Deru napas para pengawal memenuhi ruangan setelah duel pertama. Mereka saling melirik, kagum sekaligus tak percaya bocah kurus itu mampu menjatuhkan Ray. Suasana baru reda sebentar sebelum suara berat Damon memecah hening.
“Pertandingan belum selesai,” ucapnya, membuat ruangan kembali hening. “Sekarang giliran lawan kedua.”
Ia menoleh ke arah seorang pria berambut pirang pendek dengan tatapan liar. “Alex, kau maju.”
Alex mengangkat dagunya, menyeringai lebar. Dari balik pinggangnya, ia menarik sebilah pisau perak dengan ukiran khas di gagangnya. Kilatan logam itu memantul cahaya lampu, membuat beberapa pengawal bersiul pelan.
“Pisau ukiran keluarga Granz?” bisik seorang pengawal. “Itu senjata pribadinya.”
Alex menoleh sambil meludah ke tanah. “Ya, ini pisau keluargaku. Kau akan memohon ampun saat terkena tebasannya.”
Damon menyeringai tipis. “Ingat aturan yang sama. Satu lawan satu. Tidak ada ampunan. Siapa yang jatuh duluan, kalah. Dan aku ingin kalian semua menjadi saksi lagi.”
Aroe berdiri di tengah arena, masih memegang pisau kayu yang tadi diberikan padanya. Nafasnya belum sepenuhnya pulih, tapi matanya menatap tajam.
Damian mencondongkan tubuh ke arah Damon, berbisik lirih. “Tuan, ini sudah terlalu jauh. Alex menggunakan senjata asli. Bocah itu hanya membawa kayu.”
Damon tidak menoleh. Senyum dingin melekat di wajahnya. “Diam, Damian. Justru di sinilah menariknya. Aku ingin tahu siapa yang tumbang lebih dulu. Biar darah yang menentukan.”
Alex melangkah maju, pisaunya berputar di jari. Suara desisnya membuat udara seakan bergetar.
“Ayo bocah, aku akan membuatmu jadi potongan daging,” ejeknya.
Aroe hanya menggenggam kayu lebih kencang. “Kau terlalu banyak bicara.”
Damon mengangkat tangannya perlahan. “Mulai.”
Alex langsung menerjang. Pisau peraknya berkilat, menebas lurus ke arah perut Aroe.
Swiiing!
Aroe melompat ke samping, kayunya menghantam pergelangan Alex.
Plakkk!
“Argh!” Alex memaki, berputar cepat dan menebas ke leher. Aroe merunduk rendah, lalu menebas rusuknya.
Bughh!
Alex terhuyung. “Dasar kurang ajar!” geramnya.
Para pengawal bersorak kecil, ada yang menahan tawa melihat Alex yang biasanya angkuh kini terdesak.
“Dia bukan anak biasa,” bisik seorang pengawal.
“Tutup mulutmu,” sahut yang lain, tapi matanya tak lepas dari pertarungan.
Alex menggeram, darah mulai mengalir tipis di sisi mulutnya. Ia meludah. “Sialan, kau benar-benar cari mati.”
Ia menebas lagi, lebih brutal. Suara logam dan kayu beradu, ruangan bergema dengan hentakan dan dentuman.
Aroe menangkis, tapi lengannya tergores. Darah merembes, namun ia hanya meringis sebentar sebelum membalas dengan tendangan keras ke perut Alex.
BAGHH!
“Oooffff… b******k!” Alex terhuyung, hampir jatuh.
Aroe tidak memberi jeda. Kayu di tangannya menghantam pundak lawan.
Plakkk!
Alex meraung, “Kurang ajar, dasar anak setan!”
Sorakan para pengawal semakin ramai. Ada yang menertawakan Alex, ada pula yang takjub melihat Aroe masih berdiri dengan tatapan setenang es.
Damian kembali berbisik, suaranya tegang. “Tuan, hentikan. Alex bisa terbunuh.”
Namun Damon malah mencondongkan tubuh, matanya berkilat. “Biarkan. Aku ingin melihat… siapa yang layak hidup.”
Pertarungan semakin sengit.
Alex mengamuk, pisau peraknya menari brutal. Swiisshhh! Crassshh! Pisau itu nyaris mengenai pipi Aroe, hanya meninggalkan goresan tipis di kulitnya.
Aroe bergerak cepat, tubuhnya melayang rendah, kayunya menghantam lutut Alex.
“Arghhh! b******n busuk!” Alex hampir jatuh tersungkur.
“Kau lambat,” balas Aroe datar.
Alex menjerit marah, wajahnya merah, lalu melompat dengan ayunan penuh tenaga. Pisau peraknya melesat ke arah d**a.
Syuuuuttt!
Aroe berputar, kayunya menghantam pergelangan tangan Alex. Pisau terlepas, melayang dan jatuh berdentum.
Clangg!
Para pengawal bersorak, sebagian bertepuk tangan. “Gila! Dia menjatuhkan senjatanya!”
Alex menatap dengan mata merah penuh amarah. “Kau... bocah... b******k!”
Tanpa senjata, ia menerjang dengan pukulan brutal.
Bughh! Baghhh!
Tinju keras menghantam pipi Aroe, membuatnya mundur terhuyung.
Aroe menahan rasa sakit, darah menetes di sudut bibirnya. Tapi ia membalas. Kayu di tangannya menghantam rahang Alex.
“Ooouuhhh!! Sialan!!” Alex jatuh terduduk, darah mengalir dari bibirnya.
Damon hanya tersenyum tipis, matanya menyala dingin. “Indah… sangat indah.”
Alex memaksa berdiri meski lututnya goyah. “Aku belum kalah…” desisnya.
Aroe menatap dingin. “Kau sudah selesai, Alex.”
“Belum!” Alex meraung, menerjang lagi dengan pukulan putus asa. Tinju itu hanya menghantam udara. Dalam detik yang sama, kaki Aroe naik, mengunci leher Alex.
“Ap...” Alex tak sempat menyelesaikan kata-katanya.
Dengan sekali hentakan, Aroe memutar tubuhnya, membawa Alex ikut berputar di udara. Tubuh besar itu tak berdaya, terbalik seperti boneka kain yang terhempas angin.
WUUUSS!
BRAAAK!!!
Tubuh Alex dibanting keras ke lantai marmer. Suara benturan itu bergema, memantul di seluruh ruangan seperti ledakan yang membekukan darah.
Para pengawal ternganga, beberapa bahkan sampai memekik tertahan. “Astaga… kau lihat itu?” bisik salah seorang dengan suara tercekat. “Dia… dia melempar Alex begitu saja…”
“Tidak mungkin… dengan tubuh sekecil itu?” balas yang lain, wajahnya pucat pasi.
“Anak itu gila,” bisik salah satunya.
“Tidak… dia iblis,” sahut yang lain.
Damian, yang berdiri di sisi Damon, menelan ludah keras. “Cukup. Sudahi ini, Tuan. Alex bisa mati kalau dibiarkan,” katanya, suaranya serius.
Namun Damon hanya tersenyum tipis, matanya berbinar aneh. “Diamlah, Damian. Kau lihat? Itu… seni. Pertarungan sejati. Biarkan sampai salah satu tumbang.”
Di lantai, Alex menggeliat. Darah mengalir dari mulut dan pelipisnya, napasnya tersengal. “b******k… kau…” kata-katanya tersedak batuk darah.
Aroe mendekat perlahan. Langkah kakinya terdengar jelas, setiap hentakan sepatu bagaikan palu di d**a Alex. Ia menunduk, wajahnya datar tanpa belas kasihan.
“Dengar baik-baik,” bisiknya tepat di telinga Alex, suaranya dingin, menusuk seperti bilah pisau. “Kau sudah kalah.”
Alex mencoba menjawab, tapi yang keluar hanyalah darah dan erangan parau. Khhhk! Batukannya mengguncang tubuhnya, lalu terkulai lemah.
Hening melanda ruangan. Para pengawal menatap Aroe dengan campuran ngeri dan kagum. Tak ada yang berani bersuara lebih jauh. Bahkan suara napas mereka terasa terlalu keras.
Damon akhirnya bertepuk tangan sekali.
PLAK!
Suara itu memecah keheningan. Senyumnya lebar, penuh minat. “Sungguh pertunjukan yang memikat,” katanya, matanya tetap tertuju pada Aroe. “Aroe… bukan hanya bertahan. Ia mendominasi.”
Aroe menurunkan pisau kayunya perlahan, tubuhnya penuh memar dan goresan, namun sorot matanya tetap menyala. Ia menoleh pada Damon. “Apakah saya berhasil?”
Damon mengangguk, senyumnya mengerikan. “Ya. Tapi masih ada dua lawan lagi yang menunggumu. Dan mereka jauh lebih haus darah daripada Alex.”
Aroe menarik napas berat. Dadanya naik turun. Ia tahu, hari ini belum berakhir. Dan semua orang di ruangan itu pun tahu: pertarungan sebenarnya pasti akan seru dan lebih menantang.