatat namanya bahwa ia telah meminjam buku dari perpustakaan. Masih dengan suasana hati yang senang ia berterima kasih pada pak Edi lalu memasukannya kedalam tas. Pak Edi sampai menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku aneh Cakra. Sampai ia lupa, kresek yang ia banggakan ditinggalkan didalam perpus sendirian.     Sampai di parkiran ia sedikit melamun melihat kunci motor dan gantungan dimotornya, rasanya ada sesuatu yang berbeda. Terasa ringan. Namun Cakra tepis pemikirannya itu, sampai di    kostan ia menggeledah isi tasnya dan membuka bukunya membaca dan memahami, “oke, saatnya praktek”.     “kresek?”     Hatinya mencelos saat tidak menemukan kresek didalam tas nya, di kost nya. Ia bahkan pergi ke parkiran kost untuk mengecek bagasi motor dan hasilnya nihil. Cakra kembali ke kamar kost dan menggeledah isi tas dan semua ruang kostnya, tetap tidak menemukannya. Akhirnya ia menghubungi Halim untuk membantunya mencari bahan untuk maketnya.     “Halim!”     “hemm?” jawab Halim dengan suara parau, sepertinya dia sedang tidur.     lihat kresek yang isinya bahan buat maket?”, Halim bergumam, “enggak” jawabnya asal. “ihhh yang tadi di kelas” ucap Cakra ngotot. Halim menghela nafas, “kan gak tahu, kamu yang bawa kok nanya aku?” jawab Halim mulai kesal.     “yaudah sini ke kost” suruh Cakra, Halim duduk dari posisi tidurnya, “ngapain sih?”.     “bantu nyari, please ini genting banget” ucap Cakra dengan nada memohon, “hahhh nyusahin, yaudah otw” final Halim menyetujui permintaan Cakra.     15 menit kemudian, Halim menemukan Cakra yang tengah bolak-balik dikamar kost, “beneran ilang?”.     “iya, ayok bantu”     Tanpa ba bi bu, Halim langsung mengacak semua isi kost Cakra. Melempar buku-buku di meja, mengacak sprei, ngecek kamar mandi, “Halim! Kamu apa-apaan?!” omel Cakra.     Halim menatap Cakra angkuh, “gini kalau nyari barang! Siapa tahu nyelip, kan?” jawabnya, “tapi gak diacakin begini” ucap Cakra, Halim tidak mendengarkan Cakra dan berjalan menuju lemari, “gak mungkin di dalam sana, Halim!” protes Cakra dan sekali lagi, Halim tidak mendengarkan kata-kata Cakra, dia tetap mengacak baju Cakra melemparkannya kelantai.     “astagfirullah Halim, gak mungkin ditumpukan kolor!”     Akhirnya Cakra duduk memerhatikan Halim yang mengacak isi lemarinya, “hah beneran gak ada” desah Halim, Cakra menutup wajahnya dengan kedua tangan setelah melihat kekacauan yang dibuat Halim, “gak ada otak”.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD