[1] Wedding Day
Sebuah gedung dengan hiasan berwarna putih tampak menghiasi seluruh ruangan. Kursi kayu mahoni tertata rapi menghadap ke sebuah panggung kecil yang berada di depannya. Lantunan suara piano dengan biola yang lembut pun menambah suasana harmoni di ruangan itu. Satu persatu tamu berdatangan dengan riasan anggun dan rupawannya lalu menempati kursi yang telah disediakan. Mereka semua dengan sabar menanti kehadiran dua orang yang paling ditunggu saat ini.
Sreeet!
Suara pintu utama berdecit. Menampilkan seorang wanita dengan gaun panjang berwarna putih yang bahkan hingga menyentuh lantai lengkap dengan buket bunga di tangannya, sedangkan di sampingnya terdapat seorang pria dengan perawakan kurus berotot dengan setelan jas berwarna senada dengan pasangannya sedang berdiri dengan gagah menghadap ke arah depan.
Sepasang insan yang akan disatukan dalam sebuah ikatan pernikahan itu, perlahan melangkahkan kakinya menghampiri altar yang sudah disiapkan. Seorang pendeta berdiri di sana dengan buku dan senyuman manisnya menyambut mereka. Tamu undangan yang hadir pun tampak terharu dan bahkan beberapa wanita sampai menitikkan air matanya.
Mereka berjalan perlahan melewati kursi tamu undangan satu persatu. Wanita itu bisa merasakan bahwa seluruh mata tertuju padanya, sedangkan pria di sampingnya hanya menatap dingin altar pernikahan yang berada di ujung pandangannya.
“Apa kau Damien Zeousin, bersedia menerima Aphrodite Kythiria sebagai istrimu? Senantiasa bersamanya dalam suka maupun duka?” tanya pria paruh baya yang berdiri di hadapan pria bernama Damien itu.
Damien membuka mengangkat satu tangan kanannya ke udara, “Saya bersedia,” jawabnya.
Pandangan sang pendeta kini beralih pada seorang wanita yang berdiri di sisi kiri Damien.
“Apa kau Aphrodite Kythiria menerima Damien Zeousin sebagai suamimu?”
“Saya bersedia,” jawab Aphrodite sembari mengangkat satu tangan kanannya.
Pendeta itu telah menyatukan dua insan dalam sebuah ikatan pernikahan. Ia pun tersenyum lembut dan menutup bukunya lalu turun dari altar.
Aphrodite dan Damien memutar balik tubuh mereka dan tersenyum menatap tamu yang hadir. Sorakan ramai terdengar menggema ke seluruh ruangan. Meski Damien berusaha tersenyum dengan ramah, namun kenyataannya Aphrodite bisa mengetahui bahwa pria itu sama sekali tidak merasa bahagia dengan garis kehidupannya.
*****
Upacara pernikahan yang cukup melelahkan bagi Damien dan Aphrodite akhirnya berakhir. Sepasang pengantin baru itupun segera berlari ke kamar hotel yang memang sengaja disiapkan bagi mereka.
Damien masuk ke kamar terlebih dahulu diikuti dengan Aphrodite yang susah payah masuk karena gaun pernikahan yang ia gunakan terlalu panjang dan cukup berat. Aphrodite berdecak kesal melihat Damien bersikap tak acuh padanya. Sorot matanya terus membuntuti sosok Damien.
Damien melepas jas yang ia kenakan dan melemparkannya ke sembarang arah hingga tersangkut di sofa yang tidak jauh dari tempat ia berdiri. Ia lantas membalikkan tubuhnya dan melempar tubuhnya ke atas tempat tidur dengan wajah menatap langit kamar. Satu lengannya ia gunakan untuk menutup wajahnya.
Aphrodite tampak risih dengan gaun yang ia kenakan. Ia berusaha meraih pengait yang berada di belakangnya. Menyerah dengan usahanya sia-sia, ia melempar pandangannya pada Damien dan ia bisa melihat Damien yang hanya memejamkan matanya dengan pakaian yang sudah berantakan di atas tempat tidur.
“Apa kau tidak bisa membantuku?” tanya Aphrodite memberanikan diri pada Damien.
Damien bergeming. Ia menggeser lengannya dan menatap Aphrodite, tatapan mereka bertemu. Damien menghembuskan napasnya kasar dan bangkit dari posisinya lalu menghampiri Aphrodite.
Tanpa bertanya apa yang harus ia lakukan, Damien langsung berjalan ke arah Aphrodite dan berdiri tepat di belakang gadis itu. Tangannya terulur dan meraih pengait yang berada di punggung Aphrodite. Secara perlahan Damien membukanya hingga seluruh pengait berhasil lepas.
Aphrodite menelan ludahnya. Pikirannya pergi entah kemana. Ditambah kini dia berada dalam satu ruangan dengan seorang pria yang kini sudah berstatus sebagai suaminya.
Damien menatap punggung mulus Aphrodite. Kini ia menyentuh kancing kemejanya dan membuka kancing miliknya satu persatu hingga seluruhnya terlepas. Ototnya terlihat dengan jelas dan kini tubuh bagian atasnya pun sudah tak tertutupi oleh sehelai benangpun.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Aphrodite menyadari jika Damien masih berdiri di belakangnya.
Wanita itu memutar tubuhnya dan melihat Damien yang sudah setengah tak berbusana. Hanya tersisa celana panjang berwarna hitam di bawahnya. Aphrodite melihat Damien dari atas ke bawah dan mengerenyitkan dahinya.
“Tidak mungkin sekarang, kan? Sunggu aku tidak siap,” ujar Aphrodite dalam hatinya.
“Lihat apa?” tanya Damien dengan nada dinginnya.
Ia menggulung kemeja putih yang bekas ia gunakan tadi lalu pergi meninggalkan Aphrodite yang masih menjadi patung dan masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar itu.
Detak jantung Aphrodite seolah terhenti beberapa saat yang lalu dan kini kesadarannya baru saja kembali. Pikiran Aphrodite tidak karuan, apalagi dia bisa melihat dengan jelas tubuh berotot dan enam kotak yang tercetak dengan jelas di perut milik Damien.
Aphrodite duduk di tepi kasur dan berusaha mengumpulkan nyawa yang hilang beberapa saat yang lalu. Ia bisa mendengar suara percikan air dari arah kamar mandi, menandakan bahwa Damien sedang mandi di dalam sana. Tanpa menunggu waktu lama, Aphrodite segera bangkit dari duduknya dan mengambil beberapa pakaian lalu mengganti gaun pengantinnya dengan piyama berbahan satin.
Beberapa menit berlalu. Suara percikan air pun berhenti. Pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan sosok Damien yang hanya berbalut sebuah handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Tangannya sibuk dengan sebuah handuk kecil yang berada di atas kepalanya dan berusaha mengeringkan rambutnya yang basah.
Langkahannya terhenti saat melihat Aphrodite yang sudah berganti pakaian dan sudah menghapus seluruh riasannya. Wanita itu tertidur sembari memeluk erat sebuah guling. Damien mendelik, memperhatikan apakah wanita itu benar tertidur atau tidak.
Deru napas Aphrodite sangat teratur meski posisi tubuhnya begitu tegang. Damien mengangkat sebelah alisnya dan ia memastikan bahwa Aphrodite sudah terlelap ke dalam mimpinya.
“Bagaimana bisa dia tertidur padahal belum membersihkan tubuhnya sama sekali?” gumam Damien.
*****
Sinar matahari menyeruak masuk ke dalam kamar hotel melalui celah gorden. Hawa dingin yang dikeluarkan dari pendingin ruangan membuat Aphrodite semakin malas untuk bangun dan memulai harinya.
Sebesit pikiran pun hadir dalam benaknya. Matanya langsung terbelalak saat ia menyadari jika kini ia sudah bukan lagi seorang wanita lajang. Ia adalah istri dari seorang pria bernama Damien Zeousin.
Ia langsung duduk dari tidurnya dan meraskan pening karena gerakan tiba-tiba yang ia lakukan. Darahnya belum sepenuhnya mengalir dengan baik, apalagi ia baru saja terbangun dari tidurnya yang nyenyak.
Pandangan matanya mengedar ke seluruh penjuru kamar. Sisi ranjangnya bahkan sangat rapi, seolah tidak ada yang pernah tidur di sana.
Aphrodite menggeserkan tubuhnya dan menggunakan sendal yang berada di sisi tempat tidur. Matanya menangkap sebuah kertas berwarna putih yang berada di sisi gelas yang masih mengeluarkan uap panasnya. Ia yakin jika kopi itu pasti dibuatkan oleh Damien beberapa saat yang lalu.
Tangannya meraih secarik kertas dan ia mulai membaca tulisan yang ada di kertas itu.
“Maaf jika aku belum sempat memperkenalkan diriku dengan baik. Mungkin jika kita bertemu lagi, kita bisa saling mengenal lebih baik. Maaf juga aku tidak pamit, aku buru-buru pergi karena tertinggal pesawat pagi ini. Aku sudah buatkan secangkir kopi. Aku bingung harus the atau kopi, tapi aku memilih kopi. Jika kurang manis, kau bisa meminta gula tambahan. Damien.”
Aphrodite membaca setiap kata itu, lalu melemparkan pandangannya pada secangkir kopi di hadapannya.
“Hanya ini saja? Tidak ada penjelasan lain kemana dia pergi dan kapan dia kembali? Bagaimana dengan naf—”
Celotehan Aphrodite terhenti ketika ia mendengar sebuah suara notifikasi yang berasal dari ponsel yang ia letakkan di nakas samping tempat tidur. Aphrodite pun mengambil ponselnya dan melihat pesan yang masuk.
Sebuah pesan anonim masuk, tanpa nomor dan tentu saja tanpa nama pengirim.
*
From : Anonymous
Aku sudah mengirimkan uang dua puluh ribu dollar ke rekeningmu. Aku harap itu cukup untuk sebulan.
*
Aphrodite teringat jika ia bahkan belum menyimpan kontak Damien. Tidak, bukan belum menyimpan, mungkin lebih pas lagi jika ia berkata bahwa dirinya dan Damien yang kini berstatus menjadi suaminya bahkan tidak pernah saling berbagi kontak.
"Tapi tunggu dulu. Memangnya dia mau pergi kemana sampai mengirimkan uang untuk satu bulan?" gumam Aphrodite.