Aku sedang terduduk di tepi balkon sambil memandang indah kota New York dengan lampu-lampu gemerlapnya. Aku tersenyum menatap langit dan gedung-gedung yang menjulang di depanku. Aku terus saja menetap gedung-gedung itu lalu aku menyeruput cappucino yang berada di genggamanku
Aku tau, aku berada di titik teratas kebahagiaanku kali ini. Namun sayangnya kebhagiaan itu tidak instan, kebahagiaan itu tidak datang dengan sendirinya. Aku berusaha memulihkan kebahagiaan yang terenggut itu.
Kebahagiaan yang memulai semua air mata ini. Sayangnya aku tak tahu apa lagi yang kupikirkan kali ini setelah tahun-tahun yang kulalui bersamanya. Sayangnya aku terlalu mencintaimya hingga aku melupakan berapa luka yang ia buat di hatiku.
Ah aku lupa, ternyata hatiku sekuat baja. Hatiku bagaikan besi tak tertembus namun bisa dilunakkan olehnya dengan hanya mengecup bibirku sekilas seraya melingkarkan tangannya di perutku. Ini kebahagiaanku
Kebahagiaan yang berawal dari luka. Kebahagiaan yang entah kenapa selalu membuatku menangis mengingatnya. Tapi bersamanya aku merasa sempurna dalam dua puluh detik saja
Bersamanya, seseorang yang bahkan tak mengenalku
Yang menjadi priaku, yang mengisi hatiku