Episode 3

1689 Words
Rindi baru saja sampai di Bandara Internasional Ngurah Rai Bali. Ia datang bersama seorang wanita bertubuh tambun, namanya adalah Lina, ia adalah managernya Randa tetapi ia sudah mengenal baik Randa dan Rindi. Dan hanya dialah yang mengetahui kegiatan tukar tempat ini. Rindi berjalan dengan anggun dan angkuh, kaca mata coklat bertengker indah di hidung mancungnya. Semua orang yang melihatnya akan menganggap dia sosok yang sempurna dengan kecantikan yang di milikinya. Randa dan Rindi memang mirip, tetapi warna bola mata mereka dan cara tatap mereka berbeda,  sehingga Rindi harus memakai kacamata ini untuk menyamarkan tatapan matanya yang lembut. Tak ada yang tau, kalau di balik kacamata itu, matanya terlihat sembab karena efek menangis semalam. Rindi kembali melihat layar handphonenya dan tetap tak ada notif apapun dari Percy. Tadi pagi ia menunggu Percy dengan tak sabar, bahkan sampai mbak Lina menghubunginya terus untuk segera ke Bandara karena sudah akan take off. Rindi terus menunggu kedatangan Percy, hingga akhirnya ia tak bisa menunggu lagi dan berangkat dengan sopir keluarganya menuju Bandara Soekarno-Hatta.             Baru kali ini Percy mengingkari janjinya, sebelumnya ia selalu menepati janjinya dan selalu menyempatkan waktunya untuk sekedar mengantar atau menjemput Rindi. Tetapi sekarang entah kenapa dia tidak datang. Ia membiarkan Rindi menunggunya, apalagi nomornya tak bisa di hubungi. Banyak hal negative yang mengusik pemikiran Rindi. Apa ini ada hubungannya dengan perjodohan Rasya dengan Percy ataukah ada hal lain yang lebih penting daripada dirinya? Rindi terus menanyakan itu berkali-kali di dalam hatinya. "Hei Randa." Seorang pria datang menyapa Rindi. "Hei," jawab Rindi seadanya. Ia sudah harus memerankan sosok Randa saudari kembarnya yang selalu ramah pada semua orang apalagi pria. Rindi sudah terbiasa memerankan Randa dalam penyamaran ini. Tidak akan ada yang mengetahuinya, karena mereka kembar identik dan Rindi pun memiliki bakat seni yang tak kalah hebatnya dari Randa, hanya saja Rindi tak mau mengasah bakatnya itu. Ia lebih menyukai ketenangan, dan hidup dengan damai tanpa harus sibuk di soroti, walau kadang-kadang saat ia berjalan di tempat umum, semua orang akan menganggapnya sebagai Randa. Rindi sedikit risih karena pria di depannya ini yang menatap dirinya dengan meneliti. Rindi yang mulai jengah di tatap seperti itu, memilih membuka kacamata coklatnya, hingga menampakan mata indahnya. “Ada apa, Tuan?” tanyanya dengan mendelik ke arah pria di depannya itu yang juga sesama artis. Bukannya menjawab pertanyaan dari Rindi, pria itu malah tersenyum lebar membuat Rindi mengernyitkan dahinya. Di rasa aneh, Rindi pun memilih berlalu pergi meninggalkan pria tampan itu sendiri. Rindi akui kalau pria itu memang sangat tampan, dan siapa yang tak mengenal Daffa Arya Ghossan, aktor sekaligus model terkenal di Indonesia. Wajahnya yang mirip dengan artis korea, dan sikap ramahnya membuatnya menjadi seperti dewa yang selalu di puja-puja wanita. Tentunya tidak termasuk dengan Rindi. ♣♣♣             Setelah menempuh perjalanan 30 menit menuju hotel yang berada di dekat pantai Nusa Dua Bali. Pantai yang terkenal dengan kebersihannya. Pantai ini termasuk ke dalam pantai terbersih di Bali. Di pantai Nusa Dua ini terdapat dua pantai, yaitu pantai Geger dan pantai Mengiat. Kedua pantai ini sangat cocok untuk berenang, karena ombaknya tidak begitu besar.             Setelah Lina mengurusi semua yang di perlukan, Rindi memilih masuk ke dalam kamar hotelnya yang luas. Tak terlalu banyak furnitur di dalamnya, hanya satu buah ranjang king size dengan dua meja nakas yang di gunakan untuk menyimpan lampu tidur. Letaknya tepat berada di kanan dan kiri ranjang itu. Selain itu juga terdapat sebuah sofa berwarna putih tulang yang menghadap ke arah jendela lebar sebagai pembatas balkon dan kamar. Di sudut ruanganpun terdapat sebuah kulkas kecil yang di simpan di atas meja sudut. Dan di depan ranjang, tepat di dindingnya menempel sebuah televisi LED. Setelah cukup menatap sekeliling kamar hotel, Rindi bergegas menuju ke kamar mandi yang terletak di dekat pintu masuk. Mungkin dengan mengguyur tubuh dan kepalanya dengan air dingin, otaknya akan berpikir jernih dan bisa lebih tenang lagi.             Selesai berendam dan masih memakai jubah mandi berwarna putih. Ia duduk di atas ranjang dengan menyandarkan kepalanya ke kepala ranjang. Ia masih memiliki 30 menit untuk beristirahat sebelum bekerja. Ia merogoh handphone nya yang di simpan di dalam laci nakas dekat ranjang. Lalu mencoba menghubungi Percy, tetapi hasilnya hanya ada nada sambung, tak ada sahutan dari sebrang sana yang menandakan sang pemilik handphone tidak mengangkat telpon. Ini sudah ke 10 kalinya Rindi menghubungi Percy, tetapi hasilnya tetap sama. Ia mendesah kecewa karena masih tak ada jawaban. Sebenarnya sedang apa Percy sampai tidak mau mengangkat telpon darinya. Bip bip bip Rindi segera membuka pesan masuk saat handphonenya berdering nyaring. Ia berharap itu adalah Percy, tetapi sekali lagi Rindi harus kecewa karena yang mengirim pesan adalah saudari kembarnya, Randa.   ∙Randa : Azka, calon suami Pretty meninggal dunia tadi malam, dan sekarang akan di makamkan. "Ya Tuhan!" pekik Rindi menutup mulutnya yang terbuka dengan sebelah telapak tangannya. Matanya membelalak lebar menatap layar handphone. Bahkan ia berkali-kali mengulang membaca pesannya. Barulah Rindi menyadari sesuatu, inikah alasan Percy sulit di hubungi? Tapi apa yang terjadi? Beberapa pertanyaan itu menari-nari di kepala Rindi. Ia terus bertanya tetapi tak mampu menemukan jawabannya. Akhirnya ia hanya bisa mengusap wajahnya dengan gusar. “Kasian Pretty,” gumamnya.             Rindi segera membalas pesan dari Randa dan menanyakan beberapa hal mengenai Pretty dan juga Percy. Barulah di sana ia mendapatkan jawaban dari keresahan dan ke khawatirannya. Bahwa Percy tengah menenangkan Pretty, ia tidak berpaling sedikitpun dari sisi adik kesayangannya itu. Rindi bisa memahami itu, bagaimanapun Percy begitu menyayangi Pretty dan mereka berdua sangatlah dekat. Ketukan pintu di kamarnya menyadarkan ia dari keterpakuannya. Rindipun segera beranjak untuk membuka pintu, dan ternyata itu adalah Lina manager Randa. Lina meminta Rindi untuk bersiap-siap, karena pemotretan akan segera di mulai. ♣♣♣ Rindipun beranjak menuju tempat pemotretan setelah melakukan make up dan tata rias lainnya. Saat ini Rindi harus memakai pakaian pengantin karena tema pemotretan ini adalah Wedding Story. Rindi bahkan di dandani layaknya seorang pengantin dengan gaun pengantin berwarna merah darah dimana bagian depannya seatas lutut dan memiliki ekor yang panjang hingga menyapu tanah, dengan bagian atasnya terbuat dari bahan brukat. Ia tampak sangat cantik dan anggun dengan balutan gaun pengantin itu. Daffa yang memakai tuxedo hitamnya terpana dengan wajah cantiknya Rindi saat Rindi berjalan di bantu asistennya mendekati Daffa yang berdiri di bibir pantai. 'Kenapa dia berbeda dengan Randa yang biasanya? Gadis ini terlihat lebih cantik dan anggun.' batin Daffa masih memperhatikan Rindi tanpa berpaling sedikitpun. Hingga kini mereka berdua sudah berdiri berhadapan. Daffa menampilkan senyuman kecilnya membuat Rindi risih, ia hanya bisa memalingkan wajahnya karena malas menatap wajah Daffa sang playboy. "Ayo mulai, pose pertama saling berhadapan dan berpelukan." ujar Fotografer dengan camera digital berwarna hitam berada di genggaman tangannya, dan sabuk kamera tersebut terlihat melingkar di lehernya.. Dan sekaranglah Rindi mampu menatap langsung mata hitam milik Daffa. Daffa memiliki mata yang indah dengan bulu mata yang lentik menghias mata tajamnya yang mampu mengintimidasi. Pantas saja banyak sekali fans wanita yang tergila-gila pada actor ini. Pikir Rindi. Dan Daffa menyadari kalau bola mata Rindi berwarna coklat terang, seperti madu. Berbeda dengan Randa lawan main filmnya yang memiliki mata berwarna coklat gelap dan lebih tajam. Sedangkan Rindi terlihat lebih lembut dan teduh. 'Apa gadis ini benar-benar Randa?' batin Daffa semakin meneliti wajah Rindi. Daffa sudah sering beradu acting dan bekerja dalam satu production dengan Randa, jadi ia sudah sangat tau bagaimana Randa. Dan menilik gadis di depannya ini sungguhlah Daffa merasa baru saja mengenalnya. Wajahnya memang mirip dengan Randa, tetapi bola mata dan sikapnya jauh berbeda. Mungkin gadis di depannya ini Randa versi sempurnanya. Tangan Rindi terulur untuk mengalungkan kedua tangannya di leher Daffa, membuat Daffa tersadar dari perdebatan di otaknya. Ia lalu mengulurkan kedua tangannya untuk merengkuh pinggang ramping Rindi dan menekannya hingga menempel dengan tubuhnya. Rindi terpekik kaget mendapat gerakan intim itu dari Daffa. Ia melotot ke arah Daffa dengan sangat emosi, tetapi Daffa seakan tidak perduli dengan pelototan Rindi. Ia menyukainya, apalagi aroma Jasmine mengguar dari tubuh Rindi membuatnya semakin larut dalam aroma yang sangat wangi itu. "Ada apa Randa?” tanya Daffa saat Rindi berusaha menjauhkan tubuhnya dari tubuh Daffa. “Kenapa kamu terlihat canggung? Bukankah kita sudah sering melakukannya?" ujar Daffa tersenyum penuh misteri. Rindi semakin menunjukkan wajah dinginnya pada Daffa, tetapi Daffa tidak terlalu menanggapinya.. 'Benar sekali, dia bukan Randa. Randa, gadis barbar itu tak pernah semanis dan semenggemaskan ini,' batin Daffa. "Kenapa kalian terlihat canggung? Ayolah Randa, kamu sedang kenapa sih? Biasanya kamu bisa menunjukkan bakatmu," ujar Fotografer membuat Rindi mendesah kecil. Akhirnya iapun memilih pasrah dan mengikuti permainannya. Daripada berontak, dan membuat kedoknya terbongkar. Lebih baik untuk sekarang Rindi memilih bersabar dan mengikuti perintah dari fotografer. Ia benar-benar pasrah saat tubuhnya benar-benar menempel dengan Daffa dan kini kedua mata mereka saling bertautan dengan jarak yang sangat dekat. Tetapi entah kenapa wajah Daffa berubah menjadi wajah milik Percy membuat Rindi menurunkan pandangannya ke hidung Daffa agar tak menatap mata Daffa lagi. Setelah itu, mereka kembali bergaya dengan Daffa yang memeluk Rindi dari belakang, ada juga pose yang mengharuskan keduanya saling berhadapan dengan kedua tangan Rindi menyentuh pipi Daffa dan hidung mereka saling bersentuhan. Setelah lama, akhirnya mereka break. Rindi langsung berlalu pergi memasuki tendanya dan meneguk air putih dalam botol aqua hingga tandas. Dan sedikit mengipaskan tangannya tepat di depan wajahnya sendiri yang terasa panas. "Kamu kenapa Rindi?" tanya Lina yang tengah duduk di dalam tenda itu sambil membaca majalah Fasion. "Tidak apa-apa, Mbak. Aku hanya sedikit kurang sehat," ujar Rindi memilih duduk di salah satu kursi yang ada di depan meja rias.. 'Rindi? Jadi benar dia bukan Randa? Apa dia kembarannya Randa yang masih rahasia itu?' batin Daffa yang berdiri di luar tenda, Daffa memang tak berniat menguping.  Awalnya ia hanya berniat menyapa Randa dan berbincang seperti biasanya. "Mbak, aku mau angkat telpon dulu yah," ujar Rindi berlalu pergi keluar tenda menuju tempat yang cukup jauh dari tempat kerjanya. "Hallo Honey!" "....." "Tidak apa-apa. Aku sampai tadi siang. Percy, Apa benar Azka-" "....." "Ya Tuhan! Kasihan sekali Pretty, pasti dia sangat terpukul." "....." "Tidak apa-apa, aku paham kalau tadi kamu gak jadi nganterin aku. Titip salam aku buat Pretty." "....." "Aku baru menyelesaikan pemotretan, Honey. Mungkin sekarang akan kembali ke hotel." "....." "Entahlah, aku tak bersemangat bermain di pantai. Apalagi beberapa waktu lalu kita sudah liburan ke Lombok." "......" "Iya, kamu temenin saja Pretty. Dia pasti sangat membutuhkanmu," "....." Rindi menutup telponnya, dan menatap hamparan laut biru  yang begitu indah di hadapannya. Hatinya sungguh merasa tak tenang, ingin rasanya Rindi berada di samping Percy atau Pretty saat ini. ♣♣♣
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD