Di apartemen Ansel, lelaki itu baru akan bersiap pergi. Tapi kehadiran Manager Ade membuatnya harus berhenti dan bicara dengannya walau sebentar.
"Mau ke mana lagi, kamu?" Manager Ade menatap ponakannya tak habis pikir.
Ansel selalu saja tidak bisa diam walau sebentar, itu membuat Manager Ade kehabisan akal menghadapi ponakannya.
"Eng ... Keluar bentar, Paman." Ansel merapikan pakaiannya yang sebenarnya sudah rapi maksimal.
"Boleh. Tapi besok kamu harus stay di lokasi, gimana?"
"Ada banyak hal yang kamu lewati karena ulah kamu sendiri. Kontrak dengan banyak iklan sudah sering kamu tinggalkan. Besok kesempatan terakhir kamu." Manager Ade teringat dengan banyak telepon yang masuk sebab Ansel yang tidak datang untuk syuting iklan.
Dan itu cukup membuat kepala Manager Ade seperti mau pecah.
"Lalu?" Ansel masih tak mengerti.
Syutingnya besok, kenapa paman hebohnya sekarang?
Ansel tak habis pikir dengan pamannya yang kelamaan menjomblo ini.
"Kamu pilih, syuting iklannya hari ini atau besok tapi waktu kamu full, ga ada waktu istirahat." Manager Ade mengutarakan isi kepalanya.
Bisa pecah kalau dia tidak segera menangani semua ini.
Kontrak dengan beberapa brand itu sudah dia tanda tangani. Kalau Ansel tidak melakukannya, atau bahkan memutus kontrak itu secara sepihak, maka ponakannya bisa kena pinalti ratusan juta atau bahkan dua kali lipat.
"Masa iya, aku ga istirahat? Udah kayak kerja ke Belanda, deh," sungut Ansel mendengar kata tidak ada waktu istirahat.
Shit, tadinya Ansel mau ke kedai Mari mampir. Berharap bisa ketemu perempuan itu di sana.
Tapi kalau sudah begini, Ansel tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus syuting hari ini, daripada besok masuk kerja penjajahan.
"Oke! Tapi besok, jadwal aku harus siang. Aku ga mau tau, paman harus atur semuanya." Ansel tak mau kalah dari pamannya.
Huft ... Tak apalah, daripada kena pinalti. Lebih baik, syuting yang untuk besok dia atur ulang, pikir Manager Ade.
Ansel tersenyum senang. Merasa menang dari pamannya yang selalu keras dan tak memberinya kesempatan menikmati dunianya.
Dunia di luar syuting, yang tidak di depan kamera dan dibawah aturan skenario.
****
Naya menghabiskan waktu liburnya dengan membantu Bu Rena dan Pak Leo. Dia mengangkat piring kotor dan membawanya ke belakang.
Dinda, tentu saja akan anteng dengan TV yang terus menyala di kedai.
"Nay ... Kamu ga pengen ke mana gitu? Masa tiap weekend malah ke kedai. Emangnya kamu ga pengen kayak temen-temen kamu?" Pak Leo mengajak ngobrol putrinya di waktu kedai sedikit sepi.
"Eng ... Nggak, Pa. Aku lebih suka bantu papa sama Mama," jawab Naya.
"Naya ...." Suara khas sahabatnya memecah obrolan Naya dengan Pak Leo.
Intan, sahabat Naya yang memiliki kelebihan pada mulutnya datang.
Eh, jangan berpikir bibir dia tebal atau gigi mancung. Dia cantik, hanya saja, mulutnya terkadang susah diem terutama saat membahas artis terkenal, Ansel Mahardika.
Dia salah satu fans garis keras Ansel yang tak pernah melewatkan satupun berita tentang artis tampan itu.
"Nah ... Itu temen Naya. Kalo ada dia, ga perlu jalan keluar, udah pasti seneng." Naya bicara dengan setengah berbisik pada Pak Leo.
"Ngomongin gue, ya?" Intan mendekat dan langsung duduk di sisi sahabatnya, di barstool bulat yang ditata di depan tempat pemesanan.
"Hehe ... Tau aja." Naya menjawab dengan tertawa kecil.
"Dih ... Ga usah di omongin, gue emang cantik." Intan mengibaskan rambutnya centil.
Naya dan Pak Leo tertawa bersamaan.
"Om, saya pinjem Naya-nya bentar, ya." Intan berbicara pada Pak Leo.
"Boleh. Tapi nanti balikinnya dilebihin, ya," canda Pak Leo.
Mereka tertawa bareng, lalu kemudian pergi dari kedai menuju tempat yang Naya tak tahu kemana Intan akan membawanya pergi.
"Nay, elo ga bosen, udah tiap hari belajar. Trus pas weekend, elo malah ke kedai orang tua Lo? Lama-lama elo kayak Si Bian tau, nggak? Ga tau caranya ngomong bahasa manusia," cerocos Intan panjang lebar.
Kok jadi bawa Bian?
"Nggak lah. Kalo nggak belajar, aku mana bisa jadi orang. Trus kalo aku gak kedai, mana bisa aku jajan." Naya menjawab dengan kalimat serius ala dia.
Huft ... Berbicara dengan Naya memang perlu stok candaan ekstra.
Dia selalu menjawab dengan serius semua pertanyaan orang.
Padahal tadinya, Intan hanya bercanda bicara demikian.
"Ngomong-ngomong, elo ada kegiatan apa lagi, sih selain cuma belajar sama bantuin nyokap sama bokap Lo?" Intan mendadak kepo dengan semua aktifitas Naya. Sebab sahabatnya yang satu ini, selalu saja hanya serius dengan buku dan suka berlama-lama di perpustakaan.
Padahal, bagi Intan, perpustakaan adalah tempat paling membosankan.
Ya iyalah, di sana dia gak boleh ngomong apalagi teriak-teriak saat dia menemukan sesuatu yang menakjubkan.
Jangan lupakan, bahwa Intan adalah makhluk dengan pemilik ekspresi lebay belebih. Dia bisa bereaksi dengan terlewat dari mode normal dalam segala hal. Baik saat sedih, bahagia ataupun terkejut.
"Belajar lah, apalagi." Naya menjawab singkat.
Mendengar itu, Intan menepuk jidatnya sendiri.
“Sulit dipercaya,” ucap Intan dengan menatap sahabatnya. Dia menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan jawaban Naya.
Baru denger jawabannya saja, sudah bikin Intan melongo, apalagi kalau dia melihat sendiri keseharian Naya yang tak berubah-ubah. Seperti hanya belajar dan belajar saja. Pasti Intan akan langsung pingsan.
“Benar-benar perlu warna baru idup lu, kawan," ucap Intan lagi, menepuk-nepuk pundak Naya prihatin.
Eh, prihatin? Bukankah hal yang Naya lakukan adalah hal yang baik untuk masa depannya?
Harap maklum, belajar adalah siksaan bagi Intan. Jadi wajar saja kalau dia menaruh prihatin mendengar jawaban dan membayangkan Naya melakukannya.
"Etapi, kamu ada perlu apa minjem aku ke bapak?" tanya Naya.
Dia tak bisa bersama Intan lebih lama lagi kalau tak penting.
Ya, Begitulah Naya. Dia akan selalu seperti itu meski dengan sahabatnya sendiri. Tapi meski begitu, Intan dan Bian tetaplah menerimanya sebagai sahabat.
Persahabatan yang bikin iri siapapun yang melihatnya.
Intan yang selalu nyerocos blak-blakan. Dan Naya yang serius dalam segala hal. Juga Bian yang pelit senyum dan irit kata.
Masing-masing memiliki sifat menjengkelkan bagi orang-orang kebanyakan. Namun justru hal itulah yang membuat ketiganya sangat dekat. Bahkan mereka senantiasa saling melengkapi bukan saling menjatuhkan, itulah kunci persahabatan ketiganya.
"Eng ... Sebenarnya aku ada yang mau diomongin soal Bian." Intan berucap dengan menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali.
"Bian?"
Tumben gak ngomong langsung?
Padahal, kan, dibandingkan dengan Intan, Bian lebih banyak bicara dengan Naya, sebab dia dan Bian sudah bersahabat sejak kecil.
Naya hanya menunggu Intan melanjutkan kalimatnya. Toh, ga akan lama.
Intan, kan paling ga bisa kalo mendem sesuatu, begitu pikir Naya.