ALVARO – CALON ISTRIKU, DI MANAKAH ENGKAU?

1754 Words
“Tolong cancel semua meeting hari ini. Semuanya. Setelah itu atur ulang lagi jadwalnya. Kepala saya pusing, jadi saya mau pulang lebih awal.” Aku berujar pada sekretarisku yang tampak frustasi karena aku –lagi-lagi- membatalkan janji pertemuan dengan salah satu klien. Sebenarnya aku juga nggak tega membuat dia terus mengatur jadwal, dan mungkin juga diomeli oleh pihak sana. Tapi aku benar-benar nggak bisa berbuat apa-apa sekarang. Kepalaku pusing luar biasa dan badanku sudah panas dingin. Fix, ini tinggal menghitung hari untuk aku benar-benar sakit. “Mau ke rumah apa ke apartemen, Den?” sopir yang sudah menemaniku sejak setahun belakangan bertanya dengan sopan. Tanpa pikir panjang aku langsung memilih rumah Mami. Di rumah ada Mami yang akan mengurusku. Dan ada juga Tiara keponakanku yang lucu. Mungkin dengan seperti ini sakitku akan segera membaik. Aku hanya berniat memejamkan mata sejenak, tapi yang terjadi aku malah jatuh tertidur. Dan tidak berapa lama kemudian aku terbangun dengan bingung saat supirku membangunkanku. Sial, sepertinya aku memang butuh segera tidur. Baru kali ini aku mengakui kalau sifat workaholic-ku sudah benar-benar kelewatan. Aku benar-benar harus beristirahat dengan cukup jika tidak mau terbangun di kamar rumah sakit. Niat hati datang ke rumah Mami adalah untuk beristirahat. Benar-benar beristirahat. Tapi kenyatannya, aku justru dibuat pusing lagi dengan hal lain. Saat hendak memasuki rumah Mami aku melihat babysitter Tiara keluar dengan menenteng tas. Alarm tanda berbahaya langsung berbunyi dengan kerasnya. Alamat aku bakal pusing banget ini! “Mau ke mana kamu?” tanyaku dengan to the point. Jangan bilang kalau dia bakal... “Maaf, Den. Saya udah nggak kuat ngurus Non Tiara. Saya udah izin Ibu dan Ibu setuju.” Persis seperti dugaanku. Aku menghela nafas. Aku benar-benar heran kenapa ini harus terjadi pada semua babysitter Tiara. Selalu saja ada alasan yang membuat mereka nggak betah. Bahkan gaji yang besar dengan tambahan bonus pun nggak bisa membuat mereka tetap tinggal. Mencari babysitter buat Tiara itu sebelas-dua belas dengan mencari istri untukku. Sama-sama susah dicari. Kalaupun dapet, ada aja alasan untuk pergi. Tapi Tiara ini memang sudah kelewatan. Semua babysitter-nya nggak ada yang bertahan sampe setahun. Jangankan setahun, bisa tahan sebulan saja sudah syukur alhamdulillah. Memahami bahwa mengurusi Tiara itu nggak mudah, aku mengeluarkan dompetku dan mengambil beberapa lembar uang ratusan. Dia sudah bekerja keras mengurus Tiara yang rewel beberapa minggu ini dan aku harus memberinya pesangon yang layak. “Makasih, Den. Saya permisi.” Aku mengangguk. Kupandangi punggung mantan babysitter Tiara sebentar sebelum akhirnya aku memutuskan masuk ke dalam rumah. Okay, PR-ku bertambah berkat Tiara. Di dalam kepalaku yang sudah mampet oleh berkas-berkas perusahaan, aku kembali menambahkan tugas ‘Mencari Babysitter’ dengan tulisan besar-besar yang di bold. Memasuki rumah, aku mendengar suara cekikikan Tiara yang sangat khas. Anak kecil itu sedang bahagia rupanya. Nakalnya keponakanku ini. Bagaimana bisa dia tertawa sebahagia itu di saat dia sudah membuat babysitter-nya mengundurkan diri. “Tumben jam segini udah pulang.” Komentar Mami setelah melihat kehadiranku yang tidak terduga. Memang sedikit aneh sih. Biasanya di jam-jam sekarang ini aku masih berkutat dengan berkas-berkasku di kantor. Aku mendengus. “Aku pulang cepet salah, pulang telat juga salah. Jadi aku harus gimana, Mi?” jawabku sambil mencari posisi duduk yang pas. Begitu mendapatkannya, aku langsung menyandarkan kepalaku yang terisi penuh dengan PR-PR yang tidak pernah selesai. “Aku pulang cepet karena ngerasa nggak enak badan. Kepalaku pusing.” Kupikir dengan mengeluh akan membuat Mami langsung menghampiriku dan mengelus kepalaku seperti saat aku masih kecil, tapi dugaanku salah, saudara-saudara. “Makanya kalo dijodohin itu nurut aja. Kalo kamu nurut, udah dari tiga bulan lalu hidupmu ada yang ngurusin. Nggak luntang-lantung kayak gini!” Nah, kan. Aku membuka mata dengan senyum yang kupaksakan. Mamiku ini memang hebat banget. Aku ngomong apa dan Mami bisa menyambungkannya dengan topik yang sedang dia pikirkan. “Kok jadi nyambung ke perjodohan sih, Mi? Aku cuma pusing dan pusing kayak gini tuh biasa banget.” “Ya Mami tahu! Tapi setidaknya kalo kamu udah beristri kan ada yang ngurusin.” Oke, fix. Apapun pembelaanku akan tetap berakhir sebagai kesalahan. Lebih baik cari aman. Diam. “Makanya cepetan punya istri. Kalo kamu sakit, pasti sama istrimu bakal disayang bukannya di omelin kayak Mami sekarang.” “Oke, oke...” selorohku dengan setengah hati. Aku melemparkan tatapan malas ke arah Tiara yang sibuk dengan mainannya. “Sekarang balik ke topik yang terbaru dan terpenting. Masalah babysitter-nya Tiara.” Mama mengangkat bahunya dengan santai, seolah-olah tidak ada bencana yang baru saja terjadi. Yap, mungkin berlebihan karena aku menganggap berhentinya babysitter Tiara adalah bencana. Tapi memang seperti itulah keadaannya. Sudah nggak terhitung berapa babysitter yang datang dan memohon diizinkan berhenti padahal baru sebulan. “Kenapa lagi memangnya?” Aku menarik punggungku dari sandaran, mencoba serius. “Kenapa Mami nggak cegah sih? Iming-imingi naik gaji atau apalah biar dia nggak pergi.” Mami menghela nafas pelan. Mami memandangi cucu kesayangannya yang sedang bermain dengan tatapan penuh kasih sayang. Selalu seperti itu. Kurasa Mami terlalu lemah pada Tiara. “Tiaranya nggak nyaman, Al. Kasian kalo dipaksa.” “Ya kalo nggak dipaksa Mami mau ngurus Tiara sendirian? Tiara itu hiperaktif banget, Mi.” Kataku agak kesal. Walau bagaimanapun aku nggak pengen Mamiku yang sudah berumur dibuat stres karena ulah unik Tiara setiap harinya. Aku memikirkan kesehatan Mami, tapi sepertinya Mami nggak memahaminya sampai situ. “Sekarang biar Mami aja yang ngurus tapi nanti Mami usaha buat cari babysitter lagi. Kamu tenang aja.” “Nyari babysitter itu susah banget, Mi. Belom kalo nanti pas ketemu Tiara nggak cocok lagi.” “Ya terus mau gimana lagi? Selain karena Tiara nggak nyaman, babysitter itu juga nggak nyaman. Dia mengundurkan diri lho, bukan dipecat. Mami nggak bisa dong nahan orang yang memang udah pengen berhenti kerja.” Mami sedikit jengkel dengan sikapku yang berlebihan. Aku hanya bisa menghela nafas saja. “Santai aja kenapa sih, Al. Toh yang nyari babysitter itu Mami, jadi kamu nggak usah stres gitu. Masalah Tiara biar Mami aja yang ngurus dan kamu terima beres. Kamu urus aja masalah pertemuan kamu sama calonmu minggu depan. Inget, Mami nggak mau semua gagal lagi. Mami mau kamu nikah tahun ini. Kamu terima beres soal Tiara dan Mami terima beres soal pernikahanmu.” Nah ini. Aku langsung menyadarkan punggungku ke sandaran sofa lagi. Pusingku bertambah menjadi berkali-kali lipat. Niat hati ingin menjadi anak yang berbakti dengan memikirkan keadaan Mamiku sendiri, eh malah sekarang Mami justru mengungkit masalah calonku. Nyebelin banget sih ibu-ibu satu ini. Untung sayang. Selesai dengan Mami, aku mencoba memfokuskan diri pada Tiara. Kupanggil dia dengan teriakan yang super membahana. Harus seperti itu gara Tiara mendengarnya dan bergegas menemui aku. Saatnya untuk menginterogasi penjahat kecil itu. Tiara berlari untuk menghampiriku. Melihatnya menghampiriku dengan senyum lebar penuh semangat, lelah yang kurasakan sedikit berkurang. Bahkan niat ingin menginterogasi sudah sepenuhnya hilang. Aku hanya ingin bercanda sebentar lalu istirahat. Inilah pesona Tiara. Pantes Mami langsung luluh begitu melihat senyum penjahat kecil itu. “Kamu apain Mbak babysitter sampe dia pergi dari sini, hm?” Tanyaku dan dia justru menggoyang-goyangkan tubuh mungilnya dengan lucu. Dia sedang mencari alasan rupanya. Aku mendelik ke arahnya dan dia memanyunkan bibirnya. “Mbaknya nyebelin. Mbaknya nggak bisa diajak main. Mbaknya nggak cantik. Pokoknya, aku nggak suka Mbaknya!” Aku memutar bola mataku. Lihat, lihat. Anak umur enam tahun sudah berani pilih-pilih. Sudah bisa menilai mana yang cantik dan mana yang nggak cantik. Lagian mana ada babysitter cantik. Kalo dia cantik mendingan jadi model sekalian daripada ngurusin kamu yang nakalnya minta ampun, Tiara, batinku. “Kalo cantik namanya bukan babysitter, Tiara. Tapi...” Mami menyela dengan kalimat yang masih digantungkan. Aku mengernyitkan keningku. Kutatap Mami dengan penasaran. “... tapi dia istrinya Om kamu ini.” Lanjut Mami lagi dengan riang. Aku sudah menduganya, jadi nggak terlalu kaget. “Istri itu apa, Oma?” Dan Tiara menangkap perkataan Mami dengan serius. Ya ampun, kenapa juga rasa penasarannya tinggi banget. Mami tersenyum ke arahku. Dia sudah siap akan menjawab tapi aku memberinya pelototan dan gelengan. Mami harus menjaga mulutnya. Anak seusia Tiara belum seharusnya tahu hal-hal seperti ini. Tapi sayang Mamiku ini sangat keras kepala. “Istri itu artinya calon Tantemu.” Kuusap wajahku dengan kasar. Walau jawabannya nggak mengandung unsur dewasa yang berlebihan, tapi aku tetap nggak suka. Mau bagaimana lagi? Mami tipikal orang yang kalo ditentang justru tambah gencar akan melakukannya. Kuabaikan Mami dan aku kembali fokus pada Tiara yang masih memanyunkan bibirnya dengan lucu. “Nanti kalo dikasih babysitter lagi kamu nggak boleh kayak gini lagi, okay? Nggak boleh nakal lagi. Nanti kalo Mbak babysitternya berhenti lagi kasihan Oma. Oma udah tua, jadi nggak akan bisa nemenin Tiara lari-larian lagi.” Perkataanku dihadiahi dengan pukulan sedang di bahu dari Mami. Tentu saja. Mami itu tipikal ibu-ibu yang nggak suka dikatai tua. Dia selalu menganggap dirinya muda. “Gimana? Nanti kalo Tiara baikin Mbak babysitter-nya yang baru, Om janji bakal kasih Tiara hadiah. Mau hadiah nggak?” Tidak perlu menunggu lama karena Tiara langsung mengangguk antusias. Matanya berbinar mendengar kata hadiah. Benar-benar cara yang manjur. “Oke deh, Om. Tapi, Om, Mbak babysitter-nya harus yang cantik ya. Yang cerewet juga nggak apa-apa biar nanti aku ada temen ngobrol.” Emang apa sih yang mau diobrolin anak seusia Tiara? Dasar anak kecil. Kuangguki saja biar Tiara puas dan nggak berbuat onar lagi. Kuacak-acak rambutnya yang diurai siang ini lalu membiarkannya kembali ke tempat mainnya lagi. Inilah caraku memarahinya. Aku paling nggak bisa kalau disuruh memarahi Tiara dengan cara yang kasar. Dia sudah seperti anak kandungku sendiri sejak kedua orangtuanya meninggal. Memang miris, di usianya yang baru menginjak empat tahun dia sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya karena kecelakaan. Sejak saat itu, aku sudah menjadi ayah serta ibu untuknya. Apapun kebutuhannya aku yang menanggung. Dia memang tida mempunyai orangtua yang sempurna, tapi dia punya Om yang luar biasa sempurna. Selesai dengan salah satu tugasku, aku beranjak memasuki kamar. Aku benar-benar pengen beristirahat secepatnya. Tanpa memikirkan mandi atau apapun, aku segera berbaring dan memejamkan mata. Pusing di kepalaku sedikit membaik berkat ini. Saat aku masih memejamkan mata, tiba-tiba saja terlintas bayangan perempuan yang sedang mengurusiku di saat seperti ini. Dia tersenyum padaku dan telaten merawat aku yang sedang tidak berdaya. Senyumku ikut terukir juga. Seandainya saja aku memang punya istri, pasti rasanya akan seperti yang Mama katakan. Saat bahagia akan ada yang menemani dan saat lelah seperti ini ada yang mengurusi dengan telaten. Nikmat banget rasanya. Aku membuka mata dan menggeleng cepat. Kenapa tiba-tiba aku membayangkan hal seperti ini? Sialan. Ini pasti efek dipameri Mami tentang nikmatnya punya istri. Kupandangi langit-langit kamarku dengan hampa. Calon istriku, di manakah kau berada? TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD