Bab 1. Ruang Rahasia

1180 Words
   Prisscot, Musim Semi 23 Maret 2005                                                                                 ANGEL  “Angel sini, duduk di bangku sebelahku,” seru Sarra. Matanya memberi isyarat padaku untuk duduk di bangku yang ia maksud. Aku dengan sedikit malas-malasan menuruti permintaannya. Sarra memiliki tinggi lebih pendek 15 cm dariku. Rambutnya coklat gelap dengan sedikit kering dan kusut karena terlalu sering diikat. Penampilannya sangat sopan karena ia memiliki orangtua kolot. Saat ini ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna cokelat garis-garis sewarna tanah. Dengan ukuran kemejanya satu tingkat di atas ukuran tubuhnya. Ditambah lagi Celana kain hitam yang kedodoran sedikit menyapu lantai. Sepatu keds berwarna abu-abu berdecit tiap kali Sarra melangkah. Ia jelas tidak memiliki standar cantik menurut kacamata kecantikan yang berlaku saat ini. Standar cantik itu memiliki kaki yang jenjang, rambut panjang yang berkilau, deretan gigi putih nan rapi serta lekuk tubuh yang langsing dan memakai pakaian berwarna pink. Seperti sederetan anak-anak yang tergabung dalam cheerleader. Sayangnya bukan aku juga. Aku tidak suka memakai baju pink. Rambutku pirang yang sengaja aku biarkan panjang agar ketika kelas 10 yaitu saat ini, aku memiliki rambut yang menyentuh punggung bawah. Impianku untuk memiliki rambut panjang berhasil. Dulu aku tidak terlalu memperdulikan penampilan. Entahlah, akhir-akhir ini aku mulai sering berlama-lama memandangi cermin. Aku ingin duniaku berubah. Tapi mengingat, aku terus bersama Sarra-sahabat kecilku yang tidak populer, pasti kecil kemungkinannya.     “Hei kamu sedari tadi memikirkan sesuatu?” tanya Sarra. Aku menggeleng lemah.     “Sepertinya kamu butuh hiburan,” Sarra menarikku berlari sepanjang koridor sekolah. Sontak aku kaget dan sedikit memarahinya.     “Aduh Sarra ngapain sih, lepasin. Nanti Mr Quinn bakal memarahi kita kalau kita telat masuk kelasnya.”  Bukannya melepaskan pegangannya dari tanganku, Sarra malah tambah mempererat pegangannya. Terlihat tangan Sarra lebam kebiruan. Sudah seringkali aku melihat hal serupa, terkadang di pahanya sewaktu ia mengganti pakaiannya ketika pelajaran olahraga. Entah apalagi kesalahan yang Sarra perbuat kali ini sehingga orangtuanya memukulinya. Ia menarikku menuju ke ruangan pojok kanan lapangan basket indoor. Ruangan itu berukuran 3 x 3 meter yang merupakan jalan buntu. Tadinya kupikir begitu, sampai Sarra menunjukkan kepadaku kalau ternyata itu tidak sepenuhnya buntu. Ruangan yang penuh tertutup oleh papan tenis meja itu, ternyata ada celah yang cukup untuk satu orang menyelusup ke dalam. Setelah melewati papan tenis meja, di dalam ruangan itu terdapat dua lorong kiri dan kanan. Di sebelah kiri ternyata terdapat ruangan lagi semacam gudang yang sudah tidak terpakai. Letak gudang ini cukup terasing dari lalu lalang. Di dalam gudang ini terdapat berbagai peralatan basket mulai dari ring basket yang rusak, selusin bola basket, kursi-kursi yang dipenuhi debu dan berbagai macam benda-benda lain yang telah tertanam dengan cukup baik di memori otakku. Bagus. Tambahan memori yang tidak penting lagi masuk ke dalam otakku. Gumamku. Sebelum sempat bertanya lebih lanjut tentang maksud tujuan Sarra mengajakku kemari, ia berkata “Naiklah kursi ini, lihat yang di balik sana,” ujarnya sambil menunjuk jendela kecil yang terletak di sebelah kanan atas ruangan ini. Rasa penasaran mencegahku untuk mengomeli Sarra lagi. Segera aku tarik dan pindahkan salah satu kursi yang bertumpuk itu kemudian menaikinya. Ternyata ruangan ini bersebelahan dengan ruang ganti para pemain baseball. Aku langsung mengalihkan pandanganku dan melototi sarra. Ia yang berdiri di bawah sana malah tertawa cekikikan. Ia pun mengedipkan sebelah matanya. Aku kembali melihat ruang ganti itu. Melihat Jeff Arthur. Jeff masuk ruangan seketika hatiku berdebar.     “OMG Jeff,” bisikku pada Sarra. Mata Jeff melihat ke arah atas tempatnya berada. Mata kami bertumbrukan. Refleks, aku segera menunduk.     “Ketahuan,” bisikku. Seketika aku dan Sarra pun tertawa lirih.     “Dari mana kamu tau ada tempat seperti ini?”     “Kamu tahu Angel, kamu punya kemampuan mengingat aku punya kemampuan mendengar,” selorohnya.     “Kamu pernah mencoba menaiki ini dan melihat yang ada dibalik sana?” tanyaku sambil turun dari bangku. Ia menggeleng. Sudah ku duga.     “Rugi lho, kamu tahu Jeff tadi sedang apa,” bisikku menggoda. Sarra menutup kedua matanya, tiga detik kemudian menutup kedua telinganya dan menatapku.     “Hei, kamu tahu dari mana informasi sepenting ini?” tanyaku menggodanya sambil melangkahkan kaki mulai berjalan beriringan. Kami berdua melangkah menuju kelas aljabar. Kelas Mr. Quinn.     “Sewaktu aku di toilet tadi mendengar percakapan Thania Miller dan genknya,” ujarnya.     “Apa maksudmu, mana mungkin Thania mengintip pemain baseball mandi. Jeff dan Thania kan berpacaran”     “Bukan mengintip, tapi Thania bercerita kalau ia sering b******u di gudang itu”     “Dengan Jeff?”     “Bukan, ia b******u dengan cowok-cowok selain Jeff dan Clara menanggapi kalau gudang itu bersebelahan dengan ruang kamar mandi pemain baseball. Apa Thania nggak takut sewaktu sedang b******u bisa terdengar Jeff sewaktu ia lagi mandi”     “Terus kamu memanfaatkan info itu untuk mengintip Jeff?”     “Ha...ha...ha, bukan aku yang mengintip lebih tepatnya,” sela Sarra.     “Coba tadi kamu melihatnya Sar, kamu tahu tadi Jeff membuka kaosnya dan...” Aku tidak melanjutkan perkataanku. Kakiku berada di ujung lorong dan bersebelahan dengan pintu kelas.     “Dan apa?” terdengar suara bariton yang seketika menghentikan langkahku. Suara itu berhasil menelusup jauh menembus hatiku. Aku terperanjat mengetahui darimana suara bariton itu berasal. Seorang cowok berbadan tegap, dengan tinggi 180 cm itu berdiri tepat di hadapanku. Sesekali ia menyisir dengan tangan, rambut coklat terangnya, sedikit keriting yang masih setengah basah itu. Matanya yang hijau gelap menatap tajam kepadaku. Menunggu jawabanku. Seketika pipiku memerah tanpa dapat aku kontrol. Cowok itu Jeff. Cowok yang aku bicarakan. Lidahku kelu. Tidak tahu harus berkata apa.     “Kamu... kok bisa ada di sini, cepat sekali,” jawabku terbata-bata. Dia tidak langsung menjawab. Hanya tersenyum kecil. Memperlihatkan dua lesung pipinya. Rahang tegasnya menunjukkan kemaskulinan.     “Berarti benar, kamu orangnya,” Jeff berkata dengan percaya diri, sangat mengintimidasiku. Aku hanya mengkerutkan kedua alis pertanda tidak mengerti ucapannya.     “Iya kamu, kamu kan tadi yang mengintipku,” ujarnya lagi-lagi dengan nada sangat percaya dirinya. Ia berhasil mempermalukanku seakan-akan menjatuhkanku ke jurang terdalam sedalam-dalamnya. Entah seperti apa mukaku saat itu. Yang jelas Sarra yang berada di sampingku tertawa kecil dengan menutup mulutnya. Bisa-bisanya Sarra bersikap sok anggun sewaktu di hadapan Jeff, ketika teman sejak kecilnya ini dipermalukan. Aku segera pergi tanpa bisa membalas perkataan Jeff. Sebelum aku benar-benar pergi, Jeff sempat membisikanku.     “Aku tahu kamu bernama Angel, anak kelas sepuluh. Kamu berhasil masuk dalam radarku. Kamu tahu kan artinya apa?” Tepat berada 10 meter dari pintu kelas, aku dan Sarra melihat Mr. Quinn, baru saja memasuki kelas.      “Untunglah kita belum terlambat, Ayo Angel kita masuk”     “Siapa tadi yang mengajak keluar kelas,” seruku sebal. Sarra hanya memasang wajah innocent.     “Aku sudah nggak mood masuk, sekali-kali tidak usah ikut kelas,” ujarku. Sarra mendelik. Ia menggeleng.     “Jangan Angel, kamu tahu...” pintanya yang sudah tidak aku tanggapi. Aku hendak melangkah pergi menjauhi kelas. Dasar Sarra. Dia benar-benar anak yang taat peraturan. Dalam hati aku tersenyum. Bisa-bisanya dia menunjukkan tempat seperti itu. Disamping sikap lugu, polos dan taat peraturannya itu, Sarra lucu dan konyol sekali. Aku tidak menyesal berteman kembali dengan Sarra.     “Ayok cepat masuk,” Sara tiba-tiba menarikku dengan sekuat tenaganya. Aku mencoba melepaskan diri namun sialnya aku kehilangan keseimbangan. Bruuuk, aku terjatuh tepat di depan kelas. Sontak satu kelas tertawa riuh melihatku duduk terjatuh dengan ekpresi muka konyol. Rok selututku sedikit tersingkap memamerkan paha dan kaki jenjangku. Sial. Hari ini sudah dua kali aku melakukan ketololan. Aku mendengar suara tawa. Tertawa. Mereka semua tertawa hanya satu yang tidak. Orang itu hanya menatapku lurus. Orang itu James Quinn. Guru matematikaku.                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD