RnS - Dua

1566 Words
Hujan deras di minggu pagi adalah waktu terbaik untuk kembali merebahkan diri, menarik selimut, dan bergelung di bawah benda lembut itu hingga hujan sudah benar-benar kembali mereda. Itulah pagi terbaik untuk orang-orang yang masih belum memiliki tanggung jawab atau barangkali masih melajang, seperti dirinya dulu beberapa tahun yang lalu. Tentu saja mereka akan bersantai hingga siang sudah di depan mata. Sebab, tidak ada tanggungan yang harus mereka urus. Para lajang itu barangkali hanya memikirkan sarapannya yang harus tertunda, itu pun kalau-kalau memang kondisi perutnya sudah sangat lapar. Namun, bagi Almayra yang sudah resmi menjadi seorang ibu hampir dua tahun lamanya, malas-malasan di tempat tidur bukan lagi sebuah kenikmatan. Sebab, nantinya ada anaknya, Shakila, yang akan membutuhkannya. Juga sang ibu yang sudah sejak kurang lebih satu tahun ini terbaring lemah di tempat tidur karena sakit yang di deritanya. Namun, kondisinya sudah jauh membaik berkat bantuan Bi Nining yang ia perintahkan untuk melatih ibunya. Jadi, yang harus ia lakukan setelah membuka matanya dan disambut dengan hujan deras beserta petir yang menggelegar adalah bangun dari ranjang, memastikan bahwa selimut yang melindungi anaknya yang masih terlelap tidak akan kemana-mana, mencium pipi Shakila, dan melangkah untuk meninggalkan kamarnya menuju ke dapur. Barangkali membuat nasi goreng atau omelet tak masalah. Sebab, hanya ada beberapa sayur di lemari esnya yang tidak cukup untuk mengolah bahan untuk sarapan sekaligus makan siang keluarga. Biasanya minggu pagi seperti ini dia akan bergegas ke pasar. Berbelanja banyak sayuran untuk kemudian diolah dalam beberapa hari ke depan dengan menu masakan yang berbeda-beda. Namun, sepertinya hunting sayuran yang sering dilakukannya di pagi hari harus diganti sore hari karena akhir-akhir ini hujan seringkali menyerang waktu pagi. "Sementara bikin omelet dulu, deh. Ntar kalo agak reda beli sayur aja buat mama." kata Almayra bermonolog. Tangannya masih sibuk memilih sayur yang akan dimasak bersama telur. Memilih untuk memasukkan cabe kembali ke dalam lemari es, Almayra tidak akan memasukkan bahan itu ke dalam omeletnya. Karena selain membuat menu untuknya sendiri, Shakila juga akan mengonsumsi masakan buatannya ini. "Selamat pagi, Neng." Almayra mendongak dari bahan-bahan memasaknya yang ada di atas meja dapur. Lalu, tersenyum ketika netranya bersitatap dengan netra Bi Nining, seorang asisten rumah tangganya dulu yang masih setia berada di sampingnya. Namun, dahinya mengernyit. Di luar sedang hujan deras, apakah Bi Nining menerobos untuk mengunjungi rumahnya? Almayra menghampiri wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu keduanya, lalu mengibaskan pakaian Bi Nining yang sedikit basah terkena air hujan. "Ya ampun, Bi. Kesininya nanti, kan, bisa." Bi Nining tertawa kecil. Lalu mengibaskan tangannya tanda tak keberatan. "Bibi ini kalau di rumah terus malah bosen, Neng. Mending disini duduk-duduk sama kamu atau main sama Shakila." dia melangkah pelan, menggandeng anak tangan majikannya. "Lagian ibu, kan, pakai payung kesininya jadi cuma kena sedikit aja." Tak pelak, Almayra pun ikut tertawa. Entah harus berapa ribu kali dia berterima kasih kepada Bi Nining, yang selalu membantunya dan tetap setia berada di sisinya, menguatkannya seperti seorang ibu menguatkan anak perempuannya yang sedang terkena musibah. "Makasih, ya, Bi. Bukannya Mayra nggak berterima kasih, tetapi seharusnya bibi nggak perlu seperti ini sama Mayra." "Nggak apa-apa, Neng. Bibi seneng kok. Bibi udah anggap Neng Almayra itu anak pertama bibi. Ingat, kan?" benar. Bahkan tak pernah ada perbedaan perlakuan dirinya kepada Almayra atau anak kandungnya, Nana. Pun juga Almayra yang tidak pernah berhenti menebar kebaikan pada dia dan Nana. Kembali Almayra menyunggingkan senyum, lalu melirik kepada dua kantung plastik yang berada di genggaman tangan Bi Nining. "Bibi bawa makanan lagi?" tanyanya yang sudah paham sekali jawaban apa yang nantinya wanita paruh baya itu lontarkan. Melangkah untuk memindahkan sayur yang ada di tempat makan yang di bawanya ke dalam mangkuk, Bi Nining menjawab, "Iya, Neng. Bibi masak banyak tadi soalnya temen-temen Nana tidur rumah, jadi daripada mubadzir mending bibi bawa kesini juga." nana adalah anak perempuan semata wayangnya. Barangkali Bi Nining kembali berbohong agar dia tidak merasa bersalah tiap kali beliau membawa makanan untuk keluarga ini, namun Almayra tetap menganggukan kepalanya tanda paham. Berusaha menghargai semua kebaikan wanita ini pada keluarganya. "Neng mau masak apa?" tanya Bi Nining ketika dirinya melihat meja dapur yang cukup ramai. "Omelet aja, Bi. Soalnya belum belanja sayuran. Hujan terus jadi bingung kapan mau ke pasar. Biatnya, sih, nanti mau beli sayur mateng aja buat makan siang." "Ya udah nggak usah beli lagi lah. Bibi udah bawa ini." Almayra mengangguk. Lalu membantu Bi Nining mengeluarkan sayuran dari kantung plastik dan memindahkannya di mangkuk, sambil menunggu minyaknya panas. "Neng bersih-bersih dulu sana, ini biar Bibi yang nerusin." menatap manik mata coklat milik sang anak majikannya dulu, Bi Nining menggelengkan kepalanya tanda tidak keberatan ketika Almayra menatapnya dengan pandangan ragu. "Nggak papa, cuma goreng doang mah bibi bisa. Kamu, kan, masih banyak kerjaan." Akhirnya Almayra mengangguk mengiyakan. "Ya udah, titip ini, ya, Bi. Almayra mau ke kamar dulu." "Siap." Almayra bangkit dari duduk nyamannya lalu menghampiri ruang keluarga. Mengintip jarum jam yang terpasang gagah di sana dan menghela napas lega ketika sadar bahwa masih ada waktu untuk membersihian ruangan. Kegiatan yang terkadang juga ikut dibantu oleh Bi Nining. Meraih sapu yang terletak di sebelah kamar mandi, Almayra mulai membersihkan lantai dengan bersenandung kecil. Mencoba untuk sedikit meramaikan suasana walau memang suara hujan pun sudah meramaikan kondisi sekitar. Namun, tetap saja sebelum anaknya terbangun dan meramaikan kondisi rumah dengan ocehan sederhananya, rumah ini akan terasa sepi sekali. Rumah yang baru ditinggalinya beberapa tahun bersama anak dan juga ibunya. Kecil, memang. Namun, dia merasa nyaman. Hanya memiliki dua kamar tidur yang masing-masing tidak ada kamar mandi yang terletak di dalam kamar. Ruang tamu beserta ruang keluarga yang hanya diberi sekat lemari panjang. Lalu dapur dan satu kamar mandi. Simple, tetapi dia sedikit merasakan kebahagiaan dan ketenangan di sini. "Eh, anak Mama udah bangun. Tidurnya nyenyak, Sayang?" sapa Almayra ketika dirinya membuka pintu kamarnya dan melihat Shakila yang sudah akan turun dari tempat tidur. Hanya respon tawalah yang berhasil Shakila persembahkan untuk Almayra. Melihat ibunya yang menghampiri dirinya, bayi kecil itu malsh kembali merebahkan dirinya di ranjang. Almayra ikut tertawa. Benar-benar takjub dengan bayinya yang tidak pernah sekali pun rewel ketika bangun dari tidur lelapnya. Seolah benar-benar mengerti sekali dengan kondisi Almayra, agar ibunya tidak perlu sibuk menenangkannya. Melanjutkan menyapu dengan cepat agar bisa meraih tubuh anak cantiknya ke dalam pelukannya, Almayra kembali berkata, "Oh, mau gendong, ya? Tunggu sebentar, ya, Nak, Mama mau menyelesaikan ini dulu, ya, anak cantik?" Kembali Shakila memamerkan tawanya. Seolah Almayra sedang mengajak bayi kecil itu berbicara yang membuatnya tertawa. "Ma.. ma... ma... ma," ulang Almayra membantu Shakila untuk mengucapkan hal yang sama. Empat bulan lagi Shakila genap berumur dua tahun, namun bayinya masih belum terlalu lancar mengucapkan kata-kata sederhana itu -satu dua kata- dengan lancar. Banyak tetangganya yang mengira bahwa Shakila memang tidak bisa berbicara, namun Almayra hanya menanggapinya dengan senyuman sendu. Biarkan saja orang berbicara apa pun tentang dirinya, namun bila itu sudah menyangkut Shakila, anak yang dengan susah payah ia kandung dan berjuang di kelahirannya, hatinya benar-benar terasa sakit. Sebab, Almayra yakin Shakila bisa berbicara. Terkadang, bila ia mengajaknya mengobrol di pagi hari seperti ini saja, anaknya itu berusaha untuk membalas perkataannya walau mungkin masih cukup sulit. Belum waktunya kalau kata Bi Nining. Meletakkan sapu, lalu Almayra berjalan pelan untuk meledek anaknya. Tangan Shakila sudah melambai-lambai ingin segera dipeluk oleh dirinya, namun dia ingin sedikit meledek anaknya sebentar. Almayra tertawa ketika Shakila tampak pasrah. Berdiri, bayi kecil itu melangkah sendiri turun ke tempat tidurnya. "Ah, anak mama sudah besar banget, sih? Sudah pintar sekali turun dari kasur nggak dibantu, mama, hm?" ucapnya sambil tetap matanya mengawasi pergerakan anaknya. "Ma..." seru Shakila panjang. Almayra tersenyum senang. Berbunga-bunga ketika Shakila kembali mengucapkan kata itu setelah beberapa bulan dia melatihnya. Sebelumnya, Shakila memang pernah mengucapkan kata itu, namun kemudian entah lupa atau belum terlalu paham sehingga bayi kecilnya ini tidak pernah lagi melafalkannya, hingga hari ini. "Iya, Sayang? Pintar, ya, anak mama?" meraih Shakila ke dalam gendongannya, Almayra memutuskan untuk kembali melangkah. "Sekarang kita ke kamar nenek, ya?" dia meneruskan langkah hingga mencapai pintu kamar sang ibu. "Ma?" Sapa Almayra ketika dirinya sudah berada di dalam kamar yang gelap. Setiap hari kamar ibunya memang selalu dalam keadaan gelap. Sebab, sang ibu tidak terlalu suka dengan cahaya yang terlalu terang. "Hm?" "Mama sudah bangun?" Alamyra melangkah mendekati ranjang sang ibu dengan Shakila yang masih berada dalam gendongannya. "Sudah." jawab Lina singkat. "Biar nanti Almayra bantu mandi, Ma? Shakila nanti biar sama Bi Nining dulu." tawar Almayra dengan senyuman. "Nggak perlu memperlakukan mama seperti kamu memperlakukan anak kamu itu, Almayra." seru Lina dengan tajam. Tak peduli bahwa ada anak kecil yang sedang berada di ruangannya. "Kamu pasti senang, kan, lihat mama seperti ini? Dendam kamu sudah terbayar lunas melihat mama yang lemah tak berdaya seperti ini?" Memejamkan matanya, pelan-pelan Almayra menghembuskan napasnya. Selalu hal itu yang dibicarakan oleh sang ibu. "Ma.... kenapa mama harus terus membahas hal itu? Almayra bahkan tidak pernah mengerti apa maksud mama mengatakan hal itu kepada Mayra." Lina mengibaskan tangannya tanda tidak ingin kembali mendengar racauan sang anak. "Udah lah. Panggilkan Bi Nining saja. Cepat." katanya penuh penekanan. Kembali Almayra menghela napas berat. Hatinya sekelam seperti cuaca pada pagi hari ini. Berkali-kali dia mencoba untuk mengakrabkan diri dengan sang ibu, namun sekuat ia mencoba, sekuat itu pula ibunya mendorong ia keluar, menolaknya tanpa alasan yang jelas. Entahlah, selama dua puluh lima tahun Alamyra hidup di dunia ini, tak pernah sekali pun ia mengerti apa sebenarnya yang diinginkan oleh sang wanita yang sudah sangat berjasa melahirkannya ke dunia. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD