Bab 1 - Hari Pertama Kerja

609 Words
“Astaga, Tuhan.” Mendengar suaraku yang sampai menyebut Tuhan, membuat kedua cowok yang lagi anu-anuan itu menghentikan aktivitas mereka. Aku lihat Pak Darren—bos baruku, duduk di kursi dan ada cowok lainnya yang duduk di atas meja Pak Darren dengan kondisi telanjang d**a. Iya, lawannya cowok anjir. Kepalaku mendadak pening liat pemandangan yang tabu dan baru sekali kulihat seumur hidup secara live. Pak Darren ... gay? Cowok berbadan kekar yang awalnya duduk di meja, lantas turun dari sana setelah mengecup bibir Pak Darren dengan santai. Dia mengancingkan dan menarik sleting celana bahan yang dipakai sembari berjalan menjauh. Laki-laki itu melangkah ke dalam sebuah ruangan yang ada di ruangan Pak Darren. Aku bergidik ngeri. “Hei.” Panggilan Pak Darren membuat mataku kembali menatap lelaki yang kini merapikan kemejanya yang agak kusut. “Kamu siapa? Lancang sekali masuk-masuk ruangan saya tanpa ketuk pintu?” tanyanya dengan suara berat dan wajah tidak mengenakkan. “Maaf, Pak. S-saya karyawan baru di sini,” balasku, gugup. “Mau apa kamu?” Tanganku yang agak gemetar, sekarang mengangkat map coklat yang ada di tangan kanan. “Mau kasih berkas dari Bu Sinta, dia bilang minta tanda tangan Bapak untuk persetujuan kerjasama proyek.” “Kamu tidak pernah diajarkan sopan santun, ya?” “Eh?” Aku ngangkat satu alis. “Kenapa malah berdiri dan bicara di situ? Saya ini bos, bukan teman kamu. Kalau memang ada perlu, bicara di dekat saya!” omel Pak Darren. “M-maaf, Pak.” Bodoh! Sumpah ini aku kenapa mendadak blank gini, sih? Aku takut pas deketin dia malah aku diomelin abis-abisan. “Taruh di situ saja, nanti saya lihat.” Pak Darren menunjuk ke arah pinggir meja saat aku menghampiri, dekat map-map yang lain. “Baik, Pak.” Abis menaruh mapnya di tempat yang dia suruh, aku pamit pergi. “Siapa yang suruh kamu pergi?” tanya Pak Darren saat aku udah mau balik arah. “Tidak ada, Pak.” Aku kembali berdiri di hadapan Pak Darren dan menundukkan kepala. “Maaf.” “Siapa nama kamu?” Aku terpaksa mendongak sedikit dan menatap manik mata laki-laki yang duduk santai di kursi. Takut dibilang gak sopan lagi. “Luna.” “Umur?” “22 tahun.” “Kamu dari divisi mana?” “Keuangan, Pak. Posisi saya ada di dekat pintu,” jawabku lengkap biar gak ditanya-tanya lagi. Deg-degan ini ya ampun, berasa mau mati kaya lagi diinterogasi detektif. Suasana sempat hening, dia natap aku dari atas sampe bawah, bawah sampe atas lagi, terus ngangguk. “Pulang kerja nanti jangan pulang dulu. Temui saya di sini. Saya tunggu.” Mata aku refleks melebar, mau ngapain? Apa mau dipecat dan dikasih pesangon? Eh tapi kan aku baru masuk, ya kali dikasih pesangon? Kalau sampai beneran dipecat secara gak terhormat nanti kalau aku ngelamar di tempat kerja baru aku bikin alasan apa? Masa iya pas ditanya sama HRD kenapa aku dipecat dari sini aku jawab gara-gara liat adegan live yaoi? Huh, bikin susah hidup aja. “Satu lagi, Luna.” Pas Pak Darren panggil nama aku dengan suara berat dan seksinya, aku kembali natap wajah dia. “Iya, Pak?” “Cuma kamu satu-satunya karyawan yang tahu hal ini. Jadi jangan sebar rahasia saya ke siapa pun atau saya akan pecat dan memastikan kamu susah untuk dapat pekerjaan di mana pun lagi.” Aku buru-buru ngangguk. Cuma harus tutup mulut dan karirku akan tetap aman ... yea seenggaknya begitu. Gampang, bisa diatur! “Sekarang kamu boleh pergi.” “Baik, Pak. Saya permisi.” Aku tersenyum tipis ke arah Pak Darren, tanpa babibu langsung keluar sebelum dia berubah pikiran dan pecat aku sekarang juga. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD