Resign

1394 Words
Vanya Semangat ya tulang punggung keluarga ^⁠_⁠^ Jaga kesehatan jgn sakit Alyka so sweet banget sih Vanya jadi terhura ಡ⁠ ͜⁠ ⁠ʖ⁠ ⁠ಡ Vanya Iya kasian soalnya gak ada yg perhatiin Jd pura2 perhatian aja ✧⁠◝⁠(⁠⁰⁠▿⁠⁰⁠)⁠◜⁠✧ Alyka Wkwk gpp walaupun cuma pura2 (⁠*⁠´⁠ω⁠`⁠*⁠) Vanya menjadi orang yang baru-baru ini aku tetapkan sebagai sahabat nomor satu ku. Bagaimana tidak? Kami saling curhat-curhatan setiap hari. Kami berkirim pesan saling menguatkan, tapi lebih ke menertawakan satu sama lain. Kalau ada yang menertawakan masalah ku, entah mengapa aku merasa masalah itu jadi tidak ada apa-apanya. Masalah berat itu lebih baik ditertawakan saja. Hari ini lagi-lagi aku menceritakan keluh kesah ku tentang Mbak Selly kepada Vanya. Dia menghujat Mbak Selly yang sudah keterlaluan kepadaku dengan cara yang lucu, membuatku terpingkal membaca pesannya. Bagaimana kalau tidak ada Vanya? Mungkin aku sudah gila memendam masalahku sendirian. Vanya adalah anugerah dari Tuhan yang begitu berarti untuk ku. Kami dulunya adalah rekan kerja. Tapi sangat disayangkan ia terkena PHK karena ada pengurangan karyawan di tempat kerjaku yang lama. Sekitar setahun setelah Vanya di PHK, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan itu. Meski kami sudah tidak bekerja di tempat yang sama lagi, tapi kami masih sering berkomunikasi bahkan sering bertemu di mall atau tempat makan. Ia dengan ajaibnya bisa menggantikan posisi sahabatku dari SMA, yang sudah sibuk dengan urusan masing-masing dan sangat susah untuk diajak bertemu. Memang sudah saatnya aku memiliki sahabat baru. Aku harap aku dan Vanya akan terus bersahabat selamanya. *** Sudah hampir jam pulang kantor. Beberapa karyawan sudah mulai bersiap-siap untuk pulang. Tapi tidak dengan tim accounting. Kali ini, lagi-lagi aku dimarahi. Sungguh sangat tidak masuk logika, kesalahan accounting lama dilimpahkan kepadaku. Aku dituding tidak teliti terhadap pekerjaanku, padahal aku hanyalah karyawan baru yang masih beradaptasi dengan kekacauan yang telah terjadi bertahun-tahun di divisi accounting ini. Aku bisa merasakan asam bergejolak di dalam perutku. Membuatku tidak bisa membantah perkataan Mbak Selly. Aku sibuk menahan rasa sakit, dan membiarkan Mbak Selly terus mengomel. Rasanya aku sudah tak tahan lagi. Aku sudah memikirkan ini sejak beberapa hari setelah aku bekerja disini. Dan sekarang aku yakin, aku harus meninggalkan pekerjaan ini. Perusahaan ini terlalu toxic untukku. Tenagaku diperas habis-habisan tapi tidak dibayar lembur. Mentalku di hancurkan, dipermalukan di hadapan banyak orang. Aku merasa trauma setiap kali harus menginjakkan kaki ke kantor ini. Bahkan aku jadi trauma untuk bekerja di kantor lagi. Besok aku akan mengajukan pengunduran diri. Aku harus angkat kaki dari neraka ini. *** "Bu, saya ingin mengundurkan diri." Akhirnya aku mengatakan hal itu juga kepada Bu Tyas. Aku memberanikan diri ke ruangannya dan mengutarakan maksudku. Sebenarnya aku cukup khawatir karena aku baru dua bulan bekerja disini. Masih terlalu cepat untuk meminta keluar dari perusahaan. "Kenapa kamu mendadak ingin mengundurkan diri? Apa ini karena Selly?" tanya Bu Tyas. Ia tahu beberapa karyawan yang dulu juga meminta resign karena Mbak Selly. Jadi tanpa ragu, ia langsung menerka seperti itu. Aku tidak ingin dianggap pecundang, berhenti hanya karena tidak tahan dengan karyawan lain. Lagipula aku tidak ingin Mbak Selly disalahkan Bu Tyas lagi karena membuat banyak karyawan mengundurkan diri. Akhirnya aku mengatakan hal lain yang juga menjadi salah satu alasanku ingin mengundurkan diri. "Tidak Bu. Saya tidak bisa selalu lembur setiap hari. Ayah saya jadi ikut pulang lama karena menunggu saya selesai bekerja. Saya kasihan dengan ayah saya." Sialnya aku tidak bisa membawa kendaraan sendiri, tidak punya uang untuk membeli kendaraan juga, jadi aku harus bergantung kepada ayahku untuk pulang pergi kantor. Rumahku cukup jauh dari tempat kerja, menempuh jarak sekitar empat puluh menit dengan kendaraan. Sialnya lagi tempat ayahku bekerja ada di antara rumahku dan tempat kerjaku. Sehingga aku harus naik ojek untuk ke tempat ayahku agar ayahku tidak bolak-balik. Kasihan juga ayahku yang sudah tua harus menempuh jarak yang jauh untuk bekerja dan mengantar jemputku. Kenapa tidak naik angkutan umum? Karena rumahku tidak terjangkau angkutan umum, dan angkutan umum juga memakan waktu yang cukup lama daripada kendaraan pribadi. Aku sudah kelelahan di kantor, aku tidak bisa kelelahan lagi di jalan. "Kan saya sudah bilang, kalian tidak perlu lembur kalau kalian bisa mengatur manajemen waktu untuk pekerjaan kalian," ucap Bu Tyas. Perusahaan memang tidak mau disalahkan. Karyawan dituduh lembur karena kesalahan karyawan sendiri. Sehingga tidak ada uang lembur untukku sebab lemburku dianggap karena aku dan tim accounting tidak dapat mengatur waktu untuk menyelesaikan pekerjaan sebelum jam kerja berakhir. Sekali lagi aku tekankan, aku lembur karena harus menyelesaikan masalah di masa lalu yang ditinggalkan oleh para karyawan terdahulu. Aku juga harus mengerjakan transisi pencatatan keuangan dari aplikasi lama ke aplikasi baru yang baru dipakai saat aku baru masuk kerja. Aku mengerjakan pekerjaan dua bahkan tiga kali lipat. Bagaimana caranya agar aku bisa menyelesaikan pekerjaan itu sebelum jam kerja berakhir? Jujur, aku kewalahan. "Nanti saya akan bilang ke Selly untuk mengatur pekerjaan kalian," kata Bu Tyas lagi. "Tapi Bu," aku berusaha untuk tetap mengundurkan diri meskipun Bu Tyas ingin membantu mencari jalan keluar, "saya harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk transportasi. Karena saya harus naik ojek setengah perjalanan dari dan ke tempat kerja ayah saya." "Memangnya berapa biaya yang harus kamu keluarkan?" tanya Bu Tyas penasaran. "Empat ratus ribu sebulan Bu." "Aduh, kamu sih tidak mencari tempat kerja yang dekat dengan rumah kamu." Aku hanya bisa tersenyum palsu. Kalau memang ada perusahaan di sekitar rumahku, aku pasti sudah melamarnya. Masalahnya, di dekat rumahku tidak ada perusahaan. Semuanya cukup jauh dari rumahku. "Kamu benar-benar ingin berhenti? Atau kamu mau pikir-pikir dulu?" Bu Tyas memberikanku kesempatan untuk berpikir ulang. Aku terdiam sejenak. Sebenarnya kalau aku resign, itu adalah hal yang cukup gila karena aku adalah orang yang menanggung cicilan rumah, biaya listrik, dan biaya lainnya untuk keluargaku. Tidak ada orang yang bisa menggantikan ku untuk menanggung beban ini. Tapi kalau aku tidak resign, aku juga gila. "Saya yakin untuk berhenti Bu," kataku akhirnya. Aku pasrah, dan berharap bisa mendapatkan pekerjaan baru secepatnya setelah aku keluar dari perusahaan ini. Bu Tyas menghela napas. Aku tahu ia berharap banyak dariku. Bagian accounting sudah berkali-kali gonta-ganti karyawan, dan dia bilang dia malu akan hal itu. Karena hanya bagian accounting yang selalu bermasalah. Bahkan Bu Tyas sampai mengatakan kepada Mbak Selly bahwa Mbak Selly lah penyebabnya. Herannya orang itu masih juga tidak mau berubah. Bu Tyas sendiri juga tidak bisa melepaskan Mbak Selly, karena menurutnya Mbak Selly memiliki kinerja yang sangat baik serta loyalitas yang tinggi. Perusahaan mana yang tidak senang ada karyawan yang hobi lembur setiap hari tanpa bayaran kan? Hanya saja ia juga tidak seharusnya memaksakan obsesinya menjadi karyawan paling loyal kepada timnya, karena tidak semua orang memiliki tenaga yang sama. Tidak semua orang tinggal sendirian seperti dirinya, yang tidak perlu memikirkan apapun saat harus pulang malam. "Tapi kamu tahu kan, kalau kamu sudah dikontrak selama enam bulan? Kalaupun memang kamu benar-benar ingin resign, kamu harus menyelesaikan kontrak enam bulan itu. Itu berarti masih empat bulan lagi," ucap Bu Tyas kemudian. Meski aku sebelumnya berharap kalau aku diizinkan untuk keluar dari perusahaan satu bulan setelah mengajukan resign, tapi aku juga yakin hal itu tidak mungkin terjadi karena aku sudah terikat kontrak. Hari-hari kelabuku masih harus aku lalui dalam empat bulan lagi. Empat bulan lagi harus bekerja sama dengan orang yang tidak bisa diajak kerjasama. "Iya Bu..." kataku, hampir dengan suara yang kecil. Mau merengek pun, aku tetap tidak bisa melanggar kontrak. Meski tidak ada pinalti kalau aku kabur begitu saja, tapi aku merasa sungkan untuk melakukan hal itu. Aku masuk dengan baik-baik, jadi aku ingin keluar dengan baik-baik juga. Meskipun itu berarti aku harus menahan rasa sakit lebih lama lagi. Aku akan tunjukkan kalau aku adalah orang yang beretika. "Ya sudah kalau begitu," Bu Tyas mengganti posisi tangannya agar lebih nyaman, "kalau begitu kamu berikan surat pengunduran diri tiga bulan lagi kepada saya. Dan karena masih lama, kalau kamu berubah pikiran dalam waktu tiga bulan ini, kamu bisa mengatakan kepada saya kalau kamu mengurungkan niatmu untuk berhenti. Jadi kamu tidak perlu memberikan surat pengunduran diri." Aku mengangguk, "baik Bu. Terimakasih," kataku. Tapi aku sudah membulatkan tekad. Aku akan berhenti apapun yang terjadi. Aku sudah tidak nyaman berada disini. Hatiku sudah tidak ada disini bahkan tiga hari setelah aku bekerja disini. Jadi untuk apa lagi aku bertahan hanya demi tertekan batin? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD