bc

Rise and Shine

book_age16+
969
FOLLOW
3.7K
READ
second chance
goodgirl
aloof
self-improved
inspirational
CEO
drama
bxg
office/work place
coming of age
like
intro-logo
Blurb

Tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya bukanlah satu-satunya masalah dalam hidup Almayra Wijaya. Masih begitu banyak masalah yang dengan setia berada di sisinya. Mari kita coba jabarkan satu persatu.

Dari mulai dia yang menjadi janda di umur 25 tahun karena kesalahpahaman suaminya yang mengira bahwa dia mempunyai lelaki lain selain suaminya, padahal sudah ada anak diantara mereka. Lalu, ayahnya meninggal dan dia dituntut untuk membayarkan hutang-hutang yang dilakukan ayahnya di masa lalu. Selanjutnya, lagi-lagi dia harus menggunakan uangnya untuk merawat ibunya yang kondisi kesehatannya semakin memburuk sepeninggal ayahnya.

Tidak ada yang bisa membuatnya bahagia kecuali Shakila, anak perempuannya. Itulah yang Almayra yakini selama ini. Namun, sejak pertemuannya dengan Adhif Tafaghani Halim, seseorang yang menolong dia dan Shakila, semua pemikirannya itu berubah. Tidak ada yang bisa membuatnya bahagia kecuali Shakila, dan... Adhif.

Adhif Tafaghani Halim, seseorang dengan masa lalu yang cukup rumit. Cukup rumit untuk membuat seseorang yang sangat menjunjung tinggi logika bisa melarikan diri ke suatu tempat karena patah hati yang melingkupinya.

Inilah kisah dari dua orang yang sama-sama mempunyai luka yang sangat dalam. Terlalu dalam sampai-sampai salah satu dari mereka berusaha untuk menepis rasa yang tumbuh setelah mereka saling dekat dan membutuhkan.

****

Cover by : Rainy Graphic

chap-preview
Free preview
RnS - Satu
Almayra mengusap peluh di dahinya dengan menggunakan satu tangan, sementara tangan yang lain ia gunakan untuk mengetik laporan yang sudah hampir selesai dan akan ia teruskan kepada atasan. Padahal air conditioner yang ada di ruangan ini masih berfungsi dengan sangat baik. Tetapi, rasanya dia seperti dikejar-kejar oleh waktu yang semakin lama semakin meninggalkannya. Fokus matanya kemana-mana. Ke layar komputer yang menampilkan deretan angka, ke kondisi ruangan yang tampak sudah lengang, dan ke jendela besar yang ada di sisi kanannya. Sudah malam dan ia butuh pulang. Dengan cepat, tetapi masih tetap hati-hati dalam menginput data, dia menyelesaikan mengetik satu lagi deretan angka yang tertera di sana. Ketika semua sudah selesai, wanita dengan pakaian kemeja putih yang blazernya sudah tergeletak di atas meja, menghembuskan napas lega. Akhirnya, dia bisa pulang dan bertemu dengan anak perempuannya yang semakin lama semakin menggemaskan dan banyak tingkah. Namun, balitanya itu sedang demam. Pengasuhnya, Bi Nining yang dia pekerjakan untuk menjaga Shakila sehari-hari, mengatakan bahwa kondisi anaknya itu sudah semakin membaik hari ini. Dan, tentu saja dia tidak sabar untuk segera pulang dan memastikan kondisi Shakila benar-benar sudah sembuh dari demamnya. Setelah memastikan bahwa ojek yang akan dia tumpangi sudah hampir sampai, Almayra langsung mengemasi barang-barangnya yang tergeletak di atas meja samping komputer kantor. Lalu mematikan lampu ruangan, menutup pintu, dan berpamitan kepada pramukantor yang masih setia berada di lantai ini untuk melaksanakan tugas rutinannya, bersih-bersih ruangan. "Mbak Mir, saya duluan, ya?" pamit Almayra kepada Mbak Mirna setelah dia sudah berada di depan lift dan bertemu dengan beliau yang ada di ujung ruangan. "Oh iya, sudah selesai?" tanya Mbak Mirna setelah menengok ke Almayra yang tampak sekali terburu-buru. Pasti khawatir anak yang ada di rumah, pikirnya. Almayra menganggukan kepala dengan semangat. "Sudah, Mbak. Mau langsung cepat-cepat pulang, soalnya takut si kecil nungguin." Tuh kan. Mbak Mirna tersenyum untuk menanggapi perkataan Almayra. "Ya sudah sana. Hati-hati, ya, Neng. Sampaikan salamku ke Shakila, semoga cepet sembuh dia." "Aamiin. Makasih, ya, Mbak. Kapan-kapan main lah ke rumah." ajak Almayra kepada wanita yang sudah bekerja di kantor ini selama tiga tahun. Setelah melihat Mbak Mirna mengacungkan jempolnya tanda setuju, wanita yang kerap disapa Mayra atau May langsung bergegas memasuki lift. Hah, sebentar lagi dia akan bertemu dengan anaknya yang lucu dan menggemaskan itu. *** "Ya Allah, Nak, kenapa jadi makin panas gini badannya." Sayup-sayup Almayra mendengar suara Bi Nining yang sepertinya sedang berbicara dengan Shakila. Apa katanya tadi? Badannya makin panas? Astaga.... Shakila. Cepat-cepat dia membuka pintu dan wajah khawatir Bi Nining lah yang pertama kali ia lihat. "Shakila kenapa, Bi?" tanya Almayra cepat-cepat kepada Bi Nining yang tampak sedang menenangkan Shakila yang berada dalam gendongannya. "Syukurlah kamu sudah datang, Nak." Bi Nining menghela napas lega. Dia sudah menunggu perempuan yang sudah ia anggap anak ini sedari tadi. "Ini lho, Nak, si Shakila demamnya tinggi lagi, malah lebih tinggi dari waktu hari pertama itu." jawabnya sambil menatap wajah lusuh Almayra. Dia tak tega sekali melihat perempuan muda ini harus banting tulang setiap hari hingga larut malam. Maka dari itu, dia menawarkan diri untuk menjaga Shakila ketika Almayra sedang bekerja. "Astaghfirullah Shakila," Almayra langsung meminta Shakila dalam gendongan Bi Nining. Benar saja, tubuh Shakila benar-benar panas. Anaknya bertambah merengek ketika tubuhnya dipimdahkan ke dalam gendongan Almayra. Setelah matanya bertatapan dengan mata Shakila, barulah anak perempuan ini mulai merespon dengan rengekan. "Nak, Sayang, Shakila kenapa?" bisiknya nelangsa ketika melihat raut wajah anaknya yang pucat. Sementara rengekannya belum berhenti. Seolah bercerita dan mengadu kalau dia memang sedang kesakitan. Kalau keadaan Shakila terus-terusan tidak menunjukkan perubahan, Almayra tidak mau menunggu dan membelikan anaknya obat di warung lagi. Dia harus membawa Almayra ke rumah sakit. "Almayra mau bawa Shakila ke rumah sakit atau klinik aja, Bi. Kasihan dia kalau merasakan sakit terus menerus." "Bibi ikut, ya?" tawarnya kepada Almayra. Dia tidak tega melepaskan Almayra ke rumah sakit hanya berdua dengan Shakila saja. "Nggak usah, Bi," Almayra menggeleng. Kalau Bi Nining ikut dia ke rumah sakit, lantas siapa yang akan menjaga ibunya? Apalagi di luar hujan sedang deras-derasnya. Almayra tidak mau kalau sampai Bi Nining sakit. Dia sudah banyak merepotkan wanita paruh baya ini, tidak seharusnya dia kembali merepotkan beliau untuk mengantarkannya ke rumah sakit. "Diluar hujan deras, nanti bibi kehujanan. Bi Nining tolong jagain ibu aja, ya?" pinta Almayra sembari terus menenangkan Shakila yang masih merengek. Walaupun tampak ragu-ragu, tetapi akhirnya, Bi Nining menganggukan kepalanya. "Tapi beneran, lho, Nak, kamu harus hati-hati, ya? Pakai taksi aja. Bawa jaket sama payung, ya. Bentar bibi ambilkan." Ini adalah salah satu hal yang membuat Almayra merasa begitu tidak enak selalu merepotkan Bi Nining. Bi Nining terlalu baik. Beliau lebih bisa mengerti keadaannya dibandingkan dengan orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai orangtua Almayra. Hah, mengingat hal itu membuat dia bertambah sesak. Dia menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir rasa aneh yang tiba-tiba menggerogotinya kian dalam. Sekarang, yang harus dia pikirkan adalah bagaimana dia harus sampai ke rumah sakit, sedangkan taksi online yang ia pesan untuk mengantarkannya ke rumah sakit, dia cancel karena drivernya yang memintanya untuk itu. Terlalu jauh dari lokasi katanya. Astaga... dia harus bagaimana? Tidak ada transportasi yang bisa ia naiki di rumah ini. "Gimana, udah pesan?" "Nggak pada bisa kayaknya, Bi." Almayra menggigit bibirnya. Dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Shakila harus segera ia bawa ke rumah sakit. "Ya udah, deh, Bi, aku jalan dulu aja, siapa tau di depan sana ada taksi yang lewat." "Tapi hujan, Nak." Bi Nining masih berusaha untuk mencegah Almayra. Bisa-bisa nantinya bukan hanya Shakila saja yang sakit, tetapi Almayra pun juga ikut sakit. Dia tidak mau melihat Almayra sakit. "Mau gimana lagi, Bi. Shakila harus aku bawa ke rumah sakit. Aku benar-benar khawatir sama dia." Lalu, ia tatap lagi anaknya yang sudah cukup tenang dalam pelukannya. Hatinya bergetar. Tidak kuasa menahan perasaan ini lebih lama lagi, dia mencium putri kecilnya ini dengan perasaan kacau balau. Berusaha membisikkan kata-kata penenang kepada anaknya. Tak lupa, ia selalu menyematkan kata cinta, bahwa ia sangat menyayangi anaknya dan akan memberikan apa pun untuk Shakila. Tindakan yang dilakukan Almayra itu tidak lepas dari mata renta milik Bi Nining. Dia begitu tersentuh melihat kegigihan perempuan ini dalam bertahan menjalani hari yang terasa sangat berat menurutnya. Akhirnya, masih dengan berat hati, ia anggukan kepalanya tanda setuju dan mempersilahkan Almayra untuk cepat ke rumah sakit. "Ya udah, tapi kamu hati-hati, ya. Shakila pakaikan jaket dulu, diluar dingin banget. Kamu juga pake jaketnya." Bi Nining memberikan jaket tebal yang ia ambil dari kamar Almayra kepada pemiliknya itu. Almayra menurut. Dengan tangan bergetar karena terlalu khawatir dengan keadaan Shakila, dia memakai jaketnya yang diambilkan oleh Bi Nining. Setelah semuanya selesai, dan Shakila sudah tenang berada dalam gendongannya, dia mendongakkan kepalanya, menatap Bi Nining yang menunjukkan raut khawatir yang sama dengannya, "Bi, pamit dulu, ya. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam, hati-hati, Nak." Terlihat, walau samar, Almayra menganggukan kepalanya. Bi Nining menghela napas panjang. Dia selalu merasa kasihan kepada perempuan tangguh itu. Terkadang, di waktu malamnya, dia suka menangis seorang diri, memikirkan kondisi anak mantan majikannya yang rasa-rasanya belum bisa menemukan kebahagiaan di dalam hidupnya. Terlalu banyak air mata yang keluarganya torehkan untuknya, dan terlalu berat cobaan yang harus Almayra hadapi seorang diri, memikul tanggung jawab yang sepenuhnya bukan merupakan tanggung jawabnya. Bi Nining berdoa, semoga Almayra bisa menemukan kebahagiaannya di kemudian hari. *** Almayra tahu ketika dia memaksakan diri untuk menerobos hujan -walau masih memakai payung- nantinya bukan hanya Shakila saja yang sakit dan butuh pengobatan, pasti -dan dia sangat yakin sekali- ia juga akan ikut sakit. Dari dulu, dia sangat tidak suka dengan hujan. Mengapa? Sebab, badannya yang ringkih ini tidak pernah imun terhadap air hujan. Baik gerimis atau hujan deras sekali pun, apabila dia terkena hujan, pasti dia akan jatuh sakit. Tetapi, dia tidak punya pilihan lain 'kan? Shakila butuh dibawa ke rumah sakit setelah mengalami demam berhari-hari yang lalu. Salahnya yang tidak cepat-cepat membawanya ke rumah sakit karena terkendala biaya. Memikirkan mengenai hal itu membuat kepalanya bertambah pening. Almayra terus menyusuri jalanan berharap salah satu taksi ada yang melewati jalanan yang sedang dia lewati ini. Namun, hujan deras seperti ini sepertinya sulit untuk menemukan salah satu transportasi yang biasanya ramai melewati jalanan ini. Di gendongannya pun, Shakila tidak tenang seperti tadi. Mungkin anaknya merasakan bahwa dia sedang berada di luar dan parahnya lagi merasakan kedinginan. Buru-buru Almayra memeluk erat tubuh Shakila. Nelangsa sekali ketika merasakan bahwa berat badan Shakila menurun lagi. Anaknya ini memang sedang aktif-aktifnya mengeksplor hal-hal baru seperti anak lain yang usianya sama dengannya. Jadi, barang menghabiskan makanan pun dia sangat sulit sehingga bobot tubuhnya menurun karena hal itu. Atau sebenarnya Almayra saja yang tidak bisa mencukupi kebutuhan gizi anaknya? Pikiran buruk itu terus melintas dalam otaknya. Akhir-akhir ini, fokusnya memang benar-benar terbagi. Ah, tidak. Tetapi memang setiap hari, fokusnya bukan hanya untuk Shakila saja. Ada banyak hal yang harus dia pikirkan. Terlalu banyak, sampai-sampai dia tidak sempat untuk memikirkan kondisi anaknya sendiri. Namun, sekali lagi, dia harus bertahan, kan? Dia harus bertahan menghadapi ini semua walau rasanya berat sekali. Almayra sudah berjalan cukup jauh dari rumah, tetapi belum ada satu pun kendaraan yang melewati jalanan ini. Oh ada! Astaga... dia sangat berharap sekali si pengendara mobil hitam ini mau mengantarkannya ke rumah sakit atau klinik terdekat. Dengan masih berlindung di bawang payung, dia berjalan ke tengah jalan berusaha untuk menghentikan si pengendara mobil itu. Di dalam mobil, seorang pemuda berdecak kesal. Dia baru saja tiba di Jakarta, tetapi sudah akan disuguhi drama yang sedang tidak ia inginkan. Seseorang menyetop mobilnya di tengah jalan seperti ini. Apakah akan ada p********n di sini, mengingat jalanan ini sungguh sepi? "Aduh, itu teh kasian banget, Mas. Ibu-ibu bawa anak." ucap Pak Munandar kepada Adhif yang sama sekali tidak merasakan apa yang sedang ia rasakan saat ini. Rasa kasihan kepada ibu-ibu yang membawa anaknya yang tertidur lelap. "Udah, Pak, nggak usah turun. Nggak yakin deh saya itu memang benar-benar orang minta tolong." Iya kan? Sekarang sedang marak sekali p********n seperti ini di jalan. Mereka menargetkan jalanan yang sepi, dan sialnya jalan yang dilaluinya ini memang termasuk jalanan yang sepi. Paling-paling hanya satu dua kendaraan yang lewat. "Kasian, Mas, kayaknya memang butuh bantuan, deh. Sambil bawa anak gitu soalnya." Tidak lama setelah Pak Munandar, supir keluarganya berucap, seorang wanita yang menjadi objek pembicaraan mengetuk jendela depan mobil. "Permisi, Pak, maaf saya menyetop mobil bapak dan mengganggu kenyamanan bapak. Tapi, bolehkah saya minta tolong untuk mengantarkan saya dan anak saya ke rumah sakit terdekat? Saya mohon pak, anak saya sedang sakit dan saya tidak menemukan taksi atau ojek yang berada di sekitar sini." Tampak di depan kursi pengemudi, Pak Munandar melirik ke arah majikannya lewat kaca yang berada di tengah mobil. Dia, sih, mau-mau saja mengantarkan wanita malang ini, yang ternyata bukan ibu-ibu, ke rumah sakit. Namun, apakah Mas Adhif menyetujuinya? Adhif berdecak. Sempurna sudah kenyamanannya diganggu oleh wanita-entah-siapa itu. Adhif akan mengusir wanita itu. Dia membuka pintu belakang mobil, dan bersitatap dengan wajah yang lusuh dengan air mata yang mengaliri pipi tirusnya. Hati Adhif sedikit bergetar karena kasihan. Tetapi, apakah wanita itu benar-benar sedang meminta bantuan, dan bukannya akan menjebaknya? **** "Mama udah pulang?" binar bahagia nampak di sepasang mata Almayra. Akhirnya, setelah sekian lama ibunya tidak pernah pulang di jam-jam sibuk seperti ini. Hari ini, sang ibu sudah menampakkan diri di rumah dengan dandanan yang masih rapi seperti biasa. Cantik sekali. "Sudah." Lina, ibu Almayra mengangguk. "Kita main, yuk, Ma. Mayra pengin deh main sama Mama." ajak Almayra dengan semangat. Kapan lagi dia akan bermain dengan mamanya kalau tidak hari ini. Besok-besok belum tentu mamanya akan pulang lebih awal lagi. Lina menghela napas kesal. Niatnya untuk istirahat terhenti ketika anaknya -yang akhir-akhir ini agak menuntut dan banyak tingkah- memanggilnya dan malah mengajaknya bermain. "Aduh, Mayra, mama tuh capek banget." Almayra mengangguk, masih dengan senyum yang menghiasi bibirnya. "Iya, mama istirahat dulu, nanti main sama Mayra. Ya, ma?" Lina mengangguk tanpa berpikir. Dia butuh tidur untuk melupakan semua hal yang baru saja terjadi. Astaga... seorang Alina tidak bisa mendapatkan tas yang dari dulu ia idam-idamkan, dan malah orang yang ia anggap sebagai musuh yang berhasil membelinya? Apa-apan ini?! Dia benar-benar pening sekali. Ini semua gara-gara sang suami yang tidak memberikan uang bulanan seperti jumlah uang yang diberikannya bulan lalu, karena masalah perusahaan yang sedang tidak stabil katanya. Di depan sang mama, Almayra tersenyum senang. Tanpa mereka berdua sadari, seseorang yang mengintip di balik tangga, menghela napas begitu lega. Akhirnya nonanya yang sering dilihatnya menangis bisa tersenyum selebar sekarang, batin Bi Nining, seorang asisten rumah tangga di rumah keluarga Wijaya. Namun, seseorang hanya bisa berkehendak tanpa mengetahui apa yang akan terjadi dalam dua jam kedepan. Oh tidak, bahkan manusia tidak bisa tahu apa hal yang akan terjadi satu detik kemudian. Seperti yang terjadi pada Almayra saat ini. Sebab, yang Almayra tahu adalah dia akan bermain dengan mamanya setelah sekian lama dia menantikan hal ini. Dia tidak tahu bahwa mamanya tidak akan pernah bermain dengannya setelah beliau sudah cukup beristirahat di kamarnya, karena yang mamanya lakukan adalah berdandan secantik tadi pagi, dan pergi meninggalkan rumah tanpa meminta maaf kepadanya. Jangankan meminta maaf, beliau saja tidak memberitahunya akan pergi kemana padahal Alamyra ada di sana ketika mamanya itu pergi. Bi Nining kembali menyaksikan kepergian majikannya itu di ambang pintu utama. Setelah mobil yang membawa sang majikan benar-benar sudah tidak terlihat dari pandangannya, dia melirik Almayra yang saat ini sudah menangis sambil tetap menyaksikan jalanan yang dilalui mobil ibunya. Astaga... malangnya nasib Almayra. Anak itu adalah anak yang sangat manis. Cantik, penurut, dan tidak pernah menuntut apa pun kepadanya atau kepada orangtuanya. Tetapi, mengapa anak sekecil dia harus menerima penolakan yang bertubi-tubi oleh orang yang memang benar-benar disayanginya. Dia tahu, sangat tahu bahwa masih banyak anak yang mengalami hal yang lebih buruk daripada nona kecilnya. Namun, hatinya sudah begitu perih menyaksikan penderitaan yang dialami Almayra. Tuannya, papa Almayra, yang selalu sibuk bekerja hingga tidak pernah memberikan kasih sayang kepada anak semata wayangnya. Lalu, mama Almayra, sang nyonya, pun sama. Beliau tidak pernah berada di rumah untuk sekadar menemani Almayra belajar atau tidur siang. Bu Alina selalu pergi bersama dengan suaminya, lalu pulang saat hari sudah malam. Setelah beliau pulang pun, sang nyonya tidak pernah mengecek keadaan Almayra yang sudah tertidur di kamarnya. Dia tidak pernah tahu bahwa setiap malam Almayra menangisi papa dan mamanya yang tidak pernah ada di sampingnya, sekali pun hanya mengantarkan dia ke sekolah. Bi Nining terkesiap ketika nona kecilnya sudah memeluk pinggangnya dengan erat. Almayra menangis, itu yang Bi Nining tahu. Dia tersenyum perih menyaksikan keadaan ini. Anggap saja dia lancang, tetapi sungguh dia sudah pernah berbicara pada Bu Alina tentang kondisi Almayra. Namun, yang terjadi ialah dia dimarahi habis-habisan dan beliau mewanti-wantinya untuk tidak lagi ikut campur dalam urusan keluarganya. Dia bertahan di rumah ini hanya karena Almayra. Dengan siapa Almayra ketika dia nanti memutuskan untuk mengundurkan diri menjadi asisten rumah tangga di rumah ini? Sudah lah papa dan mamanya tidak pernah memperhatikannya, sekarang giliran dia yang ingin resign. Sungguh menyakitkan untuk Almayra. "Bi Nining, Almayra ada salah apa sama mama, Bi?" lirih Almayra ketika sudah mencapai ambang pintu dan tahu bahwa Bi Nining juga menyaksikan mamanya yang pergi meninggalkannya. "Non, Sayang, Non Almayra nggak ada salah apa-apa sama mama. Mungkin mama lagi ada keperluan yang sangaaat mendesak jadi nggak bisa nemenin main, Non." Bi Nining berusaha memberi pengertian kepada nona kecilnya. Dia berusaha menjelaskan kepada Almayra dengan bahasa yang mudah dipahami anak cantik ini. Almayra melepas pelukannya pada pinggang Bi Nining. Dia mendongak, menatap dengan tanya Bi Nining yang sedang tersenyum kepadanya. "Tapi setiap hari mama nggak pernah nemenin Mayra main, Bi." Bi Nining tersenyum kecut. Dalam hati membenarkan perkataan anak majikannya ini. Tetapi, apa lagi yang harus ia katakan selain kata-kata penenang untuk Almayra? Dia tidak mungkin mengatakan kepada Almayra bahwa mama dan papanya sepertinya memang tidak peduli padanya, kan? "Sabar, ya, Non. Kalau kerjaan mama sudah selesai pasti nanti mama main sama Non Almayra. Lihat, kan, tadi mama buru-buru gitu?" Almayra mengangguk. Benar, memang mamanya tadi buru-buru masuk mobil sambil menelepon seseorang. Almayra tidak tahu siapa yang menelepon mamanya itu sampai membuat mama begitu terlihat senang sekali dan langsung pergi meninggalkannya. Almayra hanya berharap dimana pun mama dan papanya berada, semoga mereka selalu dilindungi oleh Yang Maha Kuasa. "Oh iya, yuk, Non, kita main di dalem aja. Atau mau ke taman kayak kemarin sore, Non?" Ajak Bi Nining sambil menyelipkan tanya kepada nona mudanya. Biasanya, sore-sore begini mereka akan bermain di taman bersama dengan anak-anak kecil lain. Almayra menggeleng. Dia ingin pergi ke taman dengan mamanya. Dia ingin seperti Uni, Lena, dan Bima, teman-temannya, yang selalu ke taman dengan para ibunya. Mereka terlihat bahagia. Dan, Almayra ingin merasakan kebahagiaan itu. "Nggak ah, Bi, Almayra mau di rumah aja." Tetapi, tentu saja dia tidak akan mengatakannya kepada Bi Nining. Bibi sudah baik sekali kepadanya, dia tidak mau membuat Bi Nining bersedih dengan permintaannya, karena dia menyayangi Bi Nining sebesar dia menyayangi orangtuanya. "Siapp! Hayukkk," Bi Nining tertawa riang sambil menggandeng tangan majikan kecilnya, mengajak dia ke dalam rumah. Sambil berpikir dia akan memgajak Almayra bermain apa lagi hari ini. Almayra tertawa dan melihat tangannya yang digandeng oleh tangan Bi Nining. Apakah mamanya bisa menggandeng tangannya dengan riang seperti ini? Almayra yakin sih, pasti suatu saat mamanya akan mau bermain dengannya. Semoga saja tidak lama setelah ini, mama bisa menyelesaikan semua urusannya dan fokus ke Almayra saja. Namun, setelah bertahun-tahun dia paham bahwa orangtuanya memang tidak pernah mempunyai waktu untuk bermain dengannya. Papa yang terlalu sibuk, dan mama yang seharusnya berada di rumah menemani kesehariannya pun seolah enggan untuk berdekatan dengannya. Sehingga, setiap hari yang ia lakukan adalah berdiam diri di kamar bersama dengan Bi Nining, dan menebak-nebak apa kesalahan yang sudah ia perbuat kepada orangtuanya sehingga mereka tega mencampakkannya dengan sedemikian rupa. Setiap dia mengingat hal itu, dia akan kembali seperti bocah kecil yang terluka. Terdiam dan kemudian menangis. Dan, hari ini, setelah sekian lama dia tidak mengingat kenangan kecilnya itu, ijinkan dia untuk kembali mengingatnya dan menangis sambil memeluk Shakila, anaknya, yang saat ini sedang menatapnya dengan binar mata polos di hadapannya. Shakila yang sangat dicintainya. Shakila yang menjadi penguatnya selama ini. Shakila yang dengan setia menemaninya untuk bangkit dan tersenyum. Shakila anak perempuan kesayangannya. Betapa dia berjanji pada diri sendiri tidak akan pernah membiarkan Shakila hidup seperti dirinya di masa kanak-kanak. Tidak mendapat kasih sayang, dan selalu dicampakkan oleh mama dan papanya. Almayra sudah merasakan hal itu, dan tahu betapa sakitnya diabaikan. Dia ingin selalu ada di dekat anaknya, Shakila, agar tidak pernah tertinggal tiap pertumbuhan sang anak perempuannya. ****

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook