03. Fakta mematahkan harapan.

837 Words
Orang lain mungkin berpikir, Tian dan Anay itu ibarat air dan api yang tidak bisa menyatu. Sehari tanpa adu bacot itu impossible. Tapi siapa sangka di balik pertengkaran itu ada Tian yang selalu mengingatkan Anay tentang anemia yang di deritanya. Siapa sangka jika Tian-lah orang yang selalu menggendong Anay ke UKS saat pingsan di sekolah? Tian juga yang menjadi orang pertama yang akan mengamuk saat tahu rencana diet Anay. Begitupun dengan Anay, semenjak Mami-nya meninggal hidupnya berubah. Anay jadi tahu alasan di balik sikapnya Tian yang selama ini menutup diri dari orangtua-nya sendiri. Kesibukan orangtua yang mengejar materi kadang lupa bahwa masih ada yang lebih penting dari sekedar materi, Keluarga. Terbiasa di abaikan membuat Anay dan Tian saling mengerti satu sama lain. Do you know what i mean? Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tok tok! Tok tok! Anay mendengus kesal, suara ketukan di pintu kamarnya itu terus terdengar hingga mengusik tidur lelapnya. Dengan malas Anay bangkit dari tempat tidurnya, berjalan ke arah pintu dengan mata setengah tertutup. Klek! "Happy Birthday Sekar Ayu Annaya." Teriakan heboh itu sukses menyadarkan Anay dari rasa kantuknya. Matanya terbuka sempurna. di lihatnya Kanjeng Ratu dengan mata berkaca-kaca memegang kue ulangtahun dengan lilin angka dua lima, lalu Bi Surti tersenyum manis dengan topi kerucut di kepalanya, ada Yaya yang sudah menangis di bahunya Bi Surti. Dan Tian yang langsung memeluknya erat. "Happy birthday sister. I just want you to know, today you are not alone." Ujar Tian, suaranya sedikit bergetar. Kata-kata Tian sukses membuat Anay berkaca-kaca. Anay balas memeluk Tian erat, lalu mengangguk, "I know. thank you." Anay melepas pelukannya dengan Tian. Lalu memeluk Yaya dan Bi Surti, ketiganya berpelukan layaknya Teletubbies yang telah lama di pisahkan. Hanya ada isakan tangis selama beberapa menit, hingga Anay yang lebih dulu melepas pelukan mereka. Anay tersenyum haru menatap Yaya, "Ya, makasih ya selalu ada buat gue." Yaya mengangguk tanpa suara, masih tak kuasa membendung tangisnya.  Beralih ke Bi Surti, Anay menggenggam kedua tangan Bi Surti, "Bi, makasih udah jagain Anay selama ini. Maaf, kalo Anay sering bete dan nyuekin Bibi." Ujarnya tulus Bi Surti menggeleng cepat, "Nggak Non, Bibi seneng bisa terus jagain Non Anay. Sehat-sehat ya Non." Kanjeng Ratu memeluk Anay, keduanya saling berpelukan menumpahkan perasaan masing-masing. Setelah beberapa saat, Kanjeng Ratu lebih dulu menarik diri. Tangannya terangkat menghapus air mata Anay. "Nggak ada yang ninggalin kamu. Kamu masih punya Tante, Nay. Tante akan selalu ada di samping kamu." Ujarnya lirih. Tangisnya tidak bisa di bendung lagi, Anay menggeleng di ikuti isakannya. "But dad and mom leave me, I'm alone auntie." sangkalnya. Kanjeng Ratu menatap Anay tepat di manik matanya. "Your father did not go, he needs time. And Your mother, will always be in your heart. No mother leaves her child. Can you believe me, hm?" Ujarnya meyakinkan Anay. Anay mengangguk, Air matanya turun semakin deras membasahi pipinya. Dia rindu Mami dan Papi-nya. Hanya itu. Pagi ini sepulangnya dari makam Mami-nya, Anay langsung masuk ke kamar, mengabaikan pertanyaan Kanjeng Ratu yang terlihat hawatir saat menyambutnya. Meskipun ingin, Kanjeng Ratu tahu Anay butuh waktu sendiri. Jadi ia putuskan untuk membiarkan Anay setidaknya untuk hari ini. Tok tok!! Hening, tidak ada jawaban. Klek! Tian menghembuskan napasnya frustasi. Dadanya terasa sesak saat melihat punggung sahabatnya itu. Ini seperti dejavu, kejadian yang sama terus terulang sejak enam tahun terakhir. Anay duduk di lantai kamarnya, punggungnya bersandar di tepi ranjang membelakangi Tian yang baru masuk.  "Nay, gue masuk ya?" Hening. Gadis itu tidak menjawab. Tapi Tian bisa melihat punggungnya bergetar, sahabat yang di kenalnya sejak lahir itu... Sedang menangis. Perlahan Tian berjalan mendekati gadis itu, lalu ikut duduk di sampingnya. Gadis itu menatap lurus ke arah balkon dengan pandangan kosong, tidak ada isakan tangis dari bibirnya, hanya ada air mata yang terus turun membasahi pipinya. "Gue ngerasa gagal sebagai sahabat." kata-kata Tian berhasil menarik Anay dari diamnya. Anay menatap Tian, menunggu Tian melanjutkan kalimatnya. "Nyatanya... hari ini tetap sama. Udah enam tahun, Nay." Seru Tian mulai emosi balas menatap Anay tepat di manik matanya. "Sampai kapan? Mau sampai kapan lo kayak gini? gue tau, gue ngerti perasaan lo, Nay. Di luar sana---" Tian menunjuk ke arah pintu. "Masih ada orang-orang yang peduli sama lo, Kalo lo ngerasa hidup ini nggak adil, lo boleh nangis. it's okay, if crying makes you relieved. Tapi lo harus ingat, lo punya Kanjeng Ratu, Bi Surti, Yaya dan juga gue. Mami juga bakalan sedih liat lo kayak gini terus, Nay." Ujarnya menatap Anay yang mulai terisak. Tian menarik Anay ke dalam pelukannya, air matanya ikut turun merasakan betapa ringkihnya tubuh Anay yang bergetar di dalam pelukannya. "I'm here, everything will be fine. You can cry, but promise me... this is the last time." Hanya itu yang saat ini Anay butuhkan. Dia butuh pelukan untuk menumpahkan kesedihannya. Dia butuh seseorang untuk berbagi, mendengar dan memberinya kekuatan tanpa harus memaksanya bercerita. Seperti Tian. "Buruan nangisnya. Setelah lo keluar dari pintu itu... Lo harus jadi Sekar Ayu Annaya yang nggak ada ayu-ayunya sama sekali---" Tian terkekeh, disusul oleh tawa Anay. "Sekar Ayu Annaya yang childish, yang suka ngebacotin gue, yang katanya mirip Song Hye Kyo..." Tian tergelak saat Anay mencubit perutnya. Anay tahu, itu bukan pujian. Dia sedang di nistakan secara terang-terangan oleh Tian, tapi hal itu justru mampu melenyapkan kesedihannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD