Bab 2: Pagi Baru di kediaman Damon.

1151 Kata
Subuh baru saja menyapu langit dengan semburat oranye pucat ketika Aroe sudah bersiap di kamarnya. Malam sebelumnya terlalu panjang untuk bisa disebut tidur nyenyak. Pikirannya terus memutar kejadian di ruang CEO, ketika ia hampir saja menghajar pria yang ternyata adalah Tuan Damon Valerius Kael, pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Damian, tangan kanan Damon, sudah mengirimkan semua detail: alamat mansion, nomor telepon pribadi, serta instruksi singkat. Dan yang paling mencolok, gaji lima kali lipat. Itu bukan tawaran, melainkan perintah. Aroe berdiri di depan cermin. Kemeja polos putih dan celana panjang melekat sempurna di tubuhnya. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan kegelisahan. “Ini jebakan atau kesempatan?” gumamnya lirih. Tangannya mengepal, mencoba menahan gejolak yang bahkan dirinya sendiri tak bisa pahami. Ia menuruni tangga apartemen, menuju garasi. Motor sport merah, Ducati Panigale V4 R berdiri gagah, hadiah dari Caleb, ayahnya. Mesin dinyalakan, raungannya memecah sunyi pagi. Jalanan kosong, hanya suara deru motor yang menemani pikirannya yang kalut. Pukul enam kurang sepuluh, Aroe tiba di depan sebuah gerbang hitam raksasa. Gerbang itu menjulang tinggi, dengan kamera pengawas di setiap sudut dan pagar besi berujung runcing. Dua orang penjaga berdiri tegak, berseragam hitam pekat. Salah satunya melangkah mendekat. “Nama?” suaranya berat, tegas, seperti terlatih menilai orang hanya dari sorot mata. “Aroe Caldwell,” jawab Aroe singkat. Penjaga itu menatapnya lama, lalu melirik berkas di tangannya. Sesaat kemudian, ia mengangguk dan memberi isyarat pada rekannya. Gerbang terbuka perlahan, mengeluarkan suara besi berderit yang mencekam. “Masuklah. Kepala pelayan sudah menunggumu di depan,” ucapnya. Aroe mengendarai motornya melewati gerbang. Jalan panjang berliku terbentang, diapit taman simetris dengan air mancur berlapis marmer putih. Di ujung jalan berdiri mansion bergaya klasik Eropa, pilar-pilarnya menjulang, jendela tinggi berjajar rapi, dan pintu kayu besar yang seakan menyimpan seribu rahasia. Jantung Aroe berdetak lebih kencang. Tempat ini lebih mirip istana daripada rumah. Seorang pria paruh baya berjas hitam sudah menunggunya di depan pintu. Rambutnya memutih sebagian, wajahnya tenang namun sorot matanya tajam. Dialah kepala pelayan mansion. “Selamat datang, Tuan Aroe Caldwell,” sapanya sopan, tapi formal. “Ikuti saya. Tuan Damon sudah memberi perintah agar Anda diperlakukan sebagai bagian penting dari rumah ini.” Aroe menahan napas sejenak. Ia hanya mengangguk dan mengikuti langkah kepala pelayan melewati aula besar dengan langit-langit tinggi. Lampu kristal bergemerlapan, memantulkan cahaya hingga ke marmer lantai yang licin. Lukisan-lukisan besar menghiasi dinding, kebanyakan potret keluarga Valerius. Wajah-wajah bangsawan dengan sorot mata tajam seolah mengikuti setiap langkah Aroe. “Ini rumah atau museum?” batinnya, bibirnya hampir membentuk senyum sinis, tapi ia urungkan. Kepala pelayan berhenti di depan sebuah pintu ganda berukir. “Anda bisa menunggu di sini. Tuan Damon biasanya keluar pada pukul tujuh pagi untuk sarapan. Pastikan Anda selalu siaga, beliau tidak menyukai keterlambatan atau kelengahan.” “Baik,” jawab Aroe singkat. Pelayan itu membungkuk ringan, lalu pergi meninggalkannya sendirian. Suasana lorong itu hening. Hanya suara detak jam antik di dinding yang terdengar. Aroe berdiri tegak, bersandar sedikit pada dinding marmer dingin. Beberapa menit berlalu. Pintu berukir itu akhirnya berderit terbuka dari dalam. Seorang pria keluar, tubuhnya menjulang, dengan rambut hitam yang masih sedikit berantakan, seperti baru bangun tidur. Namun, meski terlihat kasual dengan kemeja putih setengah terlepas dari celananya, auranya begitu mendominasi. Damon Valerius Kael. Matanya abu-abu keperakan, tajam menusuk, namun ada kelelahan samar di sana. Tatapannya langsung jatuh pada sosok Aroe. “Jadi kau sudah datang?” suaranya rendah, berat, namun jelas penuh otoritas. Aroe menundukkan kepala sedikit, menjaga formalitas. “Ya, Tuan Damon. Saya ditugaskan menjadi pengawal pribadi Anda. Seperti yang anda perintahkan kemarin malam.” Damon mendekat. Jarak mereka hanya beberapa langkah, dan aura dingin dari pria itu begitu nyata. Ia mengamati Aroe dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu menyeringai tipis. “Kau tampak jauh lebih kecil daripada yang kuingat,” katanya, nada suaranya seperti menggoda namun juga menghina. “Tapi kau berhasil mengunciku malam itu. Menarik.” Aroe mengangkat kepalanya, menatap lurus tanpa gentar. “Saya hanya melakukan tugas saya, Tuan Damon.” Damian muncul tak lama kemudian, membawa berkas-berkas. “Tuan, semua laporan pagi sudah siap. Dan ini data tambahan tentang… insiden semalam.” Tatapan Damon tak lepas dari Aroe. “Biarkan saja. Aku lebih suka melihatnya langsung dibanding membaca laporan.” Damian menahan diri untuk tidak menghela napas. Ia tahu, kalau Tuan Damon sudah berkata begitu, tak ada yang bisa diubah. Mereka bertiga berjalan menuju ruang makan besar. Meja panjang dengan taplak putih, lilin hias, dan makanan lengkap sudah tersaji. Damon duduk di kursi utama, Damian di sisi kanan, sementara Aroe berdiri tegak di belakang, tetap siaga. Suasana makan awalnya hening. Hanya suara pisau dan garpu yang menyentuh piring. Damon sesekali melirik Aroe yang berdiri tegak tanpa bergerak. “Kau tidak makan?” tanya Damon, nada suaranya datar. “Tugas saya menjaga Anda, bukan duduk di meja yang sama,” jawab Aroe cepat. Damon menaruh garpunya, menatapnya dengan tajam. “Aku tidak suka pengawal yang terlalu kaku. Duduk.” Aroe sedikit terkejut, namun Damian memberi isyarat halus agar ia mengikuti saja. Dengan canggung, Aroe duduk di ujung meja. Damon tersenyum tipis, seperti puas melihatnya terpaksa menuruti perintah. “Begitu lebih baik. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Katakan, Aroe… siapa sebenarnya dirimu?” Pertanyaan itu menusuk seperti belati. Aroe menahan diri untuk tidak terkejut. “Saya hanya pria biasa yang bekerja untuk mencari nafkah,” jawabnya dingin. Damon menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menyipit. “Kau tak berbohong?” Damian buru-buru memotong. “Tuan, mungkin...” “Diam, Damian,” potong Damon tajam. “Aku tahu mata pembunuh saat melihatnya. Tatapan Aroe… bukan milik seorang satpam biasa. Kau seperti orang yang terlatih.” Ruangan mendadak sunyi. Tegangan di udara begitu kental. Ya itu benar... Gemblengan fisik yang keras adalah rutinitas. Ayah angkatnya. Caleb, tidak pernah membiarkannya lengah. Setiap harinya, sosok pendiam dengan mata coklat tajam dan fisik yang terlatih. Rambutnya yang pendek dan tubuh yang gesit sudah menjadi bagian dari dirinya, topeng yang tak bisa lepas. Karena ia tahu, dibalik semuanya, Caleb, melatihnya dengan satu tujuan: menjadikannya seorang ahli bertahan hidup, seorang prajurit elite. Bukan tanpa alasan, ayah angkatnya adalah seorang mantan Special Operative Forces, seorang anggota pasukan khusus dengan pangkat tinggi yang dilatih untuk bertugas di zona perang. Aroe mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia menahan diri untuk tidak bereaksi terlalu jauh. Damon hanya tersenyum tipis, lalu melanjutkan makannya seolah tidak terjadi apa-apa. Namun tatapannya jelas menyimpan banyak tanya. Hari itu, setelah sarapan, Damon langsung mengajak Aroe mengikutinya. Mereka melewati lorong-lorong panjang, hingga sampai ke sebuah ruangan besar dengan pintu baja. “Ini ruang latihan,” ucap Damon. “Kalau kau ingin menjadi pengawalku, aku perlu tahu seberapa jauh kemampuanmu.” Aroe mengerutkan kening. “Sekarang?” “Ya, Sekarang.” Pintu baja terbuka, memperlihatkan ruangan penuh peralatan latihan, senjata tajam tiruan, ring kick Boxing ditengah ruangan, ruang menembak dan matras. Damon melemparkan senyuman tipis pada Aroe. “Tunjukkan padaku… apakah aku memilih orang yang tepat atau hanya sekadar satpam biasa.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN