Wanita Seharga 1 Miliar

1033 Words
"Dia salah satu pegawaiku." Jessica mendekati Jelita yang sudah mengangguk sembari memberi sapaan selamat malam. Jessica tak membalas, tapi justru ajukan pertanyaan pada calon tunangannya. "Apa yang dia lakukan disini, Wira?" Dari nada bicara Jessica yang keras, Wira bisa pastikan kalau gadis kaya, putri teman ibunya ini akan bersiap meledak, bila jawabannya tidak sesuai. "Dia yang mengantar dokumen untukku," jawab Wira, tapi kemudian segera alihkan pembicaraan. "Bagaimana denganmu? Apa yang bisa aku lakukan untukmu?" Wira telah ketahui, Jessica adalah tipe gadis manja. Ia akan mendapatkan apa yang diinginkan, bahkan dengan segala cara. Wirapun berusaha menyikapi dengan menunjukkan sikap tenang. Jessica tak segera menjawab, tapi memperhatikan Wira dengan seksama. Bisa Wira pastikan, kalau Jessica mulai mencurigai sesuatu. "Wira, Honey? Ada apa ini? I know something wrong. Just tell me," rentetan pertanyaan dari Jessica, sengaja dengan bahasa Inggris, berharap Jelita tak mengerti. Jessica sempat memberi penilaian dari cara berpakaian Jelita, kalau hanyalah seorang gadis biasa dan masih polos. "Tidak ada apa-apa. Aku harus mengantar dia pulang. Sudah malam," sahut Wira, lalu mendekati Jelita. "Kamu sudah siap? Kita pergi sekarang," perintahnya pada Jelita. "No, wait! Tunggu!" pinta Jessica, menahan lengan Wira. "Kamu..." "Apa? Aku kenapa?" Sebenarnya Wira sudah memiliki prasangka, tapi ia ingin membiarkan Jessica yang mengatakannya sendiri. Sebagai seorang pria yang pernah melakukan hubungan intim dengan kekasih pertamanya dulu, Wira tentu bisa bedakan antar hasrat secara normalnya tergugah, dengan kobaran karena obat penambah stamina, atau obat perangsang. Meskipun Wira tidak mau secara langsung menuduh, tapi alibi yang paling kuat memberikan obat semacam itu, hanyalah Jessica, satu-satunya orang yang paling dekat dengan rentang waktu bekerjanya obat itu sendiri. "Apa kamu dan dia..." Kembali Jessica tak sanggup lanjutkan pertanyaannya, terlebih setelah menatap pada Jelita, gadis muda itu jelas-jelas habis menangis, dan terlihat masih menahan tangisan. "Kita bicara nanti. Sekarang, aku akan mengantar dia pulang dulu. Nggak enak sama orang tuanya." Wira beri kode pada Jelita agar segera melangkah, menjauhi situasi ini juga. Wira sudah tahu banyak tentang watak keras Jessica, jadi tak ingin libatkan Jelita dalam pembicaraan yang justru akan membuat gadis itu semakin terguncang. "Tapi Wira, katakan padaku terlebih dulu, apa kamu dan dia sudah melakukannya?!" tuntut Jessica lantang, dengan menarik lengan Wira agar kembali menghadap ke arahnya. "Lakukan apa? Aku hanya mau antar dia pulang," sahut Wira dengan jawaban sama, masih menutupi apa yang sudah dia sangka. "Wira!" panggilan Jessica bergetar, merasakan kalau Wira telah sembunyikan sesuatu. Wira menoleh, namun melepaskan ikatan yang di berikan Jessica. "Apa?" sahutnya dingin. "Katakan saja kalau kamu dan gadis itu sudah melakukan--" "Iya! Dan itu karena kamu!" sela Wira berupa bentakan. "Kamu sudah berikan sesuatu dalam minumanku tadi, kan?" "Ti ti tidak." "Jangan bohong. Jess. Aku tidak bodoh!" Wira hela napas terlebih dulu, baru kemudian melanjutkan. Memang akan sulit berbicara dengan Jessica yang keras kepala, tapi dimanfaatkan situasi dimana Jessica telah berhasil dia sudutkan. "Sekarang, akupun bisa gunakan rencanamu yang akhirnya jadi boomerang buatmu sendiri ini sebagai alasan untuk membatalkan rencana pertunangan kita. Selamat malam, Jessica Tanujaya!" tambah Wira lantang, sampai membuat Jelita semakin ketakutan. Reputasi sebagai atasan keras dan arogan itu, benar-benar nyata dilihat Jelita saat ini, meskipun itu didepan seseorang dengan derajat tinggi seperti Jessica ini. Saat Wira memintanya keluar, Jelita seperti tak punya pilihan lain, selain menuruti. Rencana pulang sendiri memesan ojek onlinepun terpaksa dia batalkan. Tak akan mungkin menyanggah perintah dari seorang Wira, pikirnya. Jelita sempatkan melihat ke dalam, sebelum akhirnya ditutup Wira sampai terdengar suara lumayan kencang. Jelita bisa melihat Jessica menangis frustasi, tidak jauh berbeda dengan dirinya beberapa menit yang lalu, dan sampai sekarangpun masih menyisakan derita batin. Setelah sampai di dalam mobil, Wira tidak lantas melajukan mobilnya, meski mesin sudah ia nyalakan. Lelaki dengan postur tubuh tinggi tegap dan berwajah dingin itu, ingin membuka obrolan dengan Jelita terlebih dahulu, sebelum menggerakkan mobil menuju keluar area gedung. "Apa masih sakit?" tanyanya lirih, tunjukkan perhatian, meskipun ekspresinya masih kaku, bahkan tak sekalipun menatap ke arah lawan bicara yang sudah ia nodai tersebut. Jelita juga masih tak sanggup banyak berikan jawaban banyak kata, hanya berupa anggukan dengan air mata tertahan. Pikiran Jelita telah penuh dengan segala kemungkinan terjadi bila ia pulang bersama laki-laki, terlebih pria ini telah merenggut kegadisannya tanpa cinta. "Maafkan aku." Entah berapa kali Wira ungkapkan penyesalannya ini pada Jelita. "Bagaimana kamu akan katakan pada orang tuamu soal kejadian malam ini?" Sikap gentleman seorang Wira. Jelita terisak tertahan, ketika nama orang tua telah Wira sebutkan, ia kembali melankolis. "Saya hidup dengan ibu...Ayah sudah meninggal beberapa tahun yang lalu." Wira sontak menoleh, dua tangan diatas setir juga spontan bergerak-gerak gusar. Rasa bersalah semakin menyelimuti ruang hati Bara. "Kamu...dimana rumahmu?" Wira jadi salah tingkah, mengalihkan pembicaraan ke tujuan utamanya mengantar Jelita. "Tidak jauh dari sini. Kampung di belakang gedung ini. Sebenarnya dekat, cuma harus berputar dulu karena naik mobil." "Ok. Tunjuk saja arahnya," perintah Wira, sebagai kalimat dimulainya laju mobil model MPV berCC besar ini ke arah jalanan ibukota yang sedang ramai lancar. Setelah sampai didepan rumah Jelita, Wira memintanya tidak keluar terlebih dahulu, ada yang ingin dia obrolin, berkenaan dengan hal yang jadi pikirannya selama menyetir. "Jelita," panggil Wira setelah deheman sekali. "Apa yang akan kamu katakan pada ibumu nanti?" tanyanya sebagai awalan obrolan. Jelita menggeleng, bersambut ucapan, "Saya tidak tahu, Pak." "Bisa kamu lakukan sesuatu?" "Apa itu, Pak?" Jelita masih tak berani menatap atasannya, meski Wira sesekali melihat ke arahnya. Wanita mana yang tak akan lemas, bila berada di posisi Jelita ini, tapi orang itu adalah Wira, jadi Jelita masih tak bisa berontak lebih jauh. "Saya akan transfer uang 1 miliar itu sekarang juga, asalkan kamu jangan katakan pada siapapun soal kejadian malam ini, bahkan itu pada ibumu," tawar Wira. Kelambu air itu kembali mulai menggenang di kedua mata Jelita. Bukan soal sejumlah uang tersebut, tapi mendengar Wira mengatakan hal ini, membuat hati Jelita bagai teriris sembilu, perih dan sakitnya tak terkatakan. Jelita menganggap, harga dirinya seolah terkoyak oleh perlakuan Wira, ditambah dengan niatan atasan yang terkenal arogan ini, begitu menyinggung perasaannya. Tapi, Jelita seperti tak punya pilihan lain, selain menerima tawaran dari Wira. "Baiklah," sahutnya setengah hati. Setelah Jelita keluar dari mobil, Wira perhatikan langkah gadis itu sampai menghilang di balik pintu. Wira picingkan kedua matanya, sembari tersenyum smirk, ketika gumaman sebagai kesimpulan itu keluar. "Kamu hanya wanita seharga 1 miliar, Jelita!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD