Part 2-Mitos

1352 Words
   HAPPY READING Maaf kalau banyak typo, cek lagi ya kawan. Hati-hati pas baca dan ada typo, mengurangi rasa keseruan biasanya typo itu :") ~~~     Gunung Lawu, gunung yang terletak di pulau Jawa. Tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung lawu terletak di antara tiga kabupaten yaitu Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Magetan, Jawa Timur.      Gunung Lawu memiliki ketinggian 3.265 m di atas permukaan laut dan ketinggian relative 3.118 m, gunung lawu menduduki posisi ke-76 gunung tertinggi di dunia. Pendakian gunung lawu dapat dimulai dari tiga tempat yaitu Cemoro Kandang di Tawangmangu, Candi Cetho di Karanganyar, dan Cemoro Sewu di Sarangan. Jalur pendakian via     Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu adalah jalur yang paling populer di kalangan pendaki. Dina terus menggulir layar ponselnya, matanya terus membaca sederet info tentang gunung lawu yang akan mereka kunjungi nanti. Ia menatap kearah masjid di depannya, menunggu teman-temannya selesai sholat.     Pintu mobil terbuka, menampilkan Rita dan Tiara yang selesai menunaikan sholat subuh. Dina menatap Tiara yang langsung naik dan duduk di pojok kiri. Lalu beralih menataap Rita yang sibuk mencari makanan ringan.     “Lo gak sholat?”     Dina mengalihkan tatapannya kea rah Tiara, ia menggelengkan kepalanya pelan, “belum mandi besar.”     Tiara menganggukan kepalanya mengerti, ia mengalihkan tatapannya kearah Rita yang masih sibuk mencari makanan ringan, “ada makanan apa aja?”     “Banyak.”     Tiara menghela napas pelan, “gue mau satu dong, makanan apa aja.”     “Nih.” Rita mengulurkan biskuit kea rah Tiara. “Main asal ambil aja gue, yang penting lo pegang makanan.”     Tiara mengangguk, ia mengambil biskuit tersebut dan memakannya.     “Yang lain mana sih?! Lama banget,” keluh Dina.     “Sabar.”     Rania melangkah mendekat kearah mobil, memberikan mukenah milik Rita pada pemiliknya. Tak lama Beni, Bara, dan Darma keluar dari dalam masjid. Melangkah mendekat menuju mobil.     “Mau berangkat sekarang?” tanya Darma menatap temannya satu persatu.     Beni menganggukan kepalanya, “iya sekarang, biar pas mulai mendaki gak kesiangan.”     “Gak sarapan?”     “Sarapan di sana aja.”     Yang lain menganggukan kepalanya mengerti, satu persatu mereka naik ke dalam mobil. Bagian mengemudikan mobil sekarang adalah Bara, mengingat Beni sudah mengemudikan mobil terlalu lama. Dan Darma yang tidak bisa mengemudikan mobil.     “Ben,” panggil Dina.     “Hm.”     “Kita mendaki gunung lewat jalur pendakian yang mana?”     Beni menoleh menatap Dina, “yang deket.”     Dina berdecak sebal, “ya gue tau, maksudnya yang mana?!”     “Jalur pendakian Cemoro Kandang, lebih deket dari posisi kita sekarang.”     Dina menganggukan kepalanya mengerti, ia kembali menggulir layar ponsel, membaca setiap kalimat yang tertera di layar ponselnya, “ada info penting nih.”     Rita membalikkan tubuhnya menatap Dina dengan penasaran, “apa?”     “Bacain,” ucap Darma.     “Jangan mendaki dengan jumlah ganjil, karena akan membawa kesialan nantinya.”     Rania langsung menatap Dina dengan kesal, “lo nyindir gue ya?!”     “Gak, ini tulisannya begini kok.”     “Itu kan mitos.”     “Ini bukan mitos, ini larangan yang gak boleh kita lakuin nanti.”     Rania berdecak dengan sebal, “bilang aja lo gak suka kalau gue ikut.”     “Emang, tuh tau.”     Beni menghela napas pelan, “udah-udah.”     Rania mendengus, “ngeselin, kaya gitu jangan percaya seratus persen. Bisa aja itu bohongan.”     Dina menghela napas pelan, “terserah lo, kalau ada apa-apa juga lo yang kena.”     “Lo nyumpahin gue kenapa-kenapa?!”     “Gak, lo nya aja yang berpikiran begitu.”     Rania berdecak sebal.     Tiara menghela napas pelan, kepalanya pening jika harus terus-terusan mendengar perdebatan Rania dan Dina. Ia menatap Rania dan Dina bergantian.     “Mau itu mitos atau larangan yang ada, kita harus patuhi. Entah itu benar atau gak, kita harus menghormati. Inget di sini kita tamu, gak bisa seenaknya,” ujar Tiara. •••     Basecamp Cemoro Kandang, jalur pendakian yang akan mereka semua lewati. Mereka mempersiapkan barang-barang yang sekiranya perlu di bawa.     “Bawa barang yang penting, kalau gak penting banget jangan dibawa. Berat-beratin nanti,” ujar Beni. Ia menoleh kearah Darma dan Bara yang tertawa keras dan sesekali mengumpat.     “Langsung nih?” tanya Dina.     Beni menganggukan kepalanya, ia menatap temannya satu persatu, “ayo.” Ia melangkah terlebih dahulu untuk memimpin keenam temannya.      Sesekali Beni tersenyum tipis saat ada pendaki yang sekiranya menyapa singkat kearahnya.     “Masnya berani banget ya mendaki dengan jumlah ganjil.”     Beni menoleh, menatap salah satu pendaki lain yang berdiri di sampingnya. Sesekali ia menoleh ke belakang melihat keenam temannya.     “Gak seberani itu, sebenernya berenam. Cuman mendadak satu orang ikut, jadi bertujuh.”     “Hati-hati aja Mas, katanya sih ada larangan untuk mendaki dengan jumlah ganjil. Itu udah menjadi rahasia umum, ya tapi kan kita gak tau ke depannya gimana. Asalkan bisa jaga sikap aja.”     Beni menganggukkan kepalanya seraya tersenyum tipis, “iya Mas, makasih.”     Orang tersebut mengangguk seraya menepuk bahu Beni dengan pelan, “duluan ya, teman saya udah ada.”     Beni mengangguk pelan, ia menghela napas saat orang tersebut udah pergi dari hadapannya.     “Siapa tuh tadi?” tanya Darma.     “Pendaki juga.”     Darma menggelengkan kepalanya seraya berdecak, “keren sih, kaya udah profesioanl gitu dia.”     “Hm.” Beni menatap teman=temannya yang lain. “Mereka jalan lama banget sih?!”     Darma ikut menoleh ke belakang, menatap teman-temannya, “WOI ANJIR CEPETAN, JANGAN LAMA-LAMA!! LELET.”     Beni menghela napas, “jangan teriak.”     Darma mengedikkan bahunya tak acuh, “lupa.”     Bara yang tiba di samping Darma langsung merangkul pemuda tersebut dan menjitak kepala Darma, “berisik nyet.”     “Anjir dari tadi gue diem.”     ‘Cepetan,” ucap Beni agak keras kearah Dina dan lainnya.     “Jalannya jangan cepet-cepet,” ucap Dina.     “Lo nya aja yang lama, ayo lanjut.”     Mereka mulai kembali melanjutkan perjalanan, sesekali masih bisa bercanda dan tertawa keras. Jalur yang mereka lewati masih belum terlalu sulit dan masih landai.      Beberapa menit mereka melangkah, pos 1 sudah terlihat di depan mata. Banyak pendaki yang memutuskan untuk beristirahat sebentar, mengisi tenaga mereka untuk perjalanan selanjutnya.     Beni menoleh kearah teman-temannya, “istirahat dulu ya, sekalian sarapan. Inget kalau belum sarapan.”      Tiara menganggukan kepalanya menyetujui, “yuk.”     Mereka bertujuh mencari tempat, duduk melingkar dan segera membuka perbekalan masing-masing.     “Harus irit-irit kayanya, biar gak kelaperan.”     “Emang di setiap pos gak di kasih makanan ya?” Rania menoleh kearah Beni dengan penasaran.     “Emang penjaga posnya Bapak lo, yang setiap lo dateng di kasih makan. Lagian gak semua pos ada orang, ada beberapa yang hanya pos aja. Ketauan gak pernah mendaki sih, seenggaknya lo searching tentang pendakian,” ujar Dina skeptis.     Rania berdecak sebal, “gue gak ngomong sama lo.” Ia mengalihkan tatapannya kearah Beni. “Emang bener Ben kalau setiap pos gak ada penjaga posnya?”     Beni mengedikkan bahunya tak tau, “hm.”     Rania berdecak sebal saat dirinya mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan.     “Bisa-bisanya lo kepikiran ngajak kita naik gunung Ben,” ujar Rita seraya menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.     “Gak ngajak.”     “Lah terus?!” Dina menatap Beni dengan bingung.     “Awalnya gue mau sendiri aja, tapi niat gue udah ketauan sama dua orang itu,” tunjuknya kearah Bara dan Darma. “Dan sebelnya mereka ngasih tau kalian dengan bawa-bawa nama gue.”     Dina mendengus, “gue kira emang lo niat ngajak kita.”     “Gak lah, kalian semua gak punya pengalaman naik gunung. Gak berani gue ajak, takut pada sok tau.”     “Bukan sok tau, tapi kepo,” ucap Darma.     “Beda.”     “Udah cepetan abisin makanannya, abis itu lanjut lagi,” ucap Tiara seraya menutup tempat makannya.     “Bawa trashback Ti?” tanya Beni pada Tiara.     Tiara menganggukan kepalanya, “bawa Ben.”     “Buat apaan?” Rania mengerutkan dahinya bingung.     Dina berdecak sebal, “jangan b**o deh, trashback ya buat buang sampah. Tapi niat gue sih bunuh dan mutilasi tubuh lo.”     Beni menghela napas, “kita belum ada setengah jalan, tapi kalian udah banyak ngelakuin kesalahan.”     “Apaan?”     “Kesalahaan apa?”     Beni berdecak, “ngomong kasar.”     Dina yang sadar dirinya bersalah langsung mengulum bibirnya.     “Ayo lanjut.”     Mereka bertujuh membereskan barang-barang yang dibawa. Memastikan jika tidak ada sampah yang tertinggal.     “Boleh minta air gak? Air lo masih banyak, air gue tinggal dikit.”     Beni menoleh kearah Rita, “nih.”     “Thanks.”     Beni menganggukan kepalanya, ia membereskan barang bawaan dan berdiri. Menatap teman-temannya yang ikut berdiri.      “Mas.”     Beni menoleh, menatap bingung ke arah segerombolan pendaki lain.     “Ganjil?”     Beni mengangguk pelan.     “Gak tau kalau ada larangan mendaki dengan jumlah ganjil?”     “Tau.”     “Kenapa tetep dilakuin?!”     Beni terdiam, bingung harus menjawab apa.     “Saya sebagai orang yang sering naik gunung lawu cuman mengingatkan saja, saya udah bekerja seperti ini bertahun-tahun dan setiap tahunnya selalu lihat rombongan dengan jumlah ganjil. Saya selalu kasih nasihat ke mereka, ada yang mendengarkan dan ada yang tidak.”     Beni terdiam, ia menatap penjaga pos yang juga menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.     “Sebenernya jumlah ganjil atau genap itu gak masalah menurut saya, cuman mitosnya emang gak boleh jumlah ganjil kalau ke Lawu. Masalah bakal kena sial atau gak, tergantung teman-teman Mas. Bisa jaga diri mereka atau gak, bisa diterima baik sama penghuni Lawu apa gak.”     Beni menganggukan kepalanya mengerti, “makasih Mas.”     “Berbagi info aja, rombongan gue dari tadi di belakang rombongan lo. Gue cuman mau ingetin, kayanya lo leader dari yang lain. Sebelum terlambat atau ada kejadian yang gak diinginkan. Tolong jaga teman-temannya, biar gak kenapa-kenapa.” ••• Part 2 meluncur!!! Tentang mitos lawu pasti dari kalian ada yang gak asing, maaf kalau misalnya ada kesalahan info atau apa yang jatohnya aku kaya sok tau banget. Maklum baru belajar hehe Jangan lupa ajak temen-temen kalian untuk baca cerita ini, jangan ajak temen yang gak suka horror hehe. Ajaknya yang pecinta horror garis keras, jangan lupa kasih nilai juga biar aku semakin semangat updatenya. Salam hangat Ashilah :) To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD