SATU

1096 Words
Happy Reading and Enjoy Aku kembali membereskan kameraku yang baru saja ku gunakan untuk me-record video bahan yang ku gunakan untuk bahan vlog’ku. Aku seorang Youtuber, tapi juga seorang penulis, padahal aku kuliah di jurusan Manajemen dan lulus dengan nilai yang tidak terlalu buruk. Amel melambaikan tangannya dari arah kolam, aku tidak mengajaknya untuk membuat video kali ini, karena dia sedang bersama kekasihnya yang sudah dipacari selama setahun belakangan. Usiaku dengan Amel berjarak hampir tujuh tahun, namun kami sangat akrab, mungkin karena kami jarang bertemu. Karena sejak Amel kuliah semester 6, dia mulai menggeluti dunia permodelan dan itulah yang mengharuskannya pergi keluar kota. Umurku sekarang 29 tahun dan belum menikah, catat…. Belum menikah dan belum memiliki pasangan, sejak….. 2 tahun belakangan. Apa yang lebih mengerikan dari itu semua? Aku tidak masalah dengan hal itu, walaupun menyebalkan karena keluargaku selalu menanyakan dimana pasanganku setiap ada acara keluarga yang mengharuskan kami –Aku dan Amel- datang. Muakkan, tapi aku tau itu adalah suatu bentuk perhatian mereka. Apalagi di Indonesia umur 29 hampir 30 tahun seorang wanita belum menikah itu sesuatu yang perlu dipertanyakan. Tapi, aku masih santai, begini-begini saja. Memangnya mau bagaimana lagi? Mencari jodoh tidak bisa seperti kita mencari pakaian di toko, yang ketika pas langsung dibayar.  Channel YouTube ku hampir mencapai 2 juta subscriber, dan bukan suatu hal yang mudah untuk mencapai titik ini. Sejak kuliah disemester akhir aku mulai mencoba membuat sebuah Channel youtube, aku mulai mencoba menggunakan alat-alat make up untuk bahan video. Sampai setahun tak ada perubahan yang signifikan, aku masih santai karena memang itulah yang aku suka. Kemudian aku mencoba memulai hal-hal baru, membuat challenge yang sangat jarang dilakukan kebanyakan orang hingga Chellenge yang sedang viral saat itu. Aku mencoba semua hal dan hingga saat ini aku mulai dikenal. Buku-bukuku laris keras, dan aku bersyukur akan hal itu. Kedua orang tuaku awalnya menentang pekerjaanku, kata mereka “kamu nggak akan menadi apa-apa kalau pekerjaan kamu kaya gitu,” tapi aku meyakinkan mereka bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bukankah pekerjaan akan lebih menyenangkan ketika kita menikmatinya? “Udah selesai bikin videonya kak?” Tanya Jeremy ketika aku memilih duduk santai menikmati sengatan matahari di sundeck. “Udah, nanti tinggal ngedit aja,” jawabku seraya mengambil gelas jus’ku yang isinya tinggal setengah. Jeremy mengangguk lalu mengambil 2 gelas lainnya dan membawanya ke tepi kolam, disana Amel sedang menunggu. Ku post sebuah foto alam yang ku ambil kemarin ketika aku berada di Kuta. Sedikit bermain kata pada caption dan pada akhirnya notifikasiku yang terus menerus muncul. “Duh gila yah, gue yang jadi model tapi like sama comment lo lebih banyak loh kak,” aku menoleh mendengar kalimat Amel, dia tengah membuka phonselnya dan duduk di tepi kolam, berdampingan dengan kekasihnya. Aku tertawa pelan, lalu membalas komentar yang menurutku menarik. Nyatanya, bukan hanya keluargaku yang menanyakan kapan aku menikah, kebanyakan orang diluar sana juga mulai bertanya-tanya, apalagi aku yang tidak pernah me-post foto bersama lelaki. Pernah sekali fotoku dengan Jeremy dan aku habis dihujat oleh fans Amel sebelum kami menjelaskan kejadian sesungguhnya. Apalagi saat itu aku tak menyertakan caption di bawah foto. Sebenarnya, kami tak perlu memberikan penjelasan apapun pada mereka, bahkan mereka sama sekali tak mengenalku. Hanya saja, pemandangan dikolom komentar begitu ternodai oleh komentar yang begitu tidak pantas mereka katakan. Oh Man…. Kalian bukan siapa-siapa.             “Kak Gigi mah udah terkenal duluan dari pada kamu, Yang,” aku hanya berdecak sambil terkekeh menanggapi ucapan Jeremy. Aku terkadang merasa iri pada Amel yang sempurna dari segi fisik, dia cantik, tinggi, dan memiliki kekasih diusianya yang masih tergolong muda. Walaupun warna kulit kami sama, dan cenderung lebih coklat warna kulit Amel karena lebih sering berada diluar, tapi tetap saja Amel jauh lebih sempurna. “Udah ah, kakak mau ke dalam dulu,” kataku pada dua sejoli yang tengah memadu kasih itu. Dan langsung diiyakan oleh keduanya. Phonselku berdering dan nama Mama tertera disana. “Ya ma?” tanyaku seraya menutup pintu yang langsung mengarah pada kolam renang, dimana Amel dan Jeremy berada. “Assalamualaikum” kata mama dan aku terkekeh. “Waalaikum salam” jawabku seraya menaruh kameraku di atas meja. “Adek sama kamu, Kak?” Tanya Mama dan terdengar suara grasak grusuk diseberang sana. “Tadi lagi berenang, Ma. Sama Jeremy” jawabku dan Mama hanya berdecak. Jeremy memang sudah beberapa kali datang ke rumah sebagai tanda keseriusannya menjalin hubungan dengan Amel, tapi Mama sepertinya kurang suka karena memang aku belum tampak akan menikah, walaupun begitu Mama tetap merestui hubungan keduanya. “Nyusulin Amel dia?” Tanya Mama sedikit ketus, aku hanya tertawa. “Nggak Ma, ada kerjaan gitu katanya, ya… sambil ketemuan lah, kaya nggak tau anak muda aja” jawabku sambil tertawa kecil. “Bilangin Adek lah Kak, jangan dulu serius-serius” ucapan beliau membuatku berdecak. “Ma, kakak kan udah bilang, kakak nggak mau jadi penghalang buat kebahagiaan mereka, kalau mereka maunya nikah secepatnya sebelum kakak nikah kan juga nggak papa” jawabku panjang lebar dan semoga saja mama mengerti, setidaknya untuk saat ini. Karena aku yakin, dilain kesempatan Mama pasti akan membahas hal yang sama, dan akan terus begitu sampai aku benar-benar mendapatkan jodohku. Ohh jodoh, dimanakah engaku berada. Mama yang keturunan Jawa masih sedikit terpengaruhi adat, padahal kalau ‘melangkahi’ kan juga tidak apa-apa selama aku mengizinkan. “Tapikan Kak…” “Ma… dengar kakak. Kakak nggak papa kalau Adek misalnya mau nikah duluan, jodoh nggak ada yang tau Ma, mau sampai kapan nunggu kakak coba?” tanyaku pada mama. Helaan nafas terdengar dari seberang sana, dan aku tau kali ini aku menang lagi. Setidaknya sampai beberapa waktu kedepan aku terbebas dari rengekan Mama yang terus memintaku agar segera menikah. Sabar ya ma. “Jangan lama-lama ya kak, dapet jodohnya” ujar mama pasrah dan seketika itu juga aku tertawa. “Doain aja ya Ma” “Tante….” Teriakan dari seberang sana membuatku tertawa, aku sudah yakin bahwa si kecil Dafa yang grasak grusuk sejak tadi. “Iya sayang” jawabku lembut. Dafa adalah cucu budhe ku. Sejak berusia 4 tahun Dafa dan ibunya tinggal bersama dengan Budheku, sedangkan ayah Dafa merantau entah kemana. Dan sekarang bocah kecil itu sudah berusia 7 tahun. “Dafa sudah masuk SD loh” katanya dengan nada mendhok dan membuatku tertawa. Dafa menceritakan banyak hal tentang kegiatannya, dan aku hanya sesekali menanggapinya sementara dia bercerita dengan begitu semangat. “Budhe Mana Daf?” tanyaku pada Dafa. Dia langsung berteriak memanggil mama. “Ma… habis hari Bali Kakak langsung ke Padang ya, nengokin Papa”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD