3. Walau Berat Dia Tetap Setia

1259 Words
Hari sudah berganti, tapi sejak Andreas menanyakan tentang ibunya, Wirawan jadi sering melamun. Setiap Wirawan duduk di ruang kerjanya, ia selalu melamun dan mengingat memori kala itu. Ia masih mengingat memori tentang keluarga kecilnya ketika Aruni belum meninggalkan dunia ini. Wirawan mulai membuka album foto pada masa itu. Tatapannya mengarah pada foto Aruni yang membuatnya seakan flashback ke masa itu. Ia mulai mengingat masa lalunya. Saat itu Aruni sangat menikmati perannya menjadi seorang ibu. Ia selalu merawat Yudhis dengan sepenuh hatinya. Jika Aruni menemukan suatu kendala dalam merawat Yudhis, Mpok Leila dengan sigap membantu tuannya. Pada masa itu, Wirawan sangat bahagia bersama keluarga kecilnya. Namun semua yang tampak bahagia belum tentu menghadapi suatu kendala. Sebab kehidupan rumah tangga selalu penuh dengan ujian. Hari-hari yang mereka lewati sangat hangat dan harmonis. Hingga pada suatu ketika Yudhis yang berusia 2 tahun selalu menangis dan sering tantrum. Tampaknya Yudhis mulai bosan bermain dengan ibunya dan Mpok Leila. “Mpok... Yudhis kenapa ya? Belakangan ini tiba-tiba dia menangis tanpa sebab, kadang dia ngamuk-ngamuk seperti bosan bermain di rumah.” Aruni curhat pada Mpok Leila. “Kalau kate orang tua zaman dulu... Maap maap ye nyonye... Ini Den Yudhis lagi pengin adek!” Mpok Leila melirik ke arah Aruni sambil tersenyum. “Masa sih Mpok?” Aruni hanya tertawa melihat Mpok Leila. “Kalau nyonye kagak percaye... Nanti anak aye yang masih TK sama keponakan aye yang masih balita, aye ajak kemari... Nah nti kita lihat Den Yudhis terhibur atau kagak... Kelihatan senang apa kagak begitu nyonye!” Mpok Leila memberi saran pada Aruni. “Hmmm... Boleh juga Mpok! Ya kalau kerjaan Mpok sudah selesai... Mpok minta antar Bang Rojak saja buat jemput anak-anak.” Aruni tersenyum pada Mpok Leila. Benar saja setelah anak dan keponakan Mpok Leila datang dan bermain dengan Yudhis. Terlihat Yudhis sangat bersemangat dan aktif mengikuti tingkah laku teman-temannya. “Nyonye... Benerkan aye bilang juga ape... Den Yudhis butuh teman... Biar kagak kesepian nyonye!” Mpok Leila tersenyum pada Aruni. “Berarti Yudhis harus dikasih adik...hahaha... Mpok Leila ada-ada saja!” Aruni hanya tertawa. Ia merasa senang melihat Yudhis ceria. Malam yang dingin oleh perjalanan musim, membuat hati merasa sunyi. Aruni telah menidurkan Yudhistira. “Mpok... Jagain Yudhis ya! Aku mau menemui Mas Wirawan.” Aruni tersenyum pada Mpok Leila. “Iye nyonye... Siap!” Mpok Leila berbisik pada Aruni, lalu menjaga Yudhistira. Aruni berjalan menuju kamarnya yang berada tidak jauh dari kamar Yudhistira. Ia menemui suaminya yang sedang duduk di Sofa sambil membaca koran. “Mas... Mau aku buatkan kopi?” Aruni menyapa suaminya sambil memijat punggung suaminya. “Tidak usah sayang... Lebih baik istirahat saja di sini, mumpung Yudhis sudah tidur.” Wirawan tersenyum pada istrinya. “Mas... Apa sebaiknya kita program anak kedua Mas?” Aruni menatap suaminya. “Memangnya Mami sudah siap kalau kita punya anak lagi?” Wirawan memandangi wajah istrinya yang sendu. “Mas... Jangan meledek aku... Kan biar Yudhis tidak kesepian!” Aruni bersandar pada bahu Wirawan yang bidang. “Tapi... Mami suka kan kalau diledekin Mas!” Wirawan menggoda istrinya. “Hahaha... Bisa saja Mas menghiburku.” Aruni memeluk suaminya. Malam yang semakin dingin membuat Aruni dan Wirawan terbawa dalam suasana untuk melepas kerinduan dan Aruni terhanyut dalam kehangatan pelukan suaminya. Hari demi hari Aruni mengamati sikap suaminya yang terlihat sedikit berbeda dibandingkan hari-hari biasanya. Seperti malam ini ketika suaminya baru saja pulang kerja, Wirawan terlihat lebih sering menyendiri di ruang kerjanya. Aruni tampak bingung melihat sikap suaminya yang belakangan ini tampak lebih diam dari biasanya. “Sayang....” Aruni menyapa suaminya di ruang kerjanya. “Mami... Belum istirahat?” Wirawan tersenyum pada istrinya. “Aku perhatikan belakangan ini... Mas tampak diam, kenapa?” Aruni menatap mata suaminya dengan sorot mata yang sendu. “Ini hanya masalah pekerjaan....” Wirawan tampak tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. “Cerita sama mami... Ada apa?” Aruni menggenggam tangan suaminya. “Ada beberapa kendala dalam bisnis Mas... Perusahaan kita sudah mencari tanah yang strategis, dengan harga yang sesuai... Namun banyak broker-broker ilegal yang menyuguhkan fee lebih rendah dari pada standarnya, sehingga para investor dan pembeli berpindah ke Developer yang lain yang izinnya pun masih dipertanyakan dan Mas merasa persaingan ini benar-benar tidak sehat... Mas sudah berusaha maksimal dalam menaksir harga tanah dan proyek pembangunan dibeberapa cluster... Tapi semua tampak merugi kalau masih ada broker ilegal yang memberi fee lebih rendah dari standar... Selain itu nilai tukar rupiah terhadap dolar juga sedang anjlok... Suku bunga bank untuk KPR terimbas semakin meroket... Aruni, apakah Mas bisa melewati ujian ini?” Wirawan tampak galau memikirkan solusi untuk perusahaannya. “Istighfar Mas... Mungkin ini ujian buat kita untuk menaikkan derajat kita sayang! Aku yakin Mas bisa melewati semua ini....” Do'a Aruni untuk suaminya. “Terima kasih sayang!” Wirawan memeluk Aruni. Sesungguhnya hati Aruni sangat galau memikirkan perusahaan Wirawan. Namun ia tetap terlihat tegar menghadapi segala macam ujian demi memberikan motivasi dan semangat pada suaminya. Tiga bulan berlalu namun Wirawan masih dipusingkan dengan pekerjaannya yang tampak suram. Aruni tidak menyadari bahwa dirinya tengah mengandung anak kedua mereka. Aruni sering pusing, mual, dan kelelahan. Mpok Leila tampaknya menyadari akan hal itu, ia berinisiatif untuk memanggil dokter agar memeriksa Aruni. “Nyonye... Maafin aye... Tadi aye manggil dokter buat meriksa keadaan nyonye....” Mpok Leila sedang mengasuh Yudhis sambil menemani Aruni yang kelelahan di kamarnya. “Iya Mpok... Terima kasih.” Aruni hanya tersenyum. “Nyonye... Kalau aye lihat-lihat belakangan ni, nyonye sering melamun... Pamali nyonye jangan kebanyakan bengong... Kasihan sama Den Yudhis!” Mpok Leila berusaha mengingatkan Aruni. “Iya Mpok... Aku hanya merasa lelah dan mual.” Aruni mengatakan yang sebenarnya. “Ape... Nyonye lagi hamil?” Mpok Leila tampak kaget. “Hamil?” Aruni tampak bingung dan langsung melihat kalender yang ada di meja sebelah tempat tidurnya. “Mpok... Aku sudah telat tiga bulan Mpok!” Aruni tampak sumringah. “Nah... Biar nti dokter merikse nyonye....” Mpok Leila tampak ikut bahagia. Tak lama kemudian, dokter datang untuk memeriksa keadaan Aruni. Ada berita baik dan buruk dari hasil pemeriksaan dokter. Pertama berita baiknya Aruni sedang berbadan dua alias mengandung. Namun berita buruknya adalah keadaan Aruni yang sedang mengandung mengalami hipertensi atau tekanan darah tinggi, hal ini membuat Aruni seolah vertigo dan berdebar jantungnya. Dokter menyarankan agar Aruni tidak kecapekan dan hindari stres atau pikiran yang berat. “Nyonye... Selamat ye... Den Yudhis mau punya adik!” Mpok Leila merasa senang. “Terima kasih Mpok... Sudah bantu keluarga saya!” Aruni tersenyum pada Mpok Leila. Mpok Leila kembali mengasuh Yudhis dan Aruni masih duduk di kamarnya. Ia tampak bingung untuk memberi tahu pada Wirawan. “Semoga dengan kehamilan ini, Mas Wirawan akan lebih termotivasi untuk bangkit.” Aruni mengelus perutnya. Malam pun tiba, Aruni berbincang dengan Wirawan di ruang kerjanya. Aruni memberi tahu apa yang sedang ada dalam dirinya. “Mas... Bagaimana pekerjaanmu?” Aruni tersenyum dan bersandar pada bahu Wirawan. “Ya... Banyak hal yang harus Mas hadapi, tapi semua harus optimis... Memang butuh waktu untuk memulihkan keadaan.” Wirawan tidak sepenuhnya memberi tahu pada istrinya, karena ia tak mau jika istrinya ikut memikirkan soal perusahaan yang sedang menemui kendala. “Mas....” Aruni menaruh tangan suaminya pada pusarnya sambil tersenyum. “Kenapa sayang?” Wirawan berpikir kalau Aruni ingin menikmati malam bersama seperti sebelumnya. “Aku hamil!” Aruni terlihat sangat terharu. “A... Apa? Alhmadulillah... Mami serius?” Wirawan sangat senang dengan berita ini. “Iya Mas... Semoga dengan kehamilanku ini bisa memotivasi Mas Wirawan... Untuk bangkit.” Aruni memberi semangat pada suaminya. “Insha Allah sayang!” Wirawan memeluk Aruni dan mengecup keningnya. Lima purnama telah berlalu, kini kehamilan Aruni memasuki trimester tiga. Sedangkan bisnis suaminya masih menemui kendala. Aruni tampak stres karena ikut memikirkan keadaan perusahaan dan suaminya yang terpontang-panting menghadapi persaingan tidak sehat dalam dunia bisnis. Aruni kerap kali perdarahan ringan ( flek ) pada kehamilan ini. Hingga seringnya kontraksi dan lemahnya kandungan, semua ini dipicu oleh tekanan darah tinggi dan stres. Sampai pada suatu sore, ketika Aruni bermain dengan Yudhistira di ruang televisi, saat itu ia merasa jantungnya berdebar, sakit kepala hebat, sedikit sesak napas, dan hampir pingsan. Mpok Leila sangat terkejut melihat Nyoya kesayangannya sudah tergeletak lemas di lantai. “Astaghfirullah... Nyonye... Nyonye bangun! Bang Rojak... Tulungin ini Bang!” Mpok Leila teriak sambil menangis melihat Aruni terkapar. “Astaghfirullah... Leila itu nyonye kenape?” Rojak terlihat kaget. “Ya elah Bang pake nanya! Panggil dokter sama kasih tahu bos Wirawan! Cepetan Bang!” Mpok Leila dan Rojak berusaha memindahkan Aruni ke atas sofa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD