Naya menunggu Intan bicara cukup lama.
Tumben, tahan diem lama!
Ini rekor pertama Intan, tidak bicara sampai beberapa menit lamanya.
"Ntan. Aku nungguin, loh," ucap Naya akhirnya. Menyadarkan Intan dari bengong panjang yang tidak Naya ketahui tu anak ngelamunin apa?
"Eh, nggak jadi, deh." Intan menjawab dengan raut wajah yang terlihat berbeda dari biasanya.
Ish ... Dasar! Mulai aneh, deh, dia!
"Aish ... Gak jelas, deh, kamu." Naya memonyongkan bibirnya beberapa centi ke depan. Tak habis pikir dengan sahabatnya yang tadi ingin bicara tapi malah gak jadi.
"Ya udah, balik kedai aja, yuk. Aku takut Dinda nggak bisa diem di sana. Malah ganggu bapak sama ibu," ucap Naya, sama sekali tidak bertanya apa yang sebenarnya ingin Intan bicarakan. Maklum yaa ... Dia tidak punya predikat kepo dan hal lain di luar kata belajar. Jadi untuk memaksa Intan bicara, itu adalah hal yang mustahil.
Naya bahkan memutuskan untuk balik ke kedai orang tuanya.
Intan yang mendengar itu, hanya menggerakkan bibirnya ke depan. Menggantikan posisi Naya yang tadi bergerak demikian.
"Nay. Elo sama Bian, kan, udah sahabatan dari lama? Dia pernah pacaran nggak, sih, sebelumnya? Kepo banget, deh, gue. Masa tiap kali gue ngomong, dia responnya ham Hem, doang." Intan berbicara tanpa jeda. Dan itu sudah menjadi kelebihannya selama ini.
Berbicara panjang tanpa jeda nafas, itu sudah bakat Intan dari lahir.
"Trus kenapa coba, itu anak keliatan gak bisunya, kalo sama elo doang?!" Intan berbicara lagi.
Naya mengedikkan bahu tanda tak mengerti.
"Mungkin karena aku lebih ...." Naya sengaja menggantungkan kalimatnya.
Pasti setelah ini, Intan akan histeris minta diberitahu.
"Lebih apa?"
"Lebih pinter ngomong," jawab Naya tertawa. Berhasil mengerjai Intan.
Jelas-jelas untuk urusan bicara, Intan lah jagonya.
"Yee ... Ngeledek gue, Lo?" Intan mulai sadar bahwa Naya hanya meledeknya.
Keduanya tertawa dengan tangan saling memukul lalu saling menggenggam satu sama lain.
Tak berapa lama, mereka tiba di kedai Mari mampir pak Leo dan Bu Rena.
Di sana, sudah berdiri seorang lelaki yang tampak tak asing dengan ditemani Pak Leo di sampingnya.
"Itu siapa, Nay? Kok pakek masker? Corona udah minggat kali." Intan nyerocos bicara seperti biasanya.
"Hus ... Ga enak kalo kedengaran sama orangnya." Naya mengingatkan.
Dia berjalan mendekati Pak Leo yang sejak tadi sumringah, entah apa yang membuat dia terlihat sebahagia itu.
"Nih ... Ada yang nyari kamu. Tapi ngobrolnya jangan di sini, ya."
"Takut kayak kemaren," bisik Pak Leo di telinga Naya.
Intan yang merupakan Mrs.Kepo tentu merasakan keingin Tahuan yang besar. Hatinya seperti meronta untuk tahu apa dan siapa yang menemui sahabat kakunya. Intan merasa, seperti akan mati kalau dia tidak mengetahuinya.
Sementara Naya yang mendengar ucapan Pak Leo langsung paham maksudnya.
Owh, jadi dia cowok yang kemaren. Berani juga dia datang lagi.
Naya langsung menarik tangan Ansel menjauh dari kedai.
Intan, tentu saja dia mengikuti mereka. Tapi diam-diam agar tak mengganggu pembicaraan sahabatnya dengan lelaki yang sungguh membuat Intan seperti akan mati kalau tidak tahu wajahnya.
Ini sungguh rekor pertama dalam hidup sahabatnya, didatangi seorang lelaki dengan tinggi badan yang ideal. Pun mata lelaki itu, sepertinya membuat hati Intan menggebu untuk tahu bentuk wajah dan lekukannya.
"Lumayan berani kamu datang ke tempat orang tua saya. Bayar dua ratus ribu." Naya menengadahkan sebelah tangannya.
Mau dia artis, atau siapapun, tetap saja harus bertanggung jawab atas kekacauan yang kemaren.
Hitung-hitung bayar uang lelah karena Naya harus membereskan beberapa meja yang berantakan karena ulah artis ini.
Ah, Naya tak tahu nama aslinya. Hanya dalam filmnya saja yang dia tahu, Pangeran.
Ansel tertawa di balik maskernya.
Tak salah, dia bela-belain datang lagi ke kedai Mari mampir selepas syuting tadi, ternyata perempuan ini benar-benar berbeda dari perempuan pada umumnya.
"Oke. Tapi setelah ini, izinkan aku jadi customer VIP di kedai kamu." Ansel mengambil dompet dari saku celananya.
"Itu suka-suka kamu." Naya tak peduli dia mau jadi customer atau apapun. Toh, hanya seminggu sekali dia datang ke kedai untuk memembantu orang tuanya.
Ansel mengeluarkan lima lembar seratus ribuan dan diberikannya pada Naya.
Cih, dia kira aku mata duitan.
Naya mengambil dua lembar dan mengembalikan tiga lembarnya tepat di d**a Ansel.
"Kelebihan. Aku bukan pengemis," ucap Naya ketus. Dia hendak berlalu tapi ditahan Ansel.
"Boleh aku tahu nama kamu?" tanya Ansel tanpa basa-basi. Dari sikap Naya dan cara bicara gadis ini, Ansel tahu bahwa Naya tak suka berbasa-basi.
"Nggak boleh."
"Nay ... Ga boleh gitu, ah. Dia, kan udah baik mau bayar utang dia ke elo." Intan tiba-tiba muncul dan sok bijaksana menengahi pembicaraan Naya dan Ansel yang terlihat seperti orang bersiteru.
"Ha? Bayar utang? Apa?" Naya tak mengerti.
"Ya, pokonya itulah." Intan merasa malu karena bisa jadi kalimatnya tadi keliru, sebab sudah sok tahu, menanggapi pembicaraan singkat lelaki itu dengan sahabatnya.
"Elo ga boleh gitu kalo ada cowok mau kenalan. Selama ini, kan, elo ga ada temen cowok yang Deket sama Lo," bisik Intan.
Sebenarnya dia teramat penasaran dengan wajah di balik masker hitam di depannya.
Belum tahu saja dia wajah lelaki itu. Bisa-bisa, bukan mati penasaran lagi. Tapi mati kena serangan jantung karena saking terkejutnya.
"Ya udah kamu aja yang kenalan," bisik Naya tak mau kalah.
"Aku mau balik. Bye ...." Naya berlalu namun sebelum itu.
"Satu lagi, itu bukan kedai aku. Tapi kedai orang tuaku," ucap Naya, sempat-sempatnya berbalik dan menunjuk muka Ansel.
Intan hanya geleng-geleng kepala. Memang sahabatnya itu tak kan pernah melepas predikat jomblonya kalau terus seperti ini.
Ada cowok nyamperin malah di anggurin. Bantu Pak Leo dan Bu Rena, kan, bisa besok-besok.
Intan masih tak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya yang satu itu. Berbeda sekali dari dirinya yang sudah sangat lama ingin kembali merasakan yang namanya pacaran.
Heuh ... Rasanya masih terlalu jauh untuk dia mendapatkan impian itu.
"Mbak, dia namanya Nay? Nay siapa?" tanya Ansel. Tak ingin kedatangannya kali ini sia-sia.
Ish ... Udah tau Naya ga mau. Masih aja nanya. Lagian, masa Naya doang yang dia tanya, emang dia nggak mau tanya nama aku, gitu?
"Tanya sendiri sama orangnya." Intan berucap ketus sembari memutar badan meninggalkan Ansel yang kini geleng-geleng kepala melihat tingkah dua anak SMA yang menggemaskan.
Tapi bagi Ansel, gadis yang dipanggil Nay itu jauh lebih menarik. Karena perempuan itu sudah melihat wajah tampannya, tapi masih saja jutek dan ketus. Itu sesuatu yang luar biasa bagi Ansel, sebab selama dia menjadi artis, belum pernah ada satupun orang yang melihat wajahnya dan dia tidak tergila-gila pada Ansel.
Maklum, ya ... Pesona artis tampan ini menyaingi ketampanan personal BTS yang sekarang banyak diminati warga +62.