Chapter 1- Brand New Day

2827 Words
Aku berhasil melewati ujian kelulusanku dengan baik. Namun, aku merasakan beberapa hal di dalam diriku. satu, aku sangat senang karena usahaku selama 12 tahun sekolah pun terbayar sudah, dan kedua aku sangat sedih karena aku harus berpisah dengan sahabat-sahabatku dan juga... Dikta. Hari wisudaku tiba, sedari pagi mama dan Delima, adikku sudah sibuk berias diri sejak fajar menyising. Sementara nenekku asik di dapur menyiapkan sarapan kami semua pagi ini lalu, papa sibuk membaca koran di meja makan. sedangkan aku masih merebahkan diriku di atas tempat tidurku sembari menggunakan jubah mandiku. "Kamu belum siap juga, Nad?" tanya seseorang membuyarkan lamunanku. Sosok mamaku sudah berdiri di depan pintu kamarku, ia mengeleng-gelengkan kepalanya seolah ia sedang menahan kesal. "Belum," ujarku, "Aku nggak ngerti caranya pakai kebaya dan aku nggak bisa make-up, Ma." Mama menghampiriku dan menyeretku untuk bangun dari tempat tidurku, lalu ia memaksaku duduk di depan meja rias. "Kamu tuh kapan si berubah jadi manis kaya anak perempuan umumnya?" dumal Mama, "Kamu tuh beda banget ya sama Delima adik kamu aja 15 tahun udah ngerti caranya jadi perempuan, kamu? Umur udah mau 18 tahun tapi nggak pernah gitu ngerti sedikit jadi perempuan itu gimana!" "Mama jangan samain aku sama Delima dong!" erangku, "Mama tahu sendiri aku emang nggak bakan bisa kaya Delima." Seorang gadis bertubuh tinggi sempai dengan di balut kebaya berwarna pink muda yang sangat pas ditubuhnya itu dengan rambutnya yang di tata model curly ia menghampiriku dan mama di dalam kamar. Gadis ini sekelilas mirip denganku kami sama-sama berkulit putih pucat, hanya yang membedakan kami berdua warna rambut, warna mata kami dan tinggi. Aku berambuh hitam dan warna mataku cokelat tua, sedangkan gadis ini berambut cokelat tua dengan warna matanya hitam. Lalu gadis ini tubuhnya tinggi langsing mirip model Victoria Secrect's, sedangkan aku bertubuh pendek dan mungil seperti anak sekolah dasar. "Kakak belum siap ya?" tanya gadis itu yang tak lain adikku, Delima. "Belum he-eh," jawabku sembari nyengir, "Aku kan nggak ngerti dandan, Del." "Sini aku bantuin!" tawar Delima seketika wajah mama terlihat nampak cerah. Yah anak ini selalu saja berhasil menarik perhantian Mama apa pun yang ia lakukan pasti akan selalu mendapat pujian dari mama berbeda denganku, apa yang aku lakukan belum tentu bisa membuat mama senang bahkan bisa membuat Mama marah. "Urus kakakmu!" perintah Mama sembar berjalan keambang pintu, "Mama udah cape sama kakakmu ini! Susah di atur." "Ya Ma, Mama siap-siap aja." Ujar Delima. Lalu Mama pun meninggalkan kami berdua. Sejenak keheningan mengampiri kami berdua, Delima asik memilah-milih alat make up apa saja yang di perlukanya sedangkan, aku hanya memperhatikanya dengan kebisuan. "Kakak, mau make up kaya gimana?" tanya Delima membuyarkan lamunanku. "Eh? Ah, yang biasa aja." jawabku gelagapan, "No menor-menor ya! Nanti aku di sangka tante-tante lagi atau mau jadi pemain lenong." "Oke!" jawab Delima. dengan cekatan Delima memoles wajahku dengan make up yang sudah ia siapkan, aku hanya bisa pasrah mungkin hari ini karena demi wisudaku sebenarnya aku sangat membenci berdandan seperti wanita. Ah, menyebalkan kenapa harus ada yang namanya wisuda seperti ini? Aku kan hanya lulus SMA kenapa sangat menyusahkan sekali. Bagaimana dengan di Universitas? Bagaimana saat aku menikah nanti? Apa lebih merepotkan lebih dari ini? "Ah, udah Kak!" seru Delima sembari menyelesaikan polesan lipstick merah muda ke bibirku. Seketika aku menatap kaca yang berada di depanku. Ini sungguh aku? "Ini aku bukan si?" Tanyaku. Delima mendekatkan wajahnya kearahku. "Iya ini Kakak, liat dong kita mirip." "Trims, Del!" ujarku sembari memeluk Delima. "Sama-sama Kak," Ujar Delima, "Awas! nanti make up kakak sama curly-an rambut Kakak rusak lagi duh." Aku melepaskan pelukanku dengan Delima. Ia tersenyum denganku. "Kamu memang Adikku yang paling baik!" Pujiku "Kakak berlebihan ah!" elak Delima, "Ayo, cepetan kak! udah mau jam tujuh ni kakak cepet pakai kebayanya terus kita berangkat ya-." "Sama siapa?" tanyaku atusius. Aku harap papa bisa menghadiri wisudaku kali ini. "Bertiga aja," Jawab Delima datar, "Aku, Mama, sama Kakak lah." "Papa?" "Seperti biasa." Tambah Delima. "Sibuk dengan kerjaan di kantor." Perasaan kesal menghampiriku, sebenarnya Papa itu sayang atau tidak si denganku? Kenapa dia semacam tidak pernah punya waktu untukku, mama apalagi dengan Delima? Papa menyebalkan! "Ah, selalu saja!" "Sudahlah Kak," ujar Delima, "Masih ada aku sama mama kok, yang nemenin Kakak wisuda nanti." ##### Aku tiba di sebuah gedung di bilangan jantung Jakarta, gedung ini sangat mewah ya mungkin selama aku sekolah setiap aku melewatinya, aku tidak pernah terpikir untuk masuk kegedung ini. Melihat gedung ini saja aku rasaya sedang bermimpi apalagi aku coba untuk masuk ke gedung ini? Taksi yang kami tumpangi berhenti di depan gedung mewah ini. Mama, dan Delima turun lebih awal. lalu Delima membantukku untuk turun dari taksi ini. Aku berjalan normal nyatanya ini cukup menyulitkan untukku karena aku menggunakan high heels yang tingginya kurang lebih 12 senti meter dan sama sekali tidak terbiasa. heels ini membuatku terlihat tinggi mungkin sama tingginya dengan Delima adikku. Delima dan mama berjalan meninggalkan aku sendiri di belakang mereka. Sepatu sialan selalu saja menyusahkan! Aku benar-benar tidak bisa menggunakan sepatu high heels kenapa mama selalu memaksaku menggunakan ini. Sialnya karena aku terburu-buru mengejar mama dan Delima aku pun menabrak seseorang. "Sorry.. sorry saya lagi-." "Nadia?" panggil seseorang. Aku mendongak kearah dari mana asal suara itu dan aku merasa saat ini aku bermimpi, aku melihat seorang malaikat jatuh kebumi untuk kesekian kalinya. "Dikta?" sahutku binggung, "Eh, maaf ya gue-." "Lain kali hati-hati," sela Dikta, "Gimana kalo tadi gue nggak pegangin elo? Mungkin elo udah jatuh kali ya?" "Maaf." Dikta membantuku yang nyaris jatuh ini berdiri tegak kembali. "Nggak apa-apa kok Nad, santai aja." Kami berdua terdiam. Mataku benar-benar tidak berkedip melihat Dikta yang ada di hadapanku ini, ia menggunakan stelan jas berwarna abu-abu lengkap dengan dasi kupu-kupu dengan warna senda. Rambut cokelat mudanya yang selalu nampak berantakan kini terlihat rapi dan kaku karena mengunnakan Gel rambut agar terlihat kaku. "Nadia!" seru Dikta membuyarkan lamunanku. "He-eh waeyeo?" jawabku spontan. Aish babo babo! Kenapa aku mengucapkan bahasa Korea yang sama sekali tidak ia mengerti? "Lo barusan ngomong apaan si?" "He-eh maaf gue lupa lo kan mana ngerti bahasa Korea ya?" ujarku, "Maksudku tadi kenapa." "Oh," Dikta membuat huruf o yang sempurna dengan bibirnya yang penuh itu, "Nggak apa-apa si cuman bingung aja." "Dateng sama siapa?" aku pun mengalikan topik pembicaraan kami. "Sama Ibu gue sama siapa lagi?" jawabnya, "Elo?" "Sama" ujarku, "Ditambah sama Delima deng." "Gadis Cerewet itu datang juga?" tanya Dikta nampak tertarik, "Gue pikir dia nggak akan datang. Bukannya, kemarin dia menolak tawaran Bu Ajeng buat ngisi acara di wisuda kita?" "Mungkin... dia mau nemenin Mama," ujarku santai, "You know lah, Papaku kan selalu sibuk." Seketika Dikta terdiam. Ia memandangiku sangat lama, ketika kedua mata kami beradu pandang. aku merasakan detak jatungku begitu lebih cepat dari biasanya. "Lo cantik," kata Dikta sembari mengelus poniku, "Coba lo setiap hari kaya gini, Nadia." Sontak pipiku terasa sangat panas. Apa yang ia katakan barusan? Aku cantik? Aku mimpi nggak si? Tunggu, dia berbicara aku kamu denganku? Ini pasti cuman mimpi. "M-m-m- makasih ya!" sahutku gelagapan. "Sama-sama!" balasnya, "Btw, gue duluan ya nggak enak ibu gue udah di dalam dari tadi." Dan Dikta pun berbalik arah, ia berjalan meninggalkanku sendirian di depan gedung ini. Aku terus memandangi kepergiannya.  ##### Acara dimulai tepat pukul sembilan. Aku mengambil posis duduk di paling depan dan kedua mataku melirik seseorang di sampingku yang baru datang. Ternyata itu Bobby. Aku bersyukur di sampingku adalah dia bukan orang lain kalau, seandainya di sampingku adalah salah satu dari gadis-gadis populer di sekolah mungkin habis aku menjadi bahan ejekannya karena tadi pagi aku nyaris terjatuh karena menggunakan sepatu high heels sialan ini. "Cie banget yang pake heels!" ledek Bobby di tengah-tengah acara. Perasaan jengkel langsung menghampiriku. "Bawel!" bentakku. Dan suaraku sukses membuat semua orang mengalihkan pandangan kerarahku. Perasaan malu menyelimuti. Ottoke ini memalukan -_- memalukan! "Sssttt! Diam Nad jangan teriak-teriak." Bobby langsung membekap mulutku dengan kedua tanganya yang besar itu. "Bentar lagi pengumuman nilai tertinggi ni." Aku berusaha melepaskan tangan besaranya dari mulutku. "Lepasin! Aduh! Nggak bisa napas tolong!" "Berisik deh!" dumal seseorang dari belakang, aku dan Bobby langsung menoleh kearah belakang terlihat seorang pria pendek menggunakan stelan jas berwarna hitam memandangi kami berdua dengan tatapan kesal. "Eh, Fatir!" ujarku spontan, "Udah lama ya datengnya? He-eh kok nggak ngeliat ya tadi?" "Banget!" katanya ketus, "Bahkan, dari lo yang janjinya mau dateng pagi-pagi, Nadia!" "Maaf," Ujarku. "Tadi... ada urusan dulu he-eh." "Udah sana balik lagi kedepan!" perintah Fatir, "Kalo, lo lama-lama liatin gue... lo nanti jadi naksir gue lagi" sial! Apa-apaan si -_- Nggak ada ceritanya aku naksir bodyguartku sendiri ogah ogah banget! Iyuh "Idih ge-er!" cibirku. Aku berbalik arah depan. Dan tibalah pengumanan lulusan terbaik. Seketika aku pun langsung berpikir, pasti Dikta akan mendapatkannya. Saat kepala sekolahku mengumumkannya jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Dan saat nama Dikta di panggil... "What? Dia beneran dapet?" gumamku nampak tak percaya. Benar-benar ia pria yang sempurna pantas saja banyak adik kelas yang mengidolaknya bahkan berharap menjadi seorang yang special untuknya dan salah satu dari kumpulan gadis populer di sekolah pun juga banyak yang berharap denganya. "Cie... Nadia!" ledek Bobby yang ada di sampingku, "Aduh disenyumin, tapi itu senyumnya buat elo apa buat Shelly ya?" Seketika pipiku terasa panas membara astaga Bobby menyebalkan! Tepuk tanga bergema di seisi gedung ini. Kedua mataku tak lepas saat aku melihat Dikta berjalan menuju depan panggung. Pandangan kami pun kembali bertemu, lalu sampai di atas panggung itu ia meleparkan senyumanya entah untuk siapa dan aku yakin itu bukan untukku mungkin untuk ibunya atau mungkin untuk Shelly si gadis populer di sekolahku yang berusah mendekati Dikta sejak kami duduk di kelas sepuluh SMA. -- Acara telah usai. Aku melirik jam tanganku. Astaga jam empat sore? Jadi berapa lama aku menghabiskan waktuku di dalam ruangan terkutuk itu? astaga, benar saja memang semua pesta itu selalu menyusahkan dan menghabiskan waktu saja! Aku berjalan keluar dari ruangan ini, sembari berjalan dengan pelahan dan menjaga seimbanganku kedua mataku berputar mencari sosok mama dan Delima di kerumunan orang-orang yang berbondong-bondong keluar dari ruangan ini namun bukan sosok mama dan Delima yang aku temui tapi.... "Nadia!" seru Dikta sembari menghampiriku. "Oh! Hai, Dik," sahutku, "Kenapa?" Ia menarik tangan kananku. "Ayo, ikut gue!" "Mau ke--.” belum selesai aku mengatakannya ia berlari sembari menyeretku. Aku cukup kesulitan mengimbangi larinya karena aku menggunakan sepatu high heels sialan ini. ia membawaku kedalam lift. Ini dia mau membawaku kemana si? "Kenapa naik lift?" tanyaku ragu, "Lo udah--." "Gue tadi minta izin ke satpam gedung ini," potong Dikta, "Tenang, Gue nggak akan ngapa-ngapain kok cuman mau nunjukin sesuatu aja sama elo." Lift berhenti di lantai 25 gedung ini. kami berdua turun dan Dikta kembali menarik tangan kananku. ya! Menyebalkan kenapa ia seperti ingin meremukan tulangku saja. "Kita mau ngapain si?" "Satu lantai lagi, Nad," sahut Dikta, "Ayo, kita naik!" Dikta mulai menaiki anak tangga aku hanya mengikutinya dari belakang, tangga darurat ini sangat gelap seketika perasaan takut menghampiriku. "Dik," panggilku. "Kenapa? elo takut gelap ya?" goda Dikta. Dan ia menghentikan langkahnya dan terdengan suara sebuah pintu terbuka. Cahaya terang pun menghampiri lalu Dikta pun langsung membantuk menaik anak tangga terakhir tangga ini. "Kita sampai!" ujar Dikta riang. Dengan refleks kedua mataku melirik kesemua arah tempat ini. Ini nampak seperti sebuah atap gedung. Terlihat langit sore kota Jakarta nampak cantik aku belum pernah melihat langit secantik ini selama 17 tahun hidupku. "Kita mau ngapain si?" tanyaku lagi, "Kenapa harus naik keatap gedung segala?" "Gue penasaran aja," jawab Dikta, "Kata orang, melihat matahari terbenam di atas gedung itu asik. Dan akhirnya gue kesampaian juga melihatnya he-eh. Selama, 18 tahun aku hidup aku nggak pernah ngeliat matahari tenggelam dari atas gedung." Ia pun tersenyum riang dan terlihat seperti seorang anak berusia lima tahun yang sangat senang karena ia mendapatkan sebuah hadiah. Yah! Orang ini dibalik kharismanya dan ketampannya ternyata ia punya sisi kekanak-kanakan juga ya? Dasar aneh ya memang kamu aneh si. aku memandangi Dikta yang berdiri di sampingku dengan saksama. Astaga.. kenapa aku baru sadar semakin lama dia semakin tampan? Dan benar, dia memang benar-benar mirip seperti malaikat. "Nadia," panggil Dikta. "I-i-iya," jawabku gelagapan, "Kenapa, Dik?" Dikta mengalihkan pandanganya, kini kami saling berpandangan. Wajah Dikta terasa begitu dekat denganku. Astaga, selama tiga tahun aku baru kali ini bisa memandangi wajahnya yang rupawan ini sedekat ini. "Coba liat deh!" perintahnya sembari menujuk sesuatu. Kedua mataku mengikuti arah jari telujuknya yang menunjuk sesuatu. Terlihat matahari berwarna Orange yang sangat besar seketika warna langit pun berubah menjadi jingga khas matahari akan terbenam. Benar-benar suasana sore yang romantis mirip dengan dengan drama-drama Korea yang sering aku dan Delima lihat. "Cantik ya?" ujarnya. "Iya." "Sama cantiknya kaya lo," tambah Dikta. Kini,  pipiku terasa sangat panas benar-benar panas dan aliran darahku terasa lebih cepat dari sebelumnya. Astaga dia kenapa si? Kenapa ia terus memujiku? kenapa Dikta menjadi aneh seperti ini? Apa dia terkena sindrom shock karena dia berhasil masuk tiga terbaik di sekolahku? Atau tadi siang dia salah makan? Atau dia benar-benar sedang mengigau hari ini? "Bisaan aja deh lo!" elakku, "Gue nggak ada apa-apanya di banding sama para  Angel's Victoria Secret's." "Tapi, lo itu angel-nya semua orang!" puji Dikta, "Lo itu... seorang malaikat yang memberikan kebahagiaan untuk semua orang, Pipi Tomat." Keheningan menghampiri kami berdua. Astaga aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa. ia memujiku? Atau ia sedang bercanda denganku seperti biasanya? Tidak, mana mungkin dia akan memujiku. Aku kalah cantik dengan parah juniorku yang selalu mengejar-ngejar Dikta atau mungkin aku kalah cantik dengan Shelly teman satu angkatanku yang selalu mengejar-ngejar Dikta. "Nadia," panggil Dikta lagi. "Ya?" "Lo, rencana mau kuliah dimana?" tanya Dikta, "Mau ambil jurusan apa? Ah, sebenernya udah lama gue mau nanya kaya gini sama lo tapi guenya nggak sempat. Bahkan setelah kita daftar ujian kemarin di ruang BK gue lupa nanyain hal ini sama lo, Nad." "Mungkin tetep di Jakarta aja. gue kan nggak boleh jauh-jauh sama Papa," jawabku, "Jurusan? Mungkin kedokteran tapi, entahlah Papa sepertinya nggak akan setuju. gue sangat harap ada sebuah keajaiban dari tuhan yang bisa merubah mind set Papa." Kedua mata cokelat muda milik Dikta menerjap. "Sungguh? Jadi lo serius mau masuk kedokteran?" Aku mengangguk khidmat. "Ya. gue bener-bener mau mengwujudkan impian masa kecil gue. Ya lo tahulah, gue ini nggak mau kerja jadi orang kantoran dan lebih kepengen kerja di bidang sosial yang suka menolong orang. Jadi, gue tetep bulat sama keputusan gue dulu waktu kelas sepuluh. gue mau jadi seorang dokter yang selalu menolong orang apa pun halanganya. Walau, sekalipun Papa mau setuju atau tidak." "Hebat!" puji Dikta, "Semangat ya... Bu Dokter! gue doain semoga Papa lo akan setuju dengan keputusan lo." Aku tersenyum. "Makasih ya!" Dikta berdiri di depanku. ia langsung memelukku dengan erat. Astaga rasanya jantung mau menloncat dari tempatnya semula. "Sama-sama, Nadia," Ujarnya, desah napasnya begitu  terasa di puncak kepalaku. Yatuhan, aku kalau ini mimpi aku harap aku tidak pernah bangun. "Btw, Kalo lo--." "Mungkin," potong Dikta, "Gue bakalan nerusin kuliah di luar kota." "Serius?" tanyaku tak percata. Ia melepaskan pelukanya. "Ya, kemungkinan besar... tapi entahlah. Mungkin gue bakal kuliah di Bogor atau di mana lah. Tergantung nanti test di terima nanti lah. Terlalu banyak impian yang gue punya, Nad." Kedua mataku mulai terasa perih. berarti aku harus... berpisah dengan sahabatku ini? Ya tuhan siapa lagi yang bisa menjagaku? Siapa pria yang bisa ku percaya lagi?  "Oh, sukses ya!" "Lo juga," Ia tersenyum, "calon Bu Dokter!" Keheningan kembali menghampiri kami berdua. Kami saling berpandangan lama. seketika aku ingin mengatakan sesuatu tapi... lidahku terasa kelu untuk mengatakanya. Mengatakan... aku mencintainya. "Ayo, kita turun," ujar Dikta, "Pasti Mama lo sama Delima udah sibuk nyariin lo." "Ayo!" ajakku. Dikta mengengam tanganku dengan erat. Astaga, selama tiga tahun aku bersahabat dengannya ia belum pernah melakukan ini denganku. bahakan, saat aku hanya jalan-jalan menghabiskan waktuku denganya berdua. "Maaf ya, udah nyulik lo," kata Dikta tiba-tiba. "Kalo, lo bikin mama sama Delima panik." Aku menatap wajahnya, "Lo pantas gue laporin ke polisi!" "He-eh." Dikta tertawa renyah,"Memangnya gue nyulik elo dan minta tembusan gitu sampai harus di laporkan ke polisi?" Susana kembali hening. Kami berdua berjalan meninggalkan tempat ini berjalan menuruni anak tangga kembali dan tiba-tiba Dikta menghentikan langkahnya saat ingin menuruni anak tangga terkahir tangga ini. Dan ia membalikan tubuhnya. Kini tubuh kami saling berhadapan. "Nadia," panggilnya. "Kenapa?" sahutku. "Berjanjilah..." ujarnya, "Berjanjilah sejauh apa pun jarak yang akan memisahkan kita berdua, jangan sekali pun lo melupakan semuanya... tentang kita." Aku terdiam. Astaga kenapa tiba-tiba berbicara seperti ini? Kini wajah kami berdua sangat dekat mungkin hanya tinggal sejengkal. Desah napas Dikta begitu terasa seperti menyapu wajahku. Sedetik kemudian ia mendaratkan bibir penuhnya itu kearah bibir tipisku. Seketika aku merasakan pipiku sangat amat panas seperti terbakar oleh api, aliran darahku mengalir lebih cepat, jantungku terasa berdetak tak beraturan, perutku sangat mual juga perasan-perasaan aneh lainnya. Setelah menciumku cukup lama ia pun langsung menjauhkan wajahnya dari wajahku. "Maaf," ujarnya Butuh waktu sepersekian detik untuk menyadari apa yang barusan terjadi. Sungguh? Aku harap ini hanya mimpi. Mana mungkin Dikta... menciumku tidak. Ini pasti hanya mimpi aku pasti bermimpi kan? Jika ini sebuah mimpi aku berharap aku tidak akan pernah bangun dari mimpi indah ini. Aku mimpikan? Mana mungkin pria sepoupler Dikta... *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD