Putus Asa

1158 Words
Aku berada di atap gedung kantorku, menatap ke bawah dengan wajah sendu. Rasanya aku ingin berteriak dengan kencang. Dadaku benar-benar sesak. Air mataku rasanya ingin mengalir. Hatiku begitu hampa. Kalau aku loncat, pasti aku tidak akan merasakan sakit atau tekanan apapun lagi. Pasti aku tidak akan bertemu dengan orang-orang yang berekspektasi lebih dari diriku. Pasti aku akan terbebas dari tuntutan orang-orang terdekatku. Tapi aku tidak punya nyali untuk melakukan hal itu. Melarikan diri pun pasti akan ada konsekuensi yang ku dapatkan. Ini bukan jalan untuk menyelesaikan masalah. Entah apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bisa membayangkan adegan dramatis diriku yang berteriak sambil menangis tersedu. Aku tidak bisa benar-benar melakukan hal itu. Aku tidak ingin menarik perhatian. Orang-orang nanti akan bertanya kenapa, tanpa bisa membantu. Mungkin sebagian akan menganggapku gila. Aku tidak boleh mengeluarkan emosiku disini. Semuanya harus kusimpan, ku telan sendiri. Tidak akan ada yang mengerti betapa kacaunya hidupku. Seandainya saja ada yang bisa menolongku, mengambil separuh saja dari beban ku, mungkin aku bisa sedikit bernapas. Perlahan aku melangkah untuk meninggalkan atap gedung. Aku harus kembali ke ruangan kerjaku. Masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan. Masih banyak cacian yang harus aku terima. *** "Alyka! Kesini kamu!" Senior akuntansi yang duduk di sampingku memanggilku dengan nada tinggi. Tatapan matanya tajam. Aku hanya memberikan muka datar. Pasti lagi-lagi ia menemukan kesalahanku. Aku segera bangkit dari tempat dudukku, lalu berdiri di samping Mbak Selly. Ia masih duduk di kursi putarnya, dan memutar kursi itu agar ia bisa melihatku dengan pelototannya yang mengerikan. "Kenapa kamu membuat kesalahan saat menjurnal? Kamu tahu kan, kita sudah tutup buku? Kesalahan kamu itu tidak bisa diperbaiki lagi, tahu!" Ia membentak ku dengan suara lantangnya. Di hadapan semua orang yang ada di ruangan itu. Sepuluh orang yang ada disana seperti biasa, pura-pura tidak mendengar dan sok fokus dengan pekerjaan mereka. Tidak akan ada yang membelaku meskipun aku selalu berharap. Mereka tidak punya kuasa untuk melakukan hal itu. "Maaf Mbak..." hanya itu yang bisa aku katakan. Aku melihat ke lantai karena malu dengan para rekan kerjaku, dan juga sambil memikirkan kesalahanku. Padahal aku sudah berusaha untuk tidak membuat kesalahan, tapi selalu saja aku ditakdirkan untuk salah. Aku merasa sangat frustasi dan kecewa pada diri sendiri. Aku sedih karena akan menyusahkan Mbak Selly dan atasanku karena kesalahanku. "Kamu enak minta maaf. Tapi nanti yang dimarahi oleh Bu Tyas dan orang pusat itu aku! Karena mereka tahunya aku sudah mengecek semuanya. Tapi coba kamu pikirkan, apa aku punya waktu untuk mengecek semua pekerjaan kamu? Sedangkan aku juga punya tugas sendiri. Lagipula kalau aku mengecek semua pekerjaanmu, untuk apa kamu bekerja disini? Lebih baik aku saja yang mengerjakan! Karena saat mengecek pekerjaanmu itu sama seperti aku sedang mengerjakan!" Aku hanya bisa diam sambil mendengar omelannya. Rasanya ingin balik marah, tapi aku tidak punya alasan untuk membela diri. Karena semua yang ia katakan itu benar. Segala kesalahan yang aku buat, Mbak Selly yang akan menanggung. Atasan ataupun pihak dari kantor pusat tidak akan langsung memarahiku. "Hah...!!!" Mbak Selly menghela napas kesal, "memang jurnal sebenarnya bisa diperbaiki. Tapi kalau sudah tutup buku harus pakai jurnal penyesuaian. Nanti kalau terlalu banyak penyesuaian, tim accounting yang akan mendapatkan nilai buruk dari auditor. Dan kalau kita mendapatkan nilai yang buruk dari auditor, tentu kita juga akan mendapatkan nilai yang buruk dari perusahaan. Dan bonus kita juga akan berpengaruh!" Sekarang aku mengerti. Ia memaki-maki ku di ruangan Finance dan Accounting ini, di hadapan seluruh karyawan dalam divisi ini, bukan hanya karena takut disalahkan atasan dan orang pusat, tapi juga takut jumlah bonus yang ia dapatkan tidak banyak. Kalau dipikir-pikir lagi, aku sering membuat kesalahan karena Mbak Selly tidak mau mengajariku dengan baik. Ia hanya menjelaskan sekilas, lalu langsung menyuruhku mengerjakan pekerjaanku di saat aku masih belum mengerti cara kerja di perusahaan ini. Di saat aku bertanya kepadanya, maka ia akan marah dan bilang ia sudah menjelaskannya kepadaku. Aku tidak mengerti bagaimana cara untuk berkomunikasi dengannya. "Ya sudah, kembali kamu sana!" Mbak Selly mengusirku masih dengan nada ketus. Tatapannya masih dipenuhi amarah. Aku segera menuruti perkataannya, dan membiarkan dia memperbaiki kesalahanku. *** Hari ini aku harus lembur lagi. Aku tidak bisa pulang sebelum Mbak Selly pulang. Aku ingat saat hari ketiga aku bekerja disini dan aku bilang mau pulang karena sudah jam pulang, ia mengataiku tidak beretika. Ia ingin semua pekerjaan selesai sebelum pulang, tak peduli walaupun harus pulang malam setiap harinya. Dan aku sebagai anggota timnya, mau tak mau harus mengikuti ambisinya itu. Perutku terasa sangat pedih sekali. Aku menderita asam lambung dan tidak bisa terlambat makan. Tapi kalau aku bilang itu ke Mbak Selly, pasti ia akan mengatakan kalau aku hanya cari-cari alasan supaya bisa pulang cepat dan membiarkannya menyelesaikan semua pekerjaan sendirian. Lebih baik aku diam saja. Aku sudah begitu benci dengan orang itu. Dan aku tidak sudi untuk banyak bicara dengan orang yang ku benci. Asam yang berasal dari lambungku tidak hanya membuat perutku pedih, bahkan rasanya punggungku pun juga terkena asam itu. Rasanya sakit dan pedih sekali. Aku merasa begitu tak nyaman. Mungkin seharusnya aku tidak bekerja. Kepalaku pusing dan tubuhku terasa lemas. Tapi aku masih memaksakan diri untuk bekerja karena Mbak Selly masih fokus menatap monitor komputernya. Hanya ada kami berdua di ruangan itu sekarang. Aku benci ruangan ini, aku benci kantor ini, aku benci semua orang yang ada disini, aku benci pekerjaanku. Aku kelelahan dan semakin tidak bisa berkonsentrasi. Mungkin besok Mbak Selly akan menemukan kesalahanku lagi. *** Masih pagi dan kedua orang tua ku sudah adu mulut. Segala macam u*****n keluar dari mulut mereka. Aku mengerang kesal dengan suara kecil, di usiaku yang sudah menginjak usia 27 tahun pun orang tuaku membuatku seperti anak broken home. Mereka dari dulu tidak mau berubah. Tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada yang mau menjadi istri yang baik atau suami yang baik. Keduanya merasa yang paling benar. Anak-anak mereka tidak akan mereka dengarkan. Terkadang aku merasa sepertinya lebih baik mereka berpisah saja. Tapi mereka bukanlah orang yang mau terlibat dengan proses perceraian di persidangan yang sepertinya memakan waktu panjang. Ibuku hanya ingin ayahku pergi meninggalkan rumah. Membiarkannya hidup damai dengan kami, anak-anaknya. Sementara ayahku tidak pernah mau meninggalkan rumah. Ia pasti malas untuk tinggal sendirian. Ia keras kepala tapi ia juga butuh keluarganya yang ia jadikan tempat untuk pulang. Ayah dan ibuku sudah bertahun-tahun pisah ranjang. Sudah bertahun-tahun terlibat perkelahian. Sudah bertahun-tahun membuatku mati rasa di rumah. Aku pikir untuk memecahkan masalah keluarga ini adalah dengan cara membeli rumah untuk kami, rumah yang layak. Karena selama ini kami hanya tinggal di kontrakan yang bisa kubilang kumuh. Mungkin kalau kami tinggal di rumah yang sedikit bagus, hati kedua orang tua ku tidak sempit lagi. Mungkin mereka akan bisa sedikit lebih tenang. Tapi nyatanya, kebencian di hati mereka sudah berkarat. Tidak ada yang bisa membuat mereka damai. Aku membiarkan adik laki-lakiku melerai kedua orang tuaku sendirian. Ia meminta kedua orang tua ku untuk menyudahi pertikaian mereka. Tapi mereka berdua masih berteriak saling mengumpat satu sama lain. Entah kapan ini semua akan berakhir. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD