bc

Runaway

book_age16+
2.7K
FOLLOW
21.3K
READ
possessive
family
badgirl
confident
boss
student
comedy
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Alysa Prameswara tidak pernah berfikir kalau kebiasaannya yang suka membeli tas branded akan membawa dia pada petaka bernama dijodohkan. Dan yang terparah dari semua ini adalah calonnya duda beranak satu. Membayangkan kalau dia akan dinikahkan dengan duda beranak satu yang tua, pelit, gendut, dan bisa jadi rambutnya sudah hampir habis –Alysa benar-benar tidak sanggup.

Merasa putus asa akan perjodohan konyol ini, Alysa memilih ide yang sangat ekstrem. Bermodalkan uang tunai yang cukup banyak dan beberapa barang branded untuk menjamin kehidupannya, Alysa mantap untuk melakukan aksi kabur. Hidupnya yang mudah bak anak sultan berubah drastis dalam sekejap mata.

Meskipun kabur dengan uang yang banyak dan beberapa barang branded yang bisa dijual, nyatanya kabur pun tetap tak semudah yang dibayangkan oleh Alysa. Karena kebodohannya, dia hampir menjadi gembel glamour yang menyedihkan. Dan demi menyambung kehidupannya, Alysa rela turun pangkat dari sosok yang identik dengan barang branded menjadi babysitter yang kucel dan kumel.

Dari aksi kaburnya, Alysa benar-benar belajar banyak hal. Ada banyak perjuangan, pengorbanan yang melelahkan, sampai cinta yang rumit. Hidup tak selalu seindah yang dia bayangkan, tapi seperti inilah hidup yang sesungguhnya.

Lalu ketika ada rahasia yang terungkap, mampukah Alysa belajar satu hal lagi, yaitu memaafkan orang-orang yang bergabung untuk membuatnya belajar banyak hal tersebut?

chap-preview
Free preview
ALYSA – NO! NO! NO!
Aku membuang ponselku ke atas ranjang dengan kasar. Wajahku tertekuk sebal setelah menerima panggilan itu. Oh, suara pria tua itu berdengung terus di telingaku. Nafasku memburu karena pembicaraan menyebalkan itu. “Kalau kamu menikah dengan saya, maka kamu harus perbaiki sikapmu. Papamu bilang kalau kamu itu boros dan saya nggak mau itu terjadi dalam rumah tangga kita kelak. Oh ya, saya juga punya satu anak perempuan yang cantik. Saya mau kamu menyayangi dia dengan sepenuh hati walau status kamu ibu tiri. Saya akan marah sekali kalo kamu sampai membuat anak saya itu nangis bla....bla...bla.” Ugh, mengingat kalimatnya yang super panjang itu membuat aku naik darah. Siapa juga yang mau nikah sama dia? Siapa juga yang mau jadi ibu buat anak perempuannya-yang-cantik itu? Papa lo yang mau, Al. Dan kenapa pula batinku ikut bersuara dengan nggak jelas. Ini semua gara-gara Papa yang terus mempermasalahkan caraku mengelola uang. Aku cuma menghabiskan ‘sedikit’ uang yang Papa kasih. Papa punya bisnis yang maju, sehingga seharusnya nominal bulananku nggak menjadi masalah. Apalagi dengan statusku yang merupakan anak perempuan satu-satunya. Nggak ada salahnya kan memanjakan anak? Papa dengan teganya menjodohkan aku dengan salah satu koleganya. Nggak ada diskusi apapun. Intinya aku dijodohkan dengan dia dan besoknya si dia ini menelpon. Ya, itulah tadi percakapannya yang membuat darahku sudah mendidih. Dan yang lebih parah lagi, koleganya itu adalah duda beranak satu. Buyar sudah semua khayalan pernikahanku di masa depan. Papa benar-benar sudah menghancurkannya dengan perjodohan ini. Membayangkan duda itu jelek, wajahnya datar, perutnya buncit, rambut kepalanya sudah mulai memutih atau bahkan sudah setengah botak.... Astaga, nggak mau! Enak di duda itu karena dapet gadis kinyis-kinyis macem aku, tapi enek di aku karena dapet yang macem itu.  Dan jangan lupakan kemungkinan kalau duda itu pelit. Alamat aku akan mengalami kesengsaraan hidup. “PAPAAAAAA!” Aku berteriak –benar-benar berteriak- tanpa mempedulikan tetangga yang akan terganggu karena sudah merusak sore cerah mereka. Tidak ada yang lebih penting selain nasibku sekarang ini. Beberapa detik setelah aku berteriak, aku mendapati Mama lari tergopoh-gopoh dan berhenti tepat di anak tangga paling bawah. Mama mendelik dan aku melengos. “Kamu bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak? Sekomplek itu bisa budeg denger teriakan cemprengmu, Al.” “Papa di mana?” Tanyaku to the point. Mama menghela nafas sejenak. “Di teras belakang. Dia lagi baca koran.” Aku langsung meninggalkan Mama dengan kaki yang kuhentak-hentakkan. Di teras aku mendapati Papa sedang duduk dengan kaki yang disilangkan. Dia sedang membaca koran paginya yang sudah lewat dengan secangkir kopi dan setoples cookies. Masih bisa ya enak-enakan setelah menjodohkan aku dengan duda nggak berperasaan itu, batinku dengan cemberut. Tanpa permisi, aku langsung mengambil duduk di kursi depan Papa. Aku duduk setegak batu dan memasang ekspresi marah yang benar-benar serius. “Jangan teriak-teriak kayak gitu lagi, Al. Papa sama Mama udah biasa tapi kasian tetangga yang harus bolak-balik ke THT.” Hahahaha... Garing banget. Sindiran Papa tidak akan mempan. Sudah banyak julukan khusus untuk suaraku. Mulai dari kaleng rombeng sampai toak masjid. Sindiran Papa seperti mental begitu saja ditubuhku. “Aku nggak mau nikah sama orang pilihan Papa. Dia lebih pantes di jadiin Om aku daripada suami.” Aku mulai berargumen. Papa hanya melirik aku sekilas, lalu melipat korannya dengan halus. “Tapi Papa pengennya dia jadi suami kamu, bukan Om kamu.” “No! No! No!” Aku menggeleng tidak setuju. Papa disogok pake apa sih kok sampe yakin banget sama duda itu? “Paaaa.... aku belum genap duapuluh satu tahun. Masa udah dijodoh-jodohin dan mau nikah sih? Iklan televisi aja melarang anak-anak jaman sekarang nikah terlalu muda, masa Papa malah menjerumuskan aku sih.” “Iklan yang mana itu? Papa nggak pernah liat.” “Ya gimana mau liat iklannya kalo Papa aja nggak pernah nonton televisi. Kan Papa lebih milih koran basi.” Aku mendengus. “Tapi, Pa, iklannya bener-bener ada. Nggak boleh nikah terlalu muda itu. Aku nggak bohong. Suerrr!” Aku masih berusaha membujuk Papa, tapi Papa malah tertawa melihat tingkahku. Aku nggak melawak Papa! “Mau iklannya ada atau nggak di televisi, perjodohan ini bakal tetep dilakuin, Al. Jadi daripada kamu sibuk ngurusin iklan itu, mending sekarang kamu banyak-banyak baca buku tentang bagaimana caranya menjadi istri yang baik.” Aku mengusap wajahku dengan kasar. Jujur, aku sudah frustasi. Membayangkan menikah di usia muda benar-benar menghancurkan semua rencana masa depanku. Memang benar rencana masa depanku nggak seperti anak tetangga sebelah yang betul-betul terperinci, tapi ini tetap masa depanku. Masa iya sih aku sendiri nggak bisa mengatur masa depanku? “Papa ngelakuin ini demi kebaikanmu, Al. Sekarang kamu boros banget soal uang. Apalagi kalo udah ketemu barang branded, asal gesek aja kartu yang Papa kasih tanpa mikir-mikir lagi. Kamu nggak kasian sama calon suamimu kelak? Syukur kalo ternyata dia orang berada, terus kalo bukan gimana? Papa yakin kamu bakal stres banget karena sebelum nikah semuanya keturutan tapi begitu nikah malah kesusahan.” “Aku nggak masalah dengan perjodohan, tapi kenapa mesti duda beranak satu, Pa? Apa nggak ada kolega Papa yang masih single tanpa ‘paketnya’? Masa iya aku jadi Mama di usia yang masih muda ini. Papa kan tahu aku ANTI sama anak-anak!” “Nah, ini poin pentingnya. Kalau kamu menikah sama pilihan Papa yang sekarang, otomatis kamu dapet pelajaran plus-plusnya. Kamu bisa belajar jadi istri yang baik, yang pinter mengelola uang, sekaligus pinter ngurusin anak. Lengkap banget kan paket yang Papa tawarin? Justru kamu di sini untung pake banget.” Aku memutar bola mataku. Untung atau rugi sebenarnya tergantung dari sudut mana seseorang memandang. Dan aku dengan tegas lebih memilih memandangnya sebagai kerugian. Nggak ada untungnya sama sekali. “Nikah tuh nggak selamanya seperti yang kamu bayangin, Al. Pernah nggak kamu bertanya-tanya kenapa cerita princess yang sering Mamamu ceritain pas kamu kecil selalu berakhir di saat mereka udah ketemu pasangannya, lalu mereka menikah, dan disambung dengan tulisan happily ever after?” Papa menjeda dan aku masih menyimak walau dengan setengah hati. “Karena Papa yakin penulisnya juga tahu kalau kehidupan setelah menikah nggak selamanya seindah itu untuk diceritakan. Mereka akan bermesraan setelah sebelumnya bertengkar hebat. Mereka akan tertawa bersama setelah sebelumnya saling adu mulut untuk memenangkan argumennya. Hal-hal sepele menjadi besar. Hal-hal mudah dibuat rumit. Itulah pernikahan, Al.” Papa meminum tehnya lebih dulu sebelum melanjutkan lagi. “Karena itu pentingnya memilih suami. Dan calon Papa ini –Papa yakin dia bisa dipercaya. Papa yakin dia bisa mendidik kamu menjadi istri sekaligus ibu yang baik di usiamu yang masih muda.” Kali ini aku benar-benar sudah mendengarkan apa yang Papa katakan dengan sepenuh hati. Sejengkel apapun aku pada Papa, entah kenapa selalu ada ruang untuk memaafkannya. Aku selalu merasa kalau Papa adalah orang hebat yang semua perkataannya sudah terbukti benar. Tapi perjodohan ini... apakah juga salah satu pilihannya yang terbukti benar? “Tapi, Pa, dia itu duda dan juga udah punya anak!” “Memangnya apa bedanya kamu menikah dengan duda beranak satu atau dengan bujangan?” Ya mana aku tahu! Kan aku belum pernah nikah, Papa, batinku dengan muram. “Nggak ada bedanya, Al. Semuanya kembali lagi ke individunya.” Aku merengut. Perkataan Papa memang benar sekali, tapi... tapi aku tetap tidak bisa menerimanya! “Malah kalo kamu mencoba memandang dari sudut pandang lain, kamu akan mendapatkan keuntungan yang banyak banget. Perempuan lain baru dapet ilmu ngurus suami dengan baik dan benar, eh kamu udah sampe ngurus anak dengan baik dan benar. Pikrin sisi positifnya, Al.” Tapi masalahnya aku nggak mau memandang dari sudut pandang lain. Aku menatap Papa dengan ekspresi memelas. Papa biasanya akan luluh melihatnya, tapi sepertinya kali ini nggak berhasil. “Pa...” “Apa sih, Al?” “Batalin, please?” “Semua udah deal, sayang.” Aku mendengus jengkel. Seenaknya saja membuat kesepakatan tanpa persetujuanku. “Paaaaa.... Aku nggak mau nikah muda. Aku janji deh kalau aku bakal lebih hemat. Nggak kayak dulu lagi kok.” Aku memasang tampang super serius, tapi Papa malah berdecak tak percaya. “Halah, janjimu itu bohong. Bulan kemaren kamu juga gitu, sehari-dua hari masih oke. Tapi seminggu kemudian? Boros lagi. Kayak sekarang ini.” Aku bener-bener serius kali ini. Nggak mungkin aku main-main lagi kalau taruhannya hidupku macem ini. Bulan kemarin aku masih nggak ada warning soal nikah sama duda beranak satu, jadi aku pikir Papa hanya menggertak saja. Tapi sekarang? “Aku serius. Serius pake banget! Kalo Papa mau, Papa bisa jual semua koleksiku. Tas, sepatu, baju, atau apapun lah yang berharga jutaan. Nggak apa-apa, asal perjodohan konyol ini dibatalin.” Gelengan pelan Papa membuat aku langsung pupus harapan. “Nggak bisa, Al. Papa sama calonmu udah setuju.” Finally, inilah akhir kisahku. Tamat. The end. *** “Al, sini!” Salsa melambaikan tangannya tinggi-tinggi dan aku melihatnya. Tanpa pikir panjang, aku langsung mendekat dan duduk dengan kepala yang langsung kujatuhkan ke atas meja. “Tumben bener lesu kek gini. Kenapa? Kartu kredit lo lenyap lagi ya?” “Ini lebih urgent dari sekedar kartu kredit gue lenyap lagi.” Aku menggumam dan Salsa tertawa tak percaya. “Bentar lagi hidup gue bakal lenyal, Saaallll....” “Mana ada sih! Hidup lo kan berbanding lurus dengan kartu kredit. Kartu kredit ada ya makmur, nggak ada ya lesu macem ini.” Salsa tertawa dan aku tetap muram. “Btw, kenapa lo ngajak ketemu sih hari ini? Heran banget gue kok lo hobi banget curhat ke gue. Gue ini kan bukan pakar kehidupan lo kaleee.” “Gue dijodohin.” Selama beberapa detik terjadi keheningan. Sampai akhirnya Salsa tertawa terbahak-bahak. “Selera humor lo kayaknya naik deh, Al. Jangan-jangan lo dapet tambahan duit lagi.” Aku melotot ke arah Salsa dengan horor. Aku benar-benar sudah muak Salsa membahas uang. Gara-gara uang itu sekarang hidupku menjadi taruhannya. “Gue serius.” “Demi apa?!” Sekarang Salsa yang menjadi heboh. Aku memutar kembali bola mataku. Kujatuhkan lagi kepalaku ke meja dengan lesu. “Ya ampun, gimana sama calonnya? Ganteng nggak? Gagah nggak? Kerjaannya apa? Astaga, Alysa, ini kayak di novel-novel yang sering banget gue baca tahu.” “Calonnya duda beranak satu. Kayaknya sih perutnya buncit dan kepalanya udah botak. Dan mungkin juga pelitnya ngalah-ngalahin anak kos di akhir bulan. Selesai. Hidup gue tamat.” Salsa ternganga dalam posisi hendak menyedot minumannya. Itu nggak berlebihan kok. Aku paham sekali kenapa dia sampai bereaksi begitu. “Lo nggak bercanda kan?” “Gue juga pengennya Papa gue bercanda, Sal. New Year Mop gitu, atau apalah.” Salsa menggaruk pelipisnya. “Di novel yang gue baca memang ada sih yang begitu, tapi kok di dunia nyata nggak keren ya, Al.” Aku mendengus. Aku sudah muak dengan Salsa yang membandingkan kisahku dengan kisah-kisah yang dia dapat dari Novel. “Jangan bandingin terus sih, bikin gue semakin tertekan aja. Bantuin cari solusi kenapa?” aku mendengus. Salsa menjauhkan minumannya dan memfokuskan diri padaku. “Tunggu-tunggu, kenapa lo bisa ampai dijodohin? Orangtua lo kan tahu kalo lo nggak becus ngurus rumah, lah kok ini malah dijeblosin buat ngurus keluarga? Udah ada anaknya lagi.” “Gue juga nggak tahu kenapa bisa sampe kayak gini.” Aku menghela nafas lemah penuh penyesalan. “Tapi yang jelas tagihan kartu kredit gue overlimit lagi.” “Kan gue udah ngomong dari dulu soal hobi shoppaholic lo yang kelewatan itu. Syukurin! Dapet balasannya juga kan.” Nah ini. Sepertinya aku kualat. Dulu aku beranggapan kalau semuanya akan baik-baik saja. Papa mungkin marah kalau aku melebihi batas, tapi ya hanya sebatas itu. Sehari-dua hari kelar urusan. “Tapi ini tuh bener-bener mendadak. Nggak ada ultimatum macem ini dan tahu-tahu udah ada kesepatan perjodohan aja. Mana udah nggak bisa dibatalin lagi.” “Ya itukan dulu. Handphone lo aja tiap bulannya ada keluaran terbaru masa sikap Bapak lo nggak ada pembaharuan padahal udah bertahun-tahun!” “Iya, gue salah, Mbak Salsa. Jadi apa solusinya?” Aku menatap Salsa dengan tatapan memohon petunjuk. “Kabur sono!” “Hah?” Kupingku nggak salah denger solusi dari Salsa kan? “Kalo nggak mau nikah, kabur aja sana.” Aku menggeleng cepat. “Gini-gini gue anak berbakti ya, Sal. Walaupun gue begajulan tapi gue nggak mungkin kabur! Solusi yang lain.” Aku bersungut-sungut sendiri karena solusi itu. “Kalo lo anak berbakti ya turutin dong kemauan orangtua lo. Nikah sana sama duda beranak satu yang mereka calonin. Itu baru bener-bener berbakti.” Aku menatap Salsa dengan tatapan memelas. “Gue yakin orangtua lo nggak akan kasih calon yang sembarangan. Dengan gitu lo bisa belajar urus rumah tangga dan nggak boros-boros lagi. Coba ambil hikmahnya deh.” Persis seperti yang Papa suruh. Dan tentu saja aku nggak akan sudi memikirkannya.  “Solusi yang lain dong. Gue nggak mungkin kabur, Sal. Lo kan pinter, coba pikir yang lainnya.” “Nggak ada, Al. ” Kabur atau nikah? Oh my god. Nggak ada pilihan yang lebih baik apa? Aku ini anak kuliahan yang belom kerja. Lah, kalo aku kabur dan kehabisan duit gimana? Kan nggak mungkin makan batu. Tapi kalo nggak kabur, berarti aku harus menikah dong. Masa iya sih harus menikah sama duda beranak satu? Aku menggaruk-garuk rambutku yang nggak gatal. Dan didasari rasa frustasi ini, aku mendapatkan sebuah ide yang luar biasa buruk. Bodo amat! “Sal, temenin gue!” Salsa mengernyit. “Ke mana?” “Belanja buat persiapan kabur.” Kataku dengan cepat dan tegas. “Lo masih bisa belanja padahal hal buruk ini terjadi karena sifat shoppaholic lo—” Salsa menggantung kalimatnya. Matanya membulat sambil menatapku. “Tunggu, lo bilang apa? Per-Persiapan kabur? Lo serius?!” Aku mengangguk mantap. Yah, ini pilihanku. Aku nggak mau dijodohin sama duda beranak satu itu. “Gue belom kerja dan kabur itu butuh biaya. Gue harus belanja barang mahal biar nanti bisa dijual kalo gue butuh duit. Ah, gue juga butuh uang tunai. Jadi gue bakal ambil duit sebanyak mungkin dari ATM.” Kataku yakin dengan mata berbinar. Salsa menatapku dengan tidak percaya. “Lo mau ngerampok orangtua lo sendiri?” Dia bertanya dan aku mengangguk. Sebenarnya aku bingung apakah aku harus mengangguk atau menggeleng. Aku nggak akan mengambil banyak-banyak kok. Sedikit saja. Sisanya aku akan menjual tas-tas brandedku yang sialan itu untuk menyambung kehidupan. Ketika aku sudah mantap dengan keputusanku, Salsa menggeleng. “G-Gue bercanda soal kabur. Nggak usah lo anggep serius deh!” Tanganku mengepal layaknya sedang menyerukan kemerdekaan. “Gue yakin bakal kabur.” “Aduh, Al. Bisa tinggal nama kalo bokap lo tahu ternyata yang ngasih usul kabur itu gue. Nggak, gue nggak mau ikut-ikutan!” “Isshh, lo nggak usah takut gitu. Gue pastiin lo aman, nyaman, dan damai sentosa. Udah ayo temenin gue belanja!”    TBC

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

T E A R S

read
312.8K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
54.4K
bc

True Love Agas Milly

read
197.8K
bc

Married With My Childhood Friend

read
43.9K
bc

Nikah Kontrak dengan Cinta Pertama (Indonesia)

read
450.8K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook