Kesepakatan Pernikahan Kontrak

1165 Words
Setelah sampai di dalam rumah, Jelita hanya bisa beralasan ke rumah temannya setelah lembur bekerja. Seperti perintah Wira, Jelita terpaksa harus membohongi sang ibu. Uang yang dijanjikan oleh Wira juga telah ia terima juga setelah pria itu meminta nomor rekeningnya. Namun, semua itu tak lantas membuat Jelita bahagia. Bayangan kejadian dan perlakuan paksa Wira, meninggalkan trauma mendalam hingga membuat Jelita terjaga sampai pagi. Apa yang dialami Jelita, ternyata juga dirasakan oleh Wira. Setelah kepergian Jessica, Wira jadi gelisah, berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Perlakuannya pada Jelita masih saja menyisakan pikiran yang menyiksa. "Gadis itu … kenapa aku tidak bisa melupakan wajah dan tubuhnya, ya?” Wira tampak geram. Meski sudah coba tidak memikirkan Jelita. Namun, usahanya gagal. Jelita seolah mengambil alih pikirannya. Bertahta tanpa terbantahkan. ** Esok harinya saat di kantor, Wira sengaja datang lebih awal. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Wira mencari tahu keberadaan dan keadaan Jelita. Apa yang diharapkan Wira pun terjadi, di mana sebuah surat lewat e-mail terkirim padanya kalau Jelita meminta ijin tidak masuk kerja untuk beberapa hari ke depan, dikarenakan sakit. Wira terhenyak, menatap e-mail pada layar laptopnya. Nama Jelita yang paling jadi perhatian. Hampir setiap hari Wira melakukannya sampai di mana Jelita telah masuk kerja, diam-diam Wira selalu mencuri pandang ke gadis itu, tapi akan membuang wajahnya bila Jelita tak sengaja juga menatapnya. Hal berulang, tapi bagi Jelita adalah tekanan batin, bahkan sampai sekarang, uang 1 miliar dari Wira, belum juga ia gunakan. *** Satu bulan berselang. Bagi Jelita semuanya seperti sulit dilupakan. Kenangan buruk itu seolah terukir abadi hingga mustahil hilang. "Ta, lo liatin apaan?" gertak Vani saat menangkap Jelita tertegun menatap ke arah Wira dan Rama. Dua pria tersebut berjalan bersama menuju ke ruangan presdir, sambil bercakap-cakap. Wajah dingin Wira, membuat Jelita seketika mengingat kejadian malam itu. "Hah?" reaksi kaget Jelita, gertakan di bahu dari Vani, lumayan buat suara keras dan keluarkannya dari lamunan. "Eh, kamu ngomong apa?" tanya Jelita, baru sadar ada Vani dibelakangnya. "Gue tanya lo, ngapain liatin Pak Wira sama Rama kayak bengong begitu?" tanya Vani berulang. "Oh nggak apa-apa, nggak ada apa-apa," kilah Jelita, menutupi dari yang sebenarnya. Berat hati ini, bila harus bercerita, meski itu pada sahabatnya sendiri, Vani. "Gue cuma bayangin misalkan jadi Rama. Gimana rasanya, tiap hari harus berkomunikasi dengan atasan sedingin Pak Wira," tambah Jelita, kembali menutupi. "Kalau Rama curhat, sih, suka dibikin pusing, tahu!" "Kenapa?" "Karena kalau kasih perintah, maunya langsung dalam waktu tertentu harus sudah selesai. Suka bikin Rama pusing, deh pokoknya!" sahut Vani berapi-api. "Pusing, ya," ulang Jelita. Namun, ini bukan hanya karena topik yang sedang dibahas dengan Vani saja, tapi Jelita merasakan pusing dalam arti sebenarnya. Kepalanya mendadak terasa berat, pandangannya jadi berputar-putar, seolah gravitasi bumi tidak berpihak padanya. Ocehan Vani hanya setengah-setengah bisa dia dengar, karena kini bumi seolah menjungkirbalikkan tubuhnya. "Yuk, kita cari makan siang saja," putus Vani, sebagai pertanda yang akhirnya Jelita dengar setelah berupaya keras untuk fokus. Tarikan tangan dari Vani, mengeluarkan Jelita dari tingkat kesadaran yang masih setengah. "Van," panggil Jelita, menahan ajakan Vani. "Gue ke kamar mandi dulu ya," pamitnya, lalu berjalan cepat, tak menggubris pertanyaan Vani. Setelah sampai didalam kamar mandi, Jelita tumpahkan isi perutnya di wastafel, lalu membasuh muka, dan mengeringkan dengan tisu. "Gue kenapa ya? Kenapa jadi begini?" gumam Jelita pada pantulannya sendiri didepan cermin. Ekspresi Jelita menegang, ketika ingatan akan malam panas bersama Wira sekali lagi terlintas. Tangis Jelitapun pecah, dalam kesendiriannya di dalam kamar mandi. "Nggak...nggak mungkin...aku nggak mau..." *** Keesokan harinya. Jelita duduk terpaku di pinggir tempat tidurnya dengan lesu. Tangannya bergetar, ketika dua garis biru jadi sebuah pertanda. "Apa yang harus aku lakukan?" kekalutan Jelita, bersambung ketakutannya. "Bagaimana harus bilang ke Pak Wira?" imbuhnya bingung. Jelita meraih ponselnya, namun masih ditatap nama Wira di daftar kontak. Keraguan jelas menyelimuti Jelita, ketika karakter arogan Wira sudah sangat dikenalnya. Jelita menatap perutnya, sambil terisak dan dengan tangan bergetar, diberanikan untuk memulai mengetik pesan pada sang atasan. "Bagaimanapun juga, Pak Wira harus tahu," tekadnya dan gumaman penuh getaran, begitu juga jari-jemarinya yang mulai berkeringat dingin. Setelah selesai, Jelita segera berangkat ke kantor dengan perasaan gamang, begitu takut membuka bagian pesan, takut akan isi jawaban dari Wira. "Apa Pak Wira mau bertanggung jawab?" cicit Jelita dari balik meja kerja, dan segera menunduk, ketika terdengar beberapa rekan kerjanya memberi sapaan hormat pada seseorang, dan orang itu tentunya Wira. "Jelita!" panggilan dari Vani, mengagetkan Jelita, begitu juga Wira ketika sudah melangkah tak jauh dari meja kerja Jelita. Jantung Jelita seolah berhenti berdetak, ketika dari ekor matanya, terlihat Wira berhenti dan menatapnya. Awalnya berniat menanggapi Vani, Jelita spontan beralih pada dimana Wira kini berada. "Jelita. Ke ruanganku!" perintah Wira, sontak membuat Jelita tergagap. "Ba ba baik, Pak." Semua mata memandang, heran. Tidak pernah dalam sejarah seorang Wira, memanggil karyawan menengah setingkat Jelita yang juga merupakan pegawai baru belum genap 1 tahun. "Eh, ada apa lo dipanggil Pak Wira, Ta?" respon Vani yang langsung berjingkat berlari kecil ke arah sahabatnya ini. "En entahlah," bohong Jelita gugup. "Ya sudah sono, cepet. Kali aja mau naik jabatan, diangkat jadi istrinya!" canda Vani disertai tawa. Semua juga sudah tahu, kalau Wira seringkali bersikap dingin pada wanita. Para pegawai Wira seringkali mendapati beberapa wanita datang ke ruangan Wira, tapi selalu keluar dengan ekspresi kekecewaan. Mereka tak tahu alasan sebenarnya, jadi seringkali jadi lelucon kalau Wira hanya memanfaatkan para wanita untuk teman ranjang, bukan teman hidup. Kelakar Vani ini, semakin membuat Jelita tak karuan, setiap langkah ke ruang Wira bagai menuju ke sebuah titian jurang yang tak tahu seberapa dalamnya. Setelah bertemu Rama dibagian serambi ruangan, Jelita masuk berucap salam. "Selamat pagi, Pak." Jelita membuka pintu lebih lebar, dan ternyata Wira sudah berdiri tak jauh dari pintu dengan ekspresi dingin. Jelita hanya sanggup merunduk, kedua jemari tangannya tertaut. Ruangan dengan vitrase sudah tertutup rapat itu terasa sangat dingin, sampai membuat Jelita mendadak menggigil, selain karena ketakutannya. "Hari ini juga kamu ke dokter kandungan!" perintah Wira lirih, namun tegas. "Dan permintaanmu itu...status pernikahan...apa tidak cukup kalau aku tambahi jadi 1 miliar lagi, berikut fasilitas terbaik selama kamu hamil?" tawar Wira. Jelita berusaha kumpulkan keberanian, ketika harus menjawab dan menatap Wira. "Maafkan saya, Pak. Saya inginkan status. Kehamilan tidak bisa ditutupi. Posisi saya jadi sulit, kalau misalkan bapak masih ingin merahasiakan semua ini. Saya ingin...ada kejelasan untuk anak dalam kandungan saya ini," balas Jelita, semakin lirih. Cembung bola matanya mulai berkabut dan berair. "Memangnya, siapa yang sudah tahu soal ini?" Jelita menggeleng, seraya menjawab, "Tidak ada. Selama ini saya simpan rapat-rapat." Wira mengangguk-angguk paham. Dia tidak mencintai gadis dihadapannya ini, tapi karena kebodohannya tak bisa melawan efek obat perangsang, semua ini telah terjadi, dan tak bisa terus saja disesali. Wira merasa perlu bertanggung jawab, karena ada jiwa tak berdosa didalam perut Jelita, dan itu adalah salah satu benih yang telah dia tanam dalam beberapa kali perlakuannya pada Jelita malam itu. "Baiklah, aku setuju dengan menikahimu, tapi ini hanya sebatas pernikahan kontrak sampai anak itu lahir. Maaf, hanya itu yang bisa saya lakukan sebagai bentuk tanggung jawab saya karena kamu bukan orang yang saya inginkan untuk menjadi seorang istri!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD