Second Clean

1056 Words
“Wah, sudah balik, Clean?” Pria dengan codet di muka itu tersenyum sumringah. Dia melompat dari meja yang didudukinya, menghampiri Clean yang kini membawa dua koper hitam. Dia meletakkan koper itu di dekat pria bercodet yang tengah duduk di sofa malas, dengan kaki rebah di kaki sofa yang mengangkat. “Barangnya sudah saya masukkan ke gudang,” lapor Clean dingin. Pria bercodet itu meneliti penampilannya. Tanpa cacat. Dia menepuk-nepuk bagian depan jaket kulit hitamnya untuk menyingkirkan debu jalanan yang menempel. “Saya suka orang yang bersih. Rokok?” tawarnya. Clean menatap sebatang rokok yang menyembul keluar dari bungkusnya. Dia menggeleng pelan. “Tidak merokok?” Si codet mengangguk-angguk kagum. Pria berpakaian rapi itu tidak merespon. Sebaliknya, dengan dingin ia berkata, “Saya permisi.” Dan dengan kata-kata itu, ia keluar dari rumah pria bercodet. Pria bercodet itu menghembuskan asap keperakan dari mulutnya seiring dia melihat punggung yang menjauh. Pria yang berbahaya, bahkan dia pun berpikir seperti itu. Sekalipun dia telah menjelajahi dunia mafia bertahun-tahun. Tidak ada yang bisa membunuh dengan sikap sedingin pria itu. Dia tampak tidak merasa bersalah, seakan tidak punya nurani yang bisa menegur pertimbangannya. Pria seperti itu, sebaiknya ia tidak bermain-main, bahkan tidak pula bersenda gurau dengannya. “Apa enak, ya, hidup begitu?” gumamnya, mengembuskan asap putih yang melayang-layang di sekitar kepalanya. Di sisi lain, Clean berpikir hal yang sama. Pembunuh. Rokok adalah pembunuh gerilya. Clean tidak pernah berniat untuk menyentuhnya. Begitu bodohnya orang-orang itu. Mereka yang harus bergerak terus-menerus, tetapi menghambat langkah dengan benda kecil tak berarti itu. Padahal, untuk berlari, mereka butuh paru-paru yang berfungsi sepenuhnya. Mereka tidak paham. Sedikit saja kesalahan perhitungan dalam pekerjaan seperti ini, taruhannya adalah nyawa. Kenapa mereka tidak berpikir sedikit saja? Dengung sirene polisi samar-samar terdengar di langit biru gelap malam itu. Perlahan, garis-garis biru pucat mulai membelah langit selagi Clean kembali menaiki motornya. Tidak seberapa lama, gerung motor itu berhenti. Dan ia berhenti tepat di depan pagar besi hitam. Clean menyipitkan mata ke arah teras rumah itu. Seorang wanita berambut sebahu duduk terpaku di kursi panjang yang terletak di sana. Garis keperakan menghiasi kekelaman di kepalanya. Wajahnya pucat, seolah darah enggan mengunjungi wajahnya. Kulitnya telah mengendur, berkerut-kerut. Matanya yang sayu, senyap menatap kejauhan. Terlalu jauh. Clean membuka pagar, yang segera berderit keras, mengilukan. Ia memasukkan motornya dan memarkirkannya di garasi di samping rumah itu. Ia lalu berjalan kembali ke teras rumah. Clean berjalan pelan kepada wanita yang tengah duduk itu. Berhenti tepat di hadapannya. Wanita itu tidak segera merespon. Matanya masih menatap kejauhan untuk beberapa detik, lalu perlahan sepasang mata itu mengerjap. Seakan baru melihat sosok Clean, ia mengangkat wajahnya perlahan. Clean menatap mata wanita itu, yang kosong tanpa kilat, ia bisa melihat suram yang tak berujung darinya. Pria itu mengulurkan tangannya ke arah rahang wanita itu. Mengusapkan ibu jarinya, menyusuri pipinya yang tirus. Wanita itu memejamkan mata, merebahkan kepalanya lebih dalam kepada tangan Clean. Bibirnya bergerak pelan, “Chris …,” gumamnya, lirih, pelan, seakan sendu merindu pada nama itu. Tangan Clean membeku. Ia terdiam, menatap wanita di hadapannya, yang masih memejamkan mata, menikmati hangat tangannya. Clean dengan cepat menarik tangannya, menyentakkan wanita paruh baya di depannya. Dengan sengaja, ia menggulirkan mata kepada sepasang mata wanita itu. Wanita itu melebarkan matanya, tubuhnya membeku. Pria muda itu lantas berbalik. Ia melangkahkan kakinya kepada pintu rumah yang terbuka. Sementara itu, sang wanita mengikuti geraknya dengan matanya. Mata yang mengerjap pelan, tanpa gairah. Tanpa tanda-tanda kehidupan yang berarti. Clean menghempaskan diri di kursi meja makan. Dia menatap piring-piring yang tersaji, seolah sebuah keluarga telah siap untuk bersantap. Tapi, tidak ada seorang pun selain dirinya di sekeliling meja makan itu. Sebuah mangkuk kaca menunjukkan lapisan-lapisan merah dengan lapisan putih, bertumpuk-tumpuk. Di dekatnya, terdapat sebuah piring lebar berisi bruschetta, dan di mangkok lainnya, terdapat salad dengan sayur-mayur. Dan semuanya telah layu. Clean menggertakkan rahang. Tangannya yang berada di atas meja perlahan membentuk kepalan. Telinganya menangkap suara sepatu yang terseret. Pelan-pelan, bergaung di rumah yang senyap itu. Rumah yang hanya dihuni seorang anak dan seorang ibu. Rumah yang dingin tanpa kehangatan. Suara terseret itu berhenti. “Kamu sudah pulang?” sahutnya, hampir seperti berbisik. Ketika tidak memperoleh jawaban, wanita itu berbisik lagi, “Chris?” “Aku mau cari makan di luar!” “Ada makanan...” Namun, suara itu tidak sempat diselesaikannya. Clean telah membanting pintu depan, meninggalkannya sendirian. Pria itu mengumpat-umpat dalam hati. Dia masuk sekenanya ke salah satu restoran keluarga. Dan selayaknya restoran keluarga, ia didatangi oleh keluarga-keluarga dengan wajah-wajah berseri. Seorang ayah, yang menggoda anak perempuannya. Seorang ibu, yang mengelap mulut bayinya, yang tergelak-gelak tidak jelas. Clean mengerling ke arah mereka, mendengus. Ia lalu mengarah pada counter, dan memesan makanan.  “Sepuluh tahun,” gumam Clean, tanpa sadar, ketika ia melahap cheese burger yang dipesannya. Sepuluh tahun, meja itu menyediakan menu yang sama. Lasagna dengan bruschetta dan salad. Makanan kesukaan Chris, ayahnya itu. Sepuluh tahun, sejak rumah tangga wanita itu luluh lantak. Ayah Clean menghilang begitu saja. Tanpa pesan, bahkan tanpa sedikitpun sinyal apapun. Sayang, kepergiannya terlambat. Yang diperbuatnya telah menimbulkan kerusakan yang tak lagi bisa diperbaiki. Saat beliau pergi, Clean hampir berteriak kegirangan. Selama 14 tahun hidupnya bersama ayahnya, tulang rusuknya telah patah beberapa kali. Memar di sekujur tubuhnya dan beberapa sayatan saja di perut dan lengannya. Ibunya akan menangis, memohon pria itu berhenti, tapi begitu saja. Saat dia terisak di tempat tidurnya, dia akan membisikkan kata-kata lembut yang menenangkan. Tapi, hanya itu saja. Dan apa gunanya itu? Lalu, wanita itu? Tidak separah dia, tentu. Mungkin sesekali matanya akan membengkak dengan warna keunguan yang indah. Namun, ayahnya tentu saja lebih suka melukainya di bagian lain. Bagian privatnya. Bertahun-tahun, ia terpaksa menutup kepalanya dengan bantal, karena tidak tahan dengan suara-suara mendesah yang sama sekali tidak teredam. Desah yang jelas penuh dengan kesakitan bercampur gairah yang tumbuh seiring dengan luka. Seharusnya, ibunya membenci pria itu. Seharusnya, ibunya melawan dan mempertahankan harga dirinya. Tapi tidak. Ia mencintai pria itu tanpa akal, membiarkan belenggu rasa nyaman mengikat kakinya kuat-kuat di rumah tanpa keriangan itu. Bodohnya lagi, wanita itu kehilangan akal saat prianya pergi. Alih-alih merayakan kebebasan dan bangkit dari keterpurukan, ia memilih untuk duduk berdiam di muka teras, menunggu pria itu seharian. Pagi hari dia akan membereskan rumahnya. Dengan sempurna, seakan-akan dia takut melakukan secuil kesalahan pun. Lalu, menyediakan makanan kesukaan ayahnya, setiap hari. Tak tertinggal satu hari pun. Cinta benar-benar menakutkan. Kalau benar itu cinta. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD