Part 1 : Daddy!

2108 Words
“Tidak bisa Ilona, kamu tidak bisa bekerja di kota, apalagi sendirian.” “Tapi Ayah, Ayah sudah berjanji jika Ilona selesai kuliah di sini, Ilona bisa bekerja di luar kota.” “Itu dulu. Keputusan Ayah sekarang sudah berubah. Kamu tidak bisa kemanapun, kamu tidak melihat Ayah dan Ibu sudah tua? Kamu harus meneruskan usaha keluarga kita. Mengawasi peternakan.” “Ayah tidak terlihat tua. Lihat ... hampir tidak ada keriput di wajah ayah, ayah masih sangat segar bugar dan sehat.” “Ayah sudah tua.” “Ayah.” Suara rajukan mendayu mulai terdengar. “Ilona mohon ayah. Please.” Seorang perempuan berusia dua puluh empat tahun itu menatap sang ayah dengan tatapan penuh permohonan, lalu menggoyangkan lengan pria paruh baya itu yang masih tampak kekar beberapa saat, seraya merengek, memohon, penuh harap. Perempuan tersebut, Ilona Jennie Kaithlyn. Seorang perempuan cantik dan begitu anggun yang tumbuh di pedesaan dengan di kelilingi oleh peternakan milik keluarga. Memiliki tubuh semampai, wajah tegas dengan mata bulat, bulu mata lentik, juga alis yang tegas. Tak hanya itu, kulitnya yang putih bersih, rahangnya tegas, bibir tipis dan hidung, juga dagu yang membulat lucu, menambah kecantikan perempuan itu. Oh ya tak lupa pula rambut hitam kecoklatan yang tentu semakin menambah kesan cantik dan elegan dari perempuan tersebut. Dia, seorang perempuan yang mulai tumbuh dewasa dan mulai menginginkan kehidupannya sendiri dengan mencari pengalaman baru yang tak pernah ia temukan selama dua puluh empat tahun ini. Salah satunya bekerja di kota. Akan tetapi di sisi lain, Hazard sebagai seorang ayah yang sangat mencintai puteri satu-satunya itu tentu saja begitu protective dan tak rela ketika harus melepas sang puteri pergi jauh. “Ilona mohon, Ilona hanya ingin mencoba pengalaman baru Yah, ya? Ya ya? Ayah, Ilona janji setelah Ilona mencoba, Ilona akan kembali ke desa, Ilona akan merawat peternakan dan mengembangkan peternakan lagi. Ilona berjanji.” Ujar perempuan itu tanpa menyerah. “Benar kamu hanya ingin mencoba? Janji juga kembali ke desa lalu mengurus peternakan?” Ilona mengangguk ribut, begitu bersemangat mendengar pertanyaan itu. “Baiklah satu tahun kamu boleh bekerja di luar kota.” “Yah! Satu tahun? Mana ada kontrak kerja selama satu tahun? Yah lima tahun ya? Bagaimana?” “Satu tahun.” “Tiga tahun.” “Satu tahun.” “Ilona janji setelah tiga tahun Ilona kembali.” “Satu tahun atau tidak sama sekali.” Oh God. Ayah-nya ini memang sangat sulit di bantah. “Baiklah, satu tahun.” Daripada tidak sama sekali bukan? Ia pasrahkan satu tahun untuk memenuhi keinginannya, daripada ia tidak pernah merasakannya. “Good. Ayah akan meminta teman ayah menerimamu bekerja di perusahaannya. Nanti ayah juga yang akan mengantarmu. Ingat, satu tahun. Tidak lebih.” Ilona menghela nafas panjang kemudian mengangguk kecil, pasrah. “Iya Ayah.” Ujar Ilona pasrah. *** Derap langkah kaki terdengar menggema, begitu teratur menunjukan wibawa yang di menguar dari pemiliknya. Kaki jenjang, tubuh tegap, wajah tampan dengan rahang tegas, mata tajam, hidung lancip dan bibir pointy natural yang begitu menggoda, tak lupa pula kulit tan, juga rambut hitam legam yang tertata rapih, menambah kesan karismatik yang membuat pria itu tak hanya sekedar tampan biasa. Namun sebuah ketampanan yang mampu menyedot seluruh perhatian orang di sekelilingnya dan mampu membuat setiap orang yang melihatnya jatuh hati, menyukai sosok pria yang nyaris sempurna itu. “Selamat siang Mr. Dalbert.” Sapa satu persatu karyawannya yang hanya ia respons dengan anggukan tipis. Pria itu. Edward Orion Dalbert, seorang pemimpin perusahaan publik yang memiliki berbagai jenis bisnis di dalam perusahaannya. Sosok pemimpin tegas, disiplin dan bertangan dingin. “Mr. Dalbert, Mr. Max mengatakan akan membawa Miss Mia berlibur ke Switzerland, selama satu minggu.” Oh ya! Satu hal lagi. Sosok tampan berusia empat puluh dua tahun itu memiliki sepasang anak kembar, Max dan Mia yang berusia tujuh belas tahun. Akan tetapi usia hanya angka bukan? Meski angka pada usianya begitu banyak, akan tetapi setiap orang mengakui bahwa Edward, tak tampak berada di usia itu, apalagi memiliki anak. Edward cenderung di anggap pria berusia awal tiga puluhan karena ketampanan yang pria itu miliki dan juga style yang selalu up to date, selalu tampak fashionable. Satu lagi yang membuat semua orang semakin kagum adalah, Edward dianggap sebagai sosok orangtua sukses karena mampu membesarkan dan mendidik kedua anaknya seorang diri, hingga tumbuh menjadi anak yang tak hanya tampan dan cantik, tapi memiliki kecerdasan yang sangat baik. “Kenapa dia tidak mengatakannya saat sarapan tadi?” tanya Edward seraya mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi sang putera. “Mr. Max mengatakan acaranya mendadak.” Edward menghela nafas panjang seraya menunggu panggilan tersebut dijawab sang putera. “Hallo Dad.” “Where?” “At home. Packing. Jack sudah bilang aku dan Mia akan pergi Dad? Satu minggu ke Switzerland.” Edward bergumam kecil. “Uangmu masih ada? Apa cukup untuk berdua?” “Ada Dad, masih cukup.” “Pastikan mencari tempat menginap yang aman dan nyaman. Ingat jaga Mia, jaga dirimu juga. Segera hubungi Daddy jika membutuhkan apapun.” “Yes, Daddy.” “Hati-hati di jalan.” Pesan Edward sebelum mengakhiri panggilan tersebut. Meski di kantor terkenal sebagai sosok yang tegas, tapi di rumah Edward berbeda. Ketika setiap orang menduga bahwa Max dan Mia hidup dengan penuh aturan, kedua anak itu justru tumbuh dengan penuh kasih sayang. Edward tak pernah mengekang keduanya, Edward justru selalu memberikan dukungan apapun untuk anak-anaknya itu selama keinginan mereka bukan hal yang menyimpang dan merugikan, Edward pun selalu mendengarkan kedua anaknya, selalu meluangkan waktu untuk mereka sehingga baik Max ataupun Mia, keduanya tidak pernah menyembunyikan apapun terhadapnya. Edward yang baru saja membuka sebuah dokumen terjengit ketika telepon di samping kanannya berdering. “Mr. Dalbert. Mr. Hazard dari Swiss ingin berbicara dengan anda.” Itu Jack, asisten pribadinya. “Sambungkan.” “Hallo Mr. Dalbert.” “Hallo Mr. Hazard. Lama sekali tak ada kabar. Bagaimana kabar anda dan istri anda?” “Baik. Bagaimana dengan kabarmu dan anak-anak?” “Senang mendengarnya. Kami juga baik.” “Mr. Dalbert, pertama maaf saya mungkin terdengar sangat lancang. Tapi bolehkah saya meminta pertolongan anda?” Edward mengerutkan kening sesaat. “Tentu saja, dengan senang hati saya akan membantu.” *** Ilona menatap penuh kekaguman pada mansion di depannya yang tampak begitu megah, layaknya istana di negeri dongeng. Matanya berbinar, senyumnya pun merekah. Ia tak menduga ayahnya akan mengirimnya tinggal di tempat semegah ini. Padahal awalnya ia berpikir bahwa sang ayah akan mengirimnya ke sebuah asrama putri seperti saat ia masih sekolah. Tapi ternyata. Lihatlah! Ini istana! Ini bukan asrama layaknya penjara yang selama ini mengurungnya. Sebenarnya rumahnya di Swiss pun tak kalah bagus, tapi rumah didepannya ini, mansion, benar-benar layaknya istana. “Edward lajang. Ingat, jaga sikapmu Ilona. Jangan membuat Ayah malu. Kendalikan wajahmu itu.” Ilona mendesis kecil mendengar pesan-pesan yang tak hentinya sang ayah katakan. “Iya Ayah, Ayah pikir Ilona seperti apa?” “Kamu selalu bersikap berlebihan jika melihat orang tampan, foto saja membuatmu heboh. Apalagi melihat Edward yang tampan di depan matamu. Ingat! Kamu harus menjaga sikap.” Ulang Hazard, sang ayah. “Iya Ayah, Iya! Ayah sudah mengulanginya beberapa kali. Ibu saja tidak ada mengomeliku tapi Ayah terus mengomel. Aku sudah mendengarkannya Ayah Tenang saja, aku tidak akan membuat mal—u.” “Selamat datang Mr. Hazard.” Ilona mematung, menatap sosok tampan di depannya. Seketika bayangan masa lalunya kembali. ... 9 tahun yang lalu. “Ilona pulang!” Saat itu Ilona masih senior high school, ia baru pulang dari asrama untuk liburan musim panasnya. Ilona berlari setelah keluar dari mobil ke arah peternakan, berniat menemui sang ayah yang pasti ada di tempat itu. Tapi sial, saat berlari di ladang rumput kakinya tersandung, membuatnya jatuh tengkurap. “Oh s**t! Ah!” Ilona mengerang ketika melihat lutut dan sikutnya yang memerah, mengeluarkan darah. “Sister, are you ok?” Ilona mengerjapkan mata, kemudian mendongak ke arah seorang anak perempuan asing yang kini berdiri di depannya, memberinya tatapan dengan mata bulatnya itu. “Berdarah.” Ujar anak perempuan itu lagi kemudian berlutut dihadapannya seraya merogoh sesuatu dari tas yang dia bawa, ternyata ada air dan juga beberapa buah prester. “Ini, Mia obati?” “Mia?” “Hng.” Anak perempuan itu mengangguk penuh semangat. “Mia.” Ujar anak itu lagi seraya menepuk dadanya sendiri. Ilona terkekeh kecil. “Bahkan anak kecil sepertimu membawa barang-barang seperti ini.” “Daddy bilang, Mia harus selalu membawanya.” “MIA!!! MIA!!!” “Itu Daddy!” Seru anak itu kemudian berdiri seraya melambaikan tangan. “DADDY!!! Here!” Ilona berbalik ke arah pandang anak perempuan itu, matanya tertutup, tangan kanannya perlahan naik, menutupi silau matahari yang menerpa wajahnya. Saat langkah kaki itu semakin terdengar mendekat, ia memicingkan mata, menatap sosok pria yang kini berdiri tepat di hadapannya. Pria dengan stelan jas rapih, dan juga rambut yang tertata rapih. Deg! Jantung Ilona berpacu, berdetak lebih kencang saat iris matanya bertatapan secara langsung dengan obsidian milik pria itu. “Biar aku obati.” Ilona tak dapat merespons apapun, ia hanya bisa terdiam, mematung seraya menatap sosok tampan itu dalam diam. “Sister, are you ok?” “Ah? Yeah, I’m ok.” Ujar Ilona seraya menatap ke arah Mia. “Are you sure? Kenapa wajahmu merah?” “Hah? I’m ok Mia. I’m ok.” “Selesai. Ayo kami antar. Rumahmu dimana?” “Hah?” Ilona mengerjapkan mata, menatap ke arah pria itu lagi yang kini tengah tersenyum, seraya menatapnya. “Dimana rumahmu? Kami antar.” “Tidak! Tidak perlu. Rumahku, di sekitar sini. Aku bisa pulang sendiri. Lagipula kakiku tidak begitu sakit. Aku bisa berjalan sen—ah!” Ilona kembali meringis, ketika ia bangkit, sakit yang ada di kedua lututnya mulai terasa. Beruntunglah ia tidak terjatuh kembali. Pria itu menolongnya, menahan tubuhnya hingga membuat iris mata mereka kembali bertemu membuat degup jantung Ilona terasa lebih menggila lagi. “Terimakasih, tapi sungguh, aku baik-baik saja. Tadi hanya terkejut.” Ujar Ilona lagi. “Aku bisa sendiri.” lanjut Ilona diiringi dengan senyuman ditengah ringisannya. Sungguh dalam hatinya ia sangat ingin di antar oleh pria itu. Tapi ia tak mungkin melakukan itu. Jika Ayahnya tahu ia di antar laki-laki, apalagi laki-laki dewasa seperti pria itu. ia pasti akan di sidang habis-habisan, ia akan di marahi dan di ceramahi selama liburan. “Kenapa? Daddy bukan orang jahat.” ujar Mia. Ilona terdiam. Tak tahu harus beralasan seperti apa lagi, tak mungkin juga bukan ia mengatakan bahwa ia takut ayahnya marah? “Yasudah, kamu pulanglah. Kami akan melihatmu dari sini.” Putus pria tampan itu. Ilona mengangguk kemudian balik kanan, berjalan keluar dari padang rumput, ke arah rumahnya yang hanya berjarak dua ratus meter. “Sister, what’s your name?” tanya Mia setengah berteriak. Ilona berbalik kemudian tersenyum. “Ilona! Senang bertemu denganmu Mia dan—Daddy?” ... “Daddy?” Plak! “Aw! Ayah! Sakit.” ringis Ilona ketika lengannya di tepuk dengan sadisnya—cukup perih. Tapi Hazard tak peduli, pria paruh baya itu kini tersenyum pada sosok pria di depannya. “Maafkan anak saya Mr. Dalbert. Dia memang sedikit aneh, tapi saya bisa memastikan dia anak baik, dia juga cerdas dan penurut, saya jamin dia tidak akan membangkang anda.” Edward tersenyum tipis, kemudian meliriknya dengan tatapan dingin sebelum menatap Hazard lagi. “Jangan terlalu dipikirkan Mr. Hazard. Saya bisa maklum. Mari masuk.” Begitu ia masuk, ia bisa melihat potret keluarga, dimana di sana ada tiga orang dalam bingkai tersebut, dua orang laki-laki dan satu perempuan. Mansion itu pun terasa begitu nyaman, tampak begitu elegan, mewah, tapi tidak tampak berlebihan. “Mr. Dalbert ini Ilona, puteri saya yang ingin saya titipkan. Saya tidak tahu harus meminta bantuan siapa lagi. Jadi saya menghubungi anda.” Edward mengangguk kecil. “Jangan sungkan Mr. Hazard. Anda sudah begitu setia membantu saya, tentu saja saya tidak akan ragu membantu anda.” “Tentang putri anda.” Pria itu menatapnya, lagi-lagi dengan tatapan dingin, yang tampak sangat menyebalkan. “Saya pastikan dia akan berubah menjadi putri yang lebih penurut lagi.” Ilona menarik ujung bibirnya, memberikan senyuman pada pria itu. “Terdengar menarik.” Desisnya setengah berbisik. “Mr. Hazard bagaimana dengan peternakan? Sudah lama sekali saya tidak singgah ke sana. Saya senang mendengar peternakan anda sekarang jauh lebih maju.” Ilona mendengus mendengar pria itu tidak menanggapi ucapannya. Pria itu justru beralih berbicara dengan ayahnya. Membicarakan bisnis, kerja sama mereka. Tapi yang membuat Ilona heran, apakah pria itu tak mengenalnya? Apakah dia melupakannya? Padahal ia saja ingat. Tapi pria itu bertingkah seolah tak mengenalnya sama sekali. Ilona menghela nafas panjang kemudian menatap pria itu lagi dengan tatapan mata tajam, penuh tekad. Lihatlah, akan kupastikan kamu menjadi milikku, Daddy! Apapun caranya! *** Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD