Aku dan Mura sama-sama terkesima. Tampaknya, Mura pun membutuhkan waktu beberapa kejap untuk menyadari kondisinya sendiri. Begitu sadar, segera dia menarik selimut dengan kasar. Refleks aku berjongkok. Entah sudah seperti apa ekspresi kami saat ini. “Kamu jahat! Kamu sudah menodaiku!” teriak Mura, marah. Aku menggeleng keras. “Kamu yang menarik saya duluan ....”

ANNELIS —sahabatku meminta aku menghamili istrinya …  “Jangan gila!” Jordan menggebrak meja. Kavin menghela napas. Ia tahu permintaannya memang tidak masuk akal. Namun dirinya tak memiliki pilihan.  “Lo kan tau sendiri, Joi. Gara-gara keteledoran gue, Syaima jadi buta. Kalau sampai keluarga Syaima juga tau gue nggak bisa kasih keturunan. Bisa-bisa gue ditendang sama mereka. Bisa-bisa gue dihina terus-menerus tiap hari. Kita kan udah temenan lama. Kalau sama orang lain, gue juga nggak bakal sudilah. Ini karena gue percaya sama lo. Ditambah suara dan postur tubuh kita juga mirip.” “Tapi tetep ajah nggak masuk akal, Vin. Lo minta gue buat hamilin istri lo. Nggak masuk akal sama sekali!” “Ini demi kelanggengan hubungan gue sama Syaima. Gue nggak tau lagi harus minta tolong sama siapa. Kalau lo nggak bisa, mungkin gue harus menyewa pria gi****.” “Vin!” “Please! Bantuin gue, Joi!” “Walaupun Sima buta, dia pasti tetap bedain. Walaupun suara gue sama lo mirip, dia pasti tetap bisa merasakan perbedaannya.” “Gue akan kasih obat yang membuat Syaima setengah nggak sadar. Dia nggak akan tahu. Please, Joi! Cuma lo yang bisa gue harapkan.” ~  Jordan mengancingkan kancing kemeja terakhir. Sementara di tempat tidur, Syaima tampak pulas di balik selimut. Ini tidak benar—jordan menyadarinya. Ini salah.  Lalu bagaimana dengan perasaan cintanya pada Syaima yang selama ini ia pendam? Apa itu juga salah?