DUA

916 Words
Happy Reading and Enjoy “Pa” sapaku pada Papa yang sudah semakin tampak tua, sudah sejak aku masuk kuliah Mama dan Papa berpisah. Aku mengerti dan walau seperti itu, aku tetap menghargai beliau, tetap menjaga komunikasi walau hanya telfon atau berkirim pesan setidaknya seminggu sekali. Kedua orang tuaku berpisah bukan karena orang ketiga, mama mengatakan kalau semuanya sudah cukup rumit untuk saling mengerti. Faktor ekonomilah yang membuat keduanya berpisah, dan aku sangat amat mengerti. Setelah mengetahui kerumitan masalah yang hanya perceraian yang akhirnya keduanya ambil, aku mulai berpikir, mencari kesenangan yang kiranya menghasilkan. Dan seperti ini lah aku sekarang. Keduanya hanya mengatakan kalau mereka sudah tak bisa bersama, aku dan Amel sudah cukup dewasa untuk mengerti bagaimana peliknya kehidupan orang dewasa yang notabene’nya adalah kedua orang tuaku. Percayalah, anak yang lahir dari keluarga broken home tak semuanya hancur, tak semuanya buruk. “Apa kabar kamu nak?” Tanya Papa aku hanya tersenyum dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Mama dan Papa memilih untuk tidak menikah lagi, atau belum, tapi jika salah satu dari mereka ada yang ingin menikah lagi, aku maupun Amel tak akan mempermasalahkan hal itu. Setiap orang pasti butuh pendamping untuk menemani masa senja mereka bagaimanapun kisahnya yang terdahulu. “Adek nggak ikut?” Tanya Papa dan ku jawab gelengan. Sekarang aku sedang makan berdua dengan Papa disalah satu restoran padang yang terkenal kelezatannya walaupun kenyataannya masakan padang memang tak pernah mengecewakan. “Dia masih di Bali, ini juga Kakak besok pagi harus ke Jogja Pa” jawabku setelah makananku tertelan. “Kalian itu ya, udah sekolahnya apa, kerjanya apa” gerutu Papa dan aku langsung tersenyum tanpa dosa. Aku dan Amel hampir sama. Kami kuliah, tapi pada akhirnya kami bekerja bidang yang tidak kami pelajari dibangku perkuliahan, aku di Ekonomi sedangkan Amel di psikologi sangat berbeda jauh dengan apa yang kami pelajari selama 4 tahun dibangku perkuliahan. Tapi menurutku, pelajaran yang didapatkan diluar teori yang setiap tahunnya hampir sama itu akan kalah dengan pengalaman yang didapatkan diluaran. Dulu aku bermimpi menjadi seorang pekerja kantoran, berpakaian formal setiap harinya, namun setelah mendapatkan penghasilan dengan cara santai dan menyenangkan seperti yang sudah biasa ku lakukan sejak dulu sampai sekarang, perlahan mimpi itu terkubur hingga tak pernah ku ingat sama sekali sampai sekarang. “Mau gimana lagi Pa, rejekinya nggak disana” jawabku acuh, dan Papa hanya mendesah pelan. Aku memang lebih dekat dengan Papa sejak dulu walaupun kami sangat jarang bertemu karena perpisahan itu. Namun setiap tahun aku pasti menyempatkan untuk bertemu dengan beliau, dan Mama oke dengan itu. Kan kalian ayah dan anak, mama nggak bisa nglarang kamu sama papa buat ketemu. Kata mama kala itu. “Kak, kan udah dewasa, kapan mau nikah” aku menghela nafasku dan menatap nanar rendang yang tinggal sepotong. Walaupun mulutku masih ingin mengunyah rendang yang seolah melambai-lambai minta dimakan, namun Papa malah mengangkat topik yang cukup sensitive diperbincangkan akhir-akhir ini oleh keluargaku. “Nanti” jawabku dengan begitu singkat lalu beranjak dari kursi yang ku duduki membasuh tanganku. “Papa nggak memaksa kamu, tapi kamu sudah hampir 30 tahun dan kamu pasti tau akan sulit mendapatkan anak jika kamu nanti hamil terlalu tua” Lanjut Papa ketika aku kembali duduk di kursi sebelumnya dengan tangan yang sudah bersih. “Usahakan tahun ini atau tahun depan ya, Kak” sambung beliau bahkan sebelum aku menjawab kalimat Papa sebelumnya. “Iya pa” jawabku sekenanya. Aku memang sudah memikirkannya sebelum ini, resiko yang akan ku terima jika aku tak kunjung menikah. Tapi ya mau bagaimana lagi? Aku sudah mengusahakannya, tapi nyatanya tak ada hasil sejauh ini. 2 tahun belakangan aku memang dekat dengan beberapa pria, tapi jujur saja belum ada yang ku rasa cocok denganku. Aku tak mau mengambil resiko, apalagi aku mencari calon suami, bukan pacar yang bisa diputuskan kapanpun jika sudah tak lagi merasa cocok. Aku tidak mau coba-coba untuk masa depanku. Dan aku bersyukur ketika Papa mulai membicarakan hal lain, karena jika papa terus melanjutkan pembicaraan sebelumnya, aku akan berada dalam tekanan. “Jadi besok langsung ke Jogja? Sebentar banget sih disini” kata Papa. Aku tersenyum. “Nanti Pa, kalau ada waktu luang lagi, nanti Kakak sama Adek kesini nengokin Papa lagi” jawabku seraya mengusap lengannya yang sudah tak sekokoh dulu. *** Aku menyeret koperku menuju loby sebuah hotel yang sudah dipesan oleh perusahaan kosmetik yang akan meluncurkan produk barunya, aku tidak dijemput di Bandara karena memang aku tak memberitahu siapapun kalau akan akan datang siang ini. Beberapa beauty vloger yang ku kenal sudah datang sejak kemarin, begitu juga dengan Naqilla yang datang kemarin menggantikanku meeting bersama panitia. “Naqilla” panggilku pada seorang wanita yang 3 tahun lebih muda dariku. “Mbak” sapanya lalu mencium pipi kanan kiriku, Naqilla adalah orang yang biasa mengatur jadwalku karena memang aku harus berada dibeberapa tempat berbeda dalam waktu yang cukup singkat. “Capek banget, Gila” keluhku padanya. “Duh… jadwalnya gila-gilaan sih mbak” gerutunya menanggapi keluhanku. Aku dari Bali langsung ke Padang dan harus kembali melakukan penerbangan ke Jogja sehari kemudian. “Ya mau gimana dong, kangen bokap juga” jawabku sambil terkekeh. Naqilla hanya menggedikkan bahunya lalu kembali berbalas pesan dengan… entahlah, aku tak terlalu tahu tentang Naqilla sebenarnya. Aku merekrutnya karena dia cekatan dan enak diajak ngobrol, selebihnya aku tak terlalu ikut campur kecuali dia memang mau cerita sendiri. Kami sampai di kamar yang sudah dipesankan untuk menginap kami selama disini, dan ini sudah menunjukkan pukul 4 sore, waktunya kami istirahat agar kembali fresh besok pagi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD