Bab 3: Ujian Aroe.

1186 Kata
​​Deru napas berat dan gemerincing besi memenuhi ruangan besar itu. Di balik pintu baja terbentang arena latihan, lebih mirip markas militer pribadi. Puluhan pria berseragam hitam berhenti berlatih. Tatapan tajam mereka mengikuti Aroe, Damian dan Damon yang baru masuk. ​Damon melangkah maju, aura dominasinya mengisi seluruh ruangan. Ia menoleh ke arah Aroe. “Ini adalah tempat di mana kelemahan dan kebohongan akan terkikis habis. Di mana hanya kekuatan dan kelincahan yang akan diakui.” ​"Siapa dia?" bisik seorang pengawal sambil melirik Aroe dengan tatapan meremehkan. ​Damon tersenyum tipis, sorot matanya yang abu-abu keperakan menyapu setiap orang. “Perkenalkan, pengawal baru kita. Namanya Aroe Caldwell. Mulai hari ini, dia akan menjadi pengawal pribadiku, dan aku akan mengujinya sendiri. Kalian semua, jadilah saksi." ​Suara-suara berbisik mulai terdengar di antara para pengawal. Bisik-bisik yang meremehkan dan penuh keraguan. Aroe tampak begitu muda dan kurus dibandingkan dengan tubuh kekar mereka. ​Damon melanjutkan, suaranya menggelegar di ruangan. "Aturan mainnya sederhana. Satu lawan satu. Jika Aroe berhasil bertahan, dia akan naik ke level berikutnya. Jika dia kalah... yah, jangan berharap ada tempat untuk orang lemah di sini. Ujian ini akan menentukan apakah dia layak mendapat tempat terhormat ini.” ​Damon menunjuk seorang pria yang berdiri di dekat rak senjata. “Kau, maju.” ​Seorang pria tinggi besar, dengan bekas luka melintang di pipinya, maju dengan seringai di wajahnya. Tubuhnya dipenuhi otot padat, dan ia membawa pedang katana di tangannya. Matanya dipenuhi api kekejaman. "Namaku adalah Ray, dan aku akan menjadi orang pertama yang akan menghancurkanmu." ​Ray, pengawal senior itu, mencengkram pedang katanyanya, menarik dari sarungnya. Suara pedang yang bergesekan terdengar mengiris udara. Ray tertawa. "Dia cuma pria lemah. Paling-paling dia hanya akan bertahan kurang dari satu menit. Aku yakin dia tidak pernah menyentuh senjata tajam.” ​“Jangan terlalu meremehkan dia, Ray. Aku bisa saja salah, dan kau akan mati di tangan bocah ini." ucap Damon datar. ​"Tentu tidak, Tuan Damon." Ray menyeringai. "Saya tidak akan membuat kesalahan." ​Aroe memejamkan matanya, mengabaikan tatapan mata yang menembus ke dalam dirinya. Ia menyingkirkan semua suara. Ia hanya fokus. Mengingat kembali pelatihan keras yang dia terima selama ini. Ini bukan hanya pertarungan fisik, tetapi juga pertarungan mental. ​"Aturannya mudah." kata Damon. "Saling serang. Hanya ada satu pemenang. Tidak ada batasan. Tidak ada ampunan.” ​"Tuan Damon, apakah Anda yakin?" bisik Damian, yang berdiri di samping Damon. “Dia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.” ​Damon menyeringai. “Damian, kau meremehkannya. Dia bukan satpam biasa. Dia punya naluri pembunuh, naluri yang hanya dimiliki oleh seorang predator. Aku ingin melihat seberapa jauh dia bisa bertahan.” ​Damian mengerutkan kening, tidak bisa membalas perkataan tuannya. ​Ray menyeringai, mengangkat pedang katanyanya. "Ayo bocah, tunjukkan dirimu.” ​Aroe hanya berdiri diam, memegang erat pedang tiruan, menunggu. Ia tidak menyerang, tidak bergerak. Ia tahu, dalam pertarungan, orang yang paling sabar akan menang. ​“Kenapa kau tidak bergerak? Apa kau takut?” ejek Ray. “Kalau kau takut, lebih baik kau mundur sekarang.” ​Aroe tidak bergeming. Ray melompat, pedang katanyanya mengiris udara dengan kecepatan tinggi. Syuuutt! ​Aroe menghindari serangan itu dengan gerakan yang sangat cepat. Gerakannya ringan, seperti bayangan yang melayang. Ia berputar di bawah lengan Ray dan mendarat di belakangnya. "Sial..." desisnya, ​Ray terkejut. Ia tidak menyangka Aroe bisa bergerak secepat itu. Ia berbalik, melancarkan pukulan dan tendangan dengan cepat, berharap bisa mengenainya. ​Aroe menghindar dan menangkis, tubuhnya bergerak lincah. Suara pedang katanya yang bergesekan dengan pedang tiruan Aroe,, tubuhnya bergerak lincah. ​“Kau pikir kau bisa mengalahkanku dengan gerakan lincahmu?” Ray tertawa. “Kau salah besar.” ​Ray menyerang dengan pukulan dan tendangan yang brutal. Aroe menangkis, tubuhnya berputar, menghindari semua serangan yang datang. Tebasan Ray mengenai lengan Aroe, membuat ia terluka kecil, darah segar mengalir. ​Aroe terjatuh ke tanah, ia berusaha menahan rasa sakit. Ia segera bangkit, tatapannya menyala. Ia tidak akan menyerah. ​“Kau pikir aku akan memberimu ampunan?” bisik Ray dengan nada sinis. “Jangan harap.” ​Ray melancarkan serangan lagi. Aroe mengambil posisi kuda-kuda. Ia menahan napas, menunggu. Ia tahu, Ray akan menyerang dengan kekuatan penuh. Ia harus menyerang dengan taktik. ​Ray datang menyerang dengan pedangnya. Aroe bergerak, dan ia menghindari serangan itu. Ia membanting tubuhnya ke tanah, meluncur di bawah kaki Ray. ​Ia memutar tubuhnya, dan memukul punggung Ray dengan gagang pedang yang keras. BUGH! ​Ray terkejut, "Brengsek..." Ia berbalik dan menendang Aroe hingga terpental. BAGH! ​Aroe terlempar ke dinding, tubuhnya membentur dinding dengan keras. BRAK! ​Ray tertawa. Ia menatap Aroe yang berusaha untuk bangkit, darah mengalir dari luka di lengannya. “Tentu saja. Kau masih lemah.” ​“Jangan meremehkanku.” bisik Aroe, ia berdiri dengan susah payah. “Aku bukan orang lemah.” ​Ray menyeringai, ia mengangkat pedangnya kembali, dan menunjuk ke arah Aroe. “Kau pikir kau bisa mengalahkanku?” ​Aroe tersenyum tipis. "Kita lihat saja.” ​Aroe melompat, ia menendang Ray dengan keras. ​Ray mundur, ia menangkis tendangan Aroe, namun ia tidak bisa menahan kekuatan tendangannya. Ray terkejut. ​Aroe tidak menyerah. Ia melancarkan pukulan, tendangan, dan tebasan. Ray menangkis, menghindari, dan membalas serangan Aroe. ​Pertarungan itu berjalan sengit. Ray yang mengandalkan kekuatan, Aroe yang mengandalkan kecepatan. Mereka berdua beradu pukulan dan tendangan. ​Ray jatuh ke tanah, ia terhuyung-huyung. "b******k?!" desisnya. Ia menatap Aroe, tatapannya penuh dengan kemarahan. ​“Tuan Damon, saya rasa cukup.” bisik Damian disisi sang Tuan. “Dia sudah membuktikan dirinya.” ​Damon tersenyum. "Biarkan saja. Aku ingin melihat dia sampai batas akhir." ​Aroe tidak punya pilihan. Ia harus mengakhiri pertarungan ini. Ia mengangkat pedang tiruannya, dan melesat secepat kilat. Gerakannya memutar, lalu Pedangnya mengarah ke leher Ray. ​Ray menatap Aroe, ia tidak menyangka Aroe akan berani melakukannya. Ia menelan ludah. "Kau..." ​“Kau kalah.” bisik Aroe. Ia tidak memberikan kesempatan pada Ray. Ia semakin menekan pedangnya ke arah leher Ray, tepat di arterinya. "Kalau ini pedang sungguhan, maka kau pasti mati ditanganku." ​Ray tersenyum sinis. "OK... kau menang. Tapi kau tidak akan bisa mengalahkanku di kemudian hari.” ​Aroe menoleh ke arah Damon. “Tuan, apakah saya boleh kembali?” ​Damon mengangguk. "Ya. Kau boleh kembali ke tempatmu.” ​Aroe menoleh ke arah Ray. “Ingat, kau sudah kalah ditanganku.” ​Ray tersenyum. “Ya...ya, aku mengaku kalah.” ​Aroe pergi meninggalkan Ray yang menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. ​Aroe menghela napas. Ia merasa lega. Ia tidak menyangka bisa mengalahkan Ray, seorang pengawal yang sudah terlatih. ​Damian datang mendekat. Ia menatap Aroe dengan tatapan penuh kekaguman. “Kau luar biasa.” ​Aroe hanya mengangguk, ia menoleh ke arah Damon yang tersenyum. Senyum yang penuh arti. ​“Kau berhasil.” bisik Damon. “Tapi ini baru awal. Masih ada tiga orang lagi yang harus kau hadapi. Dan mereka lebih kuat, lebih cepat, dan lebih berbahaya dari Ray.” ​Aroe menelan ludah. Ia tahu, perjalanannya masih panjang. Ia harus bertahan dan membuktikan bahwa dirinya bisa menang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN