#2

1189 Words
“Apa lo bilang?” Kirman mengerjap berkali-kali. Aku memutar bola mata dengan jengah. Aku sudah membuang lima belas menitku untuk mengulang lagi tujuanku ke sini. “Gue mau ganti gaya rambut sekalian minta di-make up natural ala Korea.” “Bukan. Bukan yang itu. Yang sebelumnya.” Kirman menggeleng kuat. “Lo bisa bikin gaya rambut Lisa Blackpink?” “Sebelumnya lagi.” Aku berpikir sejenak. “Lo ada janji sama pelanggan?” “Kelewatan, mundur sedikit.” “Gue butuh bantuan lo?” Aku bingung sendiri. Kirman menggerakan tangan kanannya. “Terus...” “Gue mau berburu sugar daddy?” “Nah! Itu!” Kirman berteriak histeris. “Lo gila?” Dia bertanya dengan pengendalian diri yang sudah kembali. “Nggak.” Aku terkekeh. “Gue merasa sangat sadar saat membuat keputusan ini. Gue siap mencicip pengalaman baru.” “Pengalaman baru yang terlarang,” ralat Kirman. Kedua tangannya menyilang di depan d**a, sikapnya setiap kali menyangkal ide orang lain. Aku sudah berteman dengan Kirman sejak SD dan mengenal dengan baik pria ini sebagai seseorang yang bertingkah dingin aslinya hangat. Kamu paham dong tipe cowok begini. Casing kulkas, isinya magicom. “Kasih tahu gue rencana dan biar gue putuskan mau bantu atau nggak,” kata Kirman sembari duduk di salah satu kursi salon. Aku memilih mengistirahatkan b****g pada sofa usang yang umurnya lebih tua dari umur Kirman. Aku pernah melihat album foto Tante Lastri, ibu Kirman, semasa muda di salon ini. Satu-satunya yang membuatku tahu Tante Lastri mengambil potret di salon ini adalah sofa macan tutul bentul L yang sama dengan yang aku duduki kini. Betapa awetnya, nilaiku saat itu. Sekarang, aku pikir Kirman butuh mengganti sofanya. Sofa macan tutul ini nggak lagi empuk dan setiap duduk, bokongku sering merasakan kayu rangkanya menusuk. “Seberapa besar potensi lo bantu gue?” tanyaku. “Sekarang lima persen karena gue kasihan. Gue harap rencana lo cukup hebat untuk meraih tambahan tujuh puluh persen.” “Gue pikir gue butuh sembilan puluh lima persen agar potensi lo bulat seratus persen membantu gue,” godaku. “Nggak akan karena target lo berbahaya.” “Apa salahnya dengan sugar daddy?” Aku melenguh. Kirman berdesis sambil melirik pintu penghubung salon dan rumahnya. “Nyokap di rumah. Kalau lo mau rencana sugar daddy sampai ke telinga Bu Siti, silakan saja ngomong keras-keras.” Aku mengangkat tangan. “Jangan. Gue masih butuh tempat tinggal sekaligus kantor tanpa biaya sewa,” kataku pasrah. “Oke, lanjut ke rencana lo.” “Gue mau ke kafe yang biasa didatangi esmud di Jakarta dan tentu saja gue butuh penampilan wah biar mereka terkesan. Sasaran gue adalah om ganteng berdompet tebal.” “Gimana kalau dompetnya berisi kondom?” tantang Kirman. “Gue akan menjerit dengan suara menggemaskan, lalu membuka kaki gue suka rela.” Aku mengerling nakal. “Lo kehilangan lima puluh persen. Potensi lo sekarang minus empat puluh lima dan lo akan tereliminasi,” kata Kirman serius. “Oh, jangan. Tadi becanda. Kita fokus.” aku berdehem, lalu melanjutkan, “Gue akan ajak kenalan, pedekate, dan kencan. Makan malam mewah. Lo tahu gue nggak pernah makan malam di restoran. Restoran sesungguhnya, bukan restoran cepat saji yang bayarnya pakai e-voucher hadiah dari Line.” “Cukup menggugah. Potensi lo naik sepuluh persen.” Aku tersenyum girang. Jangan kehilangan kesempatan meyakinkan Kirman. Bagaimana pun dia punya kunci agar aku bisa masuk dalam pergaulan sugar daddy, yaitu penampilan. “Gue ingin hubungan dewasa. Maksudnya bukan sesuatu tentang k****t dan sempak. Gue butuh sosok dewasa. Seseorang yang akan menenangkan gue saat kalut tapi tetap berpikir rasional dan mengingatkan gue seandainya salah. Juga memberikan gue masukan positif. Seseorang yang bisa diajak berbagi dan mencari solusi, bukannya dapat untuk merengek dan meminta dukungan untuk pikiran kekanakannya. Gue capek terus-terusan berusaha memahami Raffi-sialannya-bukan-Ahmad yang nggak pernah berhenti mengeluhkan banyak hal dan akan marah kalau gue menentang pikirannya,” kataku. “Ya, gue ingat gimana lo ikut-ikutan frustasi saat Raffi pertama kali kerja di Bank Kusma. Padahal gue sudah bilang kalau Raffi itu nggak punya mental laki karena selalu mengeluhkan pekerjaannya ke lo. Oke, potensi lo naik dua puluh persen.” Mari meneruskan presentasi ‘Kirman sepatutnya menolong Milla’. “Selain itu gue harus punya pengalaman lebih banyak dengan cowok agar gue nggak lagi-lagi dibodohi seperti pengalaman gue bersama Raffi-“ “Sialannya bukan Ahmad,” potong Kirman. Aku tersenyum lebar menanggapi. Menurutku, separuh perempuan lajang mengharapkan Raffi Ahmad sebagai pasangan karena kemampuan finansialnya yang mencengangkan. Aku jelas nggak mau menampik uang Raffi Ahmad menggiurkan dan dia punya pesona Paman Gober. “Sebenarnya gue kurang setuju menjadikan putusnya hubungan lo dan Raffi sebagai kesempatan bermain dengan banyak cowok. Gue menolak menambah potensi lo.” “Man, Raffi pacar pertama gue dan dia juga yang buat gue merasakan kondisi hati seperti sekarang tanpa gue paham apa yang harus gue lakukan.” Aku melempar pendapat dasar. “Lo bisa nangis kalau lo mau.” Kirman mengangkat bahu dengan lagak acuh tak acuh. “Sayangnya, gue tahu lo kritis dan cukup rasional buat membuang tenaga demi cowok bego itu.” Aku menggeleng sekali. Kirman memang melihat apa yang ingin aku tunjukan. Dia hanya belum melihat apa yang bersembunyi di balik sikap tenangku. Aku benar-benar berantakan dan butuh membangun kepercayaan diri. Setelah diam cukup lama, akhirnya aku memutuskan memberi tahu rahasia kecilku. Rahasia seumur hidupku. “Bokap gue pacar pertama nyokap, asal lo tahu.” Kirman diam menyimak. Dia memberiku ruang berbicara tanpa bantahan dan aku berbicara lagi. “Ketika nyokap tahu bokap ada main sama teman sekolahnya, nyokap benar-benar hancur. Sejak itu, nyokap gue berubah. Dia nggak lagi memercayai bokap walau bokap sudah berjanji akan setia. Lo tahu, itu yang dihadapi cewek begitu mereka nggak punya pengalaman dalam berhubungan. Semua sudah terlalu terlambat buat nyokap gue putar langkah dan mengulang segalanya karena mereka sudah menikah. Dan...” aku menarik napas, mengumpulkan tenaga agar kuat melanjutkan. “Ya, intinya nyokap gue nggak siap dan nggak tahu harus berbuat apa.” Kirman menganga, jelas-jelas tampak terpana pada ceritaku dan kehilangan kata-kata. “Gue nggak bisa menjadi nyokap kedua, Man,” kataku frustasi menutup cerita itu. “Oke.” Kami diam. Suara detak jarum jam mengisi kekosongan. Aku mengatur napas dan sedikit mendongakan kepala demi menghalangi air mata yang menggenang di pelupuk. “Lo mencapai sembilan puluh persen.” Aku menjerit girang. “Lo yakin?” “Lo tetap nggak mencapai seratus persen.” Kirman menekankan. “Semua tergantung sikap lo selama proses. Gue akan suka rela berhenti membantu saat gue melihat lo punya gelagat berlebihan.” “Terserah deh. Yang penting gue bersyukur sekarang. Gimana kita mulai?” aku terlalu bersemangat untuk mendengar term and conditions bantuan Kirman. Aku sudah nggak sabar memulai debutku sebagai sugar baby. “Apa kostum lo dalam perburuan?” Aku mengeluarkan isi dalam tas eco yang kubawa. Satu kardigan warna pink, celana jeans skinny, dan tanktop berleher rendah yang diberikan Aura. “Kostum Bu Lastri lebih baik dari kostum perburuan lo,” komentar Kirman sambil tersenyum meremehkan. Lihat, belum apa-apa Kirman sudah menunjukan potensinya sebagai pengarah gaya Milla si pemburu sugar daddy. Sugar daddy, di mana pun kamu sekarang, hati-hati pada pesonaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD