02 : Kenangan

1141 Kata
“Kembali, Anak Nakal!” Teriakan itu mengiringi kepergianku. Ck! Aku tak peduli padanya. Bibi selalu membuatku pusing karena omelannya yang tak pernah berhenti seperti ketel air yang menjerit keras. “Aku pergi, Bi! Dan tak akan kembali!” teriakku sambil meleletkan lidah pada bibiku yang pemarah. Bibi mengacungkan kepalan tangannya dan berceracau tak jelas. Pasti dia tengah mengucapkan kata-kata mutiaranya yang tak sedap didengar. Kutekan topi baseball yang kupakai untuk menutupi wajahku, rambutku kugulung didalam topi ... jadi orang akan mengira aku adalah cowok remaja yang manis. Hehehe .... Seperti biasa jika sedang suntuk, aku pergi ke tempat favoritku. Di rumah pohon yang kubangun tersembunyi, tertutup dedauan yang rimbun. Aku tertidur sambil memikirkan hidupku yang tak indah. Namaku Adelia Gunawan. Usiaku 15 tahun. Aku anak yatim piatu semenjak berusia lima tahun. Setelahnya Bibi Margaretha yang mengasuhku. Dia seorang perawan tua yang sangat jutek, selain itu amat pelit dan matre. Dia membiayai hidup kami dengan peninggalan asuransi orangtuaku. Dan sepertinya akhir-akhir ini Bibi banyak memanfaatkan untuk berjudi online. Kami nyaris bangkrut. Itu sebabnya hidup kami sangat terbatas. Bahkan aku harus menjadi anak jalanan untuk mendapatkan beberapa keping uang. Sambil menggigit ranting kecil, aku menikmati ketenanganku di dalam rumah pohonku sampai aku mendengar suara percakapan beberapa orang. “Elgon, kita tak bisa terus berlari dengan keadaan seperti ini. Tinggalkan saya, cari pertolongan.” “Tapi saya tak bisa meninggalkan Mr ....” “Saya baik-baik saja, Elgon. Pergilah.” Aku mendengar seseorang dari mereka pergi. Jadi tinggal satu orang saja. Penasaran, aku mengintipnya dari rumah pohonku. Sampai limabelas tahun debutku di dunia ini, aku belum pernah melihat pria setampan ini. Wow, dia begitu memukau. Semua yang ada di dalam dirinya begitu pas dan indah. Dia blasteran, dan aku tak tahu pasti dia blasteran apa saja. Aku terpaku menatapnya, hingga tak sadar menjatuhkan ranting kecil yang sedari tadi kugigiti. Ranting itu melayang jatuh mengenai kepala pria itu. Dia spontan mendongakkan kepalanya. Pandangan kami bertemu. Manik matanya biru kehijauan, secerah langit. Aku tak pernah melihat mata seindah itu, kurasa aku jatuh cinta pada pandangan pertama padanya. Kamu gila, Adel! kataku pada diri sendiri. Aku masih 15 tahun dan aku jatuh cinta pada pria tampan yang telah dewasa! Namun, dia begitu mempesona. Wajar, kan, aku terpikat padanya? Aku tersentak dari lamunanku ketika pria itu berdeham keras memperingatkanku. “Adik kecil, apa yang kau lakukan di atas sana?” tanyanya dengan senyum di matanya. “Sembunyi.” Dia mengerutkan dahi mendengar jawaban asalku. “Sembunyi dari kehidupan,” lanjutku sambil nyengir. Dia tersenyum geli. Aduh, jangan senyum terus Om. Hatiku menggelepar dibuatnya. Ingin sekali melihatnya dari dekat. “Om, mau naik kesini? Kita bersembunyi bareng,” usulku tiba-tiba. Dia tercengang mendengar tawaranku. “Om? Naik kesana?” gumamnya mengulang sebagian pertanyaanku. Lagi-lagi dia tersenyum geli, tampan sekali! Astaga, astaga ... hatiku mendadak kram. Bergetar keras hingga aku harus mengelus d**a untuk menenangkannya. Perhatian sedikit teralihkan karena mendengar suara ranting patah di kejauhan. Apa ada seseorang yang menginjak ranting itu? “Om, sepertinya ....” Aku terkesiap menyadari dia telah ada di hadapanku. Kapan dia naik? Dia bisa memanjat pohon sangat cepat! Dan kini berada di depanku. Sangat dekat, hingga aku bisa melihat jelas wajahnya. Amboi, dia semakin tampan dilihat dari dekat. Dengan butiran keringat yang menghiasi dahinya. Menggemaskan. Tak sadar tanganku terulur untuk menghapus peluhnya. Mata pria itu melebar melihatku. Namun mendadak dia menarikku masuk ke dalam rumah pohon. Terlalu sempit didalam sini. Tubuhnya yang besar mendominasi ruangan. “Om, apa gak terlalu se ....” “Psttt!” Dia menutup bibirku dengan jarinya. Aku terdiam seketika, menatapnya takjub, sementara dia mengintip ke bawah. Mengapa dia terus menempelkan jarinya di bibirku? Aku jadi gemas, ingin menggigitnya. Astaga, Adel ... sadar! Kamu bukan kanibal. Aku mencoba mengingatkan diriku sendiri. Dia tampak tegang, apa yang dilihatnya di bawah? Aku mencoba mengintip melalui bahunya. Kebetulan dia menoleh padaku. Jiaaah, hidung kami bersentuhan. Mendadak aku seperti tersetrum, seakan ada aliran listrik yang mengalir dari tautan hidung kami. “Adik kecil, mengapa pipimu memerah?” tanyanya lirih. Yaelah, Om. Masa aku harus menjawab aku merona dibawah penglihatanmu? Dia akan menganggapku apa? Anak kecil keganjenan? Oh no! Aku mengipas-ngipas wajahku dengan tangan. “Kamu kepanasan?” Dia bertanya penuh perhatian. Aku menunjuk pada jarinya yang masih menempel di bibirku. Dia tersadar seketika dan tersenyum geli padaku. Lantas memindahkan jarinya dari bibirku. “Maaf, saya lupa melepasnya.” Lupa selamanya juga tak apa, Om. Pegang erat aku seumur hidup Om, batinku spontan. Fix. Pikiranku korslet berat semenjak bertemu Om yang gantengnya kelewatan ini. Si Om melirik lagi ke bawah, aku jadi penasaran. “Apa yang Om intai di bawah?” “Bukan sesuatu yang penting. Sepertinya dia telah pergi.” Om Ganteng itu mengalihkan pandangannya padaku. “Terima kasih, Adik kecil. Kamu penyelamat saya.” Aku penyelamatnya? Apa yang telah kulakukan? Hanya karena menatapnya aku menjadi pahlawan baginya? Aneh. “Om ada-ada saja. Adel tak melakukan apapun.” “Jadi namamu Adel? Sungguh nama yang manis, seperti pemiliknya.” Baru sekali ini aku bangga pada namaku karena ada yang memujinya. “Om, ada-ada saja,” selorohku malu. “Sedikit panas disini, kan? Ayo kita keluar.” Dia menarikku keluar, lantas memandang ke bawah seakan memastikan sesuatu. “Saatnya kita berpisah. Adel, terima kasih telah mengizinkan saya berkunjung ke rumah pohonmu. Sampai jumpa.” Dia mengulurkan tangan besarnya. Aku menyambutnya dengan hati-hati, khawatir jantungku akan meledak jika menyentuhnya. Oke, aku lebai. Tangannya hangat dan kokoh, terasa nyaman bersamanya. Begitu dia berlalu, aku baru menyadari kesalahan fatalku. Aku tak tahu namanya. Kurasa aku akan mengingatnya dengan title ‘Om Ganteng’ dalam episode hidupku yang berkesan. *** Tujuh tahun kemudian .... “Adel! Dimana kamu?” Suara itu membuatku gemetar. Sial, bagaimana dia bisa mengejarku sampai kemari? Apa dia punya alarm yang bisa mendeteksi kehadiranku? Aku menekan topiku semakin ke bawah. Dengan rambut yang kugelung di bawah topi, apa dia bisa mengenaliku? Semoga tidak! Aku melangkah cepat, berusaha menjauhi pamanku yang jahat tanpa kentara. Namun rupanya keberuntungan belum menghampiriku. “Adel, berhenti disana!” Shit! Dia memergokiku. Aku segera berlari tak tentu arah. Sengaja kuambil jalan berkelok-kelok untuk membuat pamanku yang jahat itu kebingungan. Tiga tahun lalu seorang lelaki menikahi bibiku. Aku memiliki firasat buruk saat melihat penampilan lelaki itu yang sangat mirip preman pasar. firasatku tak salah. Lelaki itu sangat jahat, dia sering main tangan pada bibiku. Dan beberapa hari lalu aku memergokinya membunuh bibiku. Sekarang dia memburuku karena aku saksi mata kejahatannya. “Berhenti, Adel! Aku tak akan menyakitimu!” teriak Pamanku. Bohong! Dia pasti akan membunuhku kalau berhasil menangkapku. Aku semakin panik, hingga tak menyadari aku menabrak seseorang dari arah berlawanan. Duk! “Maafkan sa ....” Aku terdiam begitu tahu siapa yang kutabrak. Dia adalah Om Ganteng! Tujuh tahun sama sekali tak merubah wajahnya, bahkan dia semakin tampan dan memikat dalam usia matangnya. “Adel?” tanyanya ragu. Dia mengingatku! Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN