Akara benar-benar melakukan apa yang kak Agha pinta. Dia mencoba mencairkan suasana saat kami di sekolah. Dia tak lagi peduli dengan tatapan aneh teman-teman yang lain. Aku sendiri menganggapnya berlebihan.
Seperti kali ini.
"Run, mau nitip camilan apa? Aku mau ke kantin," tawarnya.
Aku tertawa. "Kue yang ga pake bayar ada ga? Yang labelnya 'gratis' alias 'free', ka."
Tasya yang belum tahu bahwa pacarku adalah sepupu Akara, mengernyitkan kening. Sambil menowel punggungku.
"Oke. Mau berapa biji, Run?"
"Lima cukup ya, sya? Nanti kita makan bareng," kataku pada Tasya.
Tasya mengiyakan saja. "Iya, lima cukup buat kami berdua, ka ... "
Setelah Akara berlalu, Tasya menodongku dengan pertanyaan.
"Sejak kapan Aruni jadi sok manis dengan Akara? Udah ga diem-dieman lagi? Kalian berbaikan? Apa Akara jatuh cinta sama kamu?" berondongnya.
Aku mengerling nakal padanya sambil menaik turunkan alis. "Menurutmu gimana, sya? Hahaha ... "
"Jangan bilang kamu sudah jadian dengan Akara, Run .. " bisiknya. Karena tak mungkin untuk bagian ini dia berbicara normal. Masih ada banyak telinga meski jam istirahat.
"Aku masih gak ada hubungan apa-apa dengan dia. Aku gak bisa cerita." Aku balas membisikinya.
Tasya manggut-manggut dengan bibir seolah meledek.
*********
Ujian semester satu kelas 2 di mulai seminggu lagi. Kami mulai belajar berkelompok-kelompok di kelas. Aku yang memang tidak tertarik dengan cara belajar seperti ini melarikan diri ke perpustakaan sendirian. Tasya sedang berlatih percakapan dalam bahasa Inggris dengan Jessica.
Di perpustakaan aku memilih mengambil tiga majalah sastra "Horison". Lalu duduk di meja yang dekat dengan rak buku khusus anak IPS. Aku mAda yang sedang menanggalkan
kata-kata yang satu demi satu
mendudukkanmu di depan cermin
dan membuatmu bertanya
tubuh siapakah gerangan
yang kukenakan iniembaca puisi karya Sastrawan Sapardi Djoko Damono yang berjudul Metamorfosis.
Ada yang sedang menanggalkan
kata-kata yang satu demi satu
mendudukkanmu di depan cermin
dan membuatmu bertanya
tubuh siapakah gerangan
yang kukenakan ini
ada yang sedang diam-diam
menulis riwayat hidupmu
menimbang-nimbang hari lahirmu
mereka-reka sebab-sebab kematianmu
ada yang sedang diam-diam
berubah menjadi dirimu.
Puisi ini mengingatkanku akan kompetisi yang akan aku ikuti selesai ujian. Selama ini teman-teman cenderung tak tahu apa saja kegiatanku di luar. Mereka terlalu mengabaikanku karena penampilan sehari-hari di sekolah. Andai mereka tahu mungkin akan bertingkah aneh semacam meminta tanda tangan.
Awalnya keluargaku, terutama bunda, melarangku sekolah di sekolah negeri dengan pertimbangan fleksibilitas. Akan tetapi aku juga ingin punya kehidupan yang senormalnya anak usia sekolah.
"Nak, pindah sekolah ya? Ke SMA Cerdik. Sekolahnya bisa fusion antara daring dan luring pembelajarannya," rayu Bunda.
Aku menggeleng. "Ga, Bun. Aruni udah nyaman sekolah di SMAN. Aruni bisa punya kehidupan yang normal senormal-normalnya."
"Banyak proyek sosial yang bisa kamu kerjakan jika sekolah di SMA Cerdik, sayang. Anak mama katanya mau bikin yayasan? Jadi ga?"
"Haduh, Bun. Aku mau fokus di satu proyek dulu. Melanjutkan proyek literasi di desa Ambuarum. Lagi pula kegiatanku di akhir pekan sudah terisi sebagai Brand Ambassador fashion. It's enough,"tolakku halus.
Ya, aku seorang model freelance. Memilih tak terikat dengan agensi setelah lulus sekolah menengah pertama. Namun ada satu brand fashion yang tak pernah melepasku, Nama Busana. Mereka suka dengan karakterku yang enggan merubah warna kulit. Sebagian temanku di Agensi Model sebelumnya melakukan berbagai perawatan agar kulit mereka terlihat lebih cerah. Kulitku yang eksotis justru menjadi nilai tambah.
Terhitung sampai saat ini sudah 4tahun aku menjadi Brand Ambassador mereka. Pemilik Nama Busana adalah ayah Kak Agha. Setiap dua pekan sekali, aku akan melakukan fashion show atau sekedar berkunjung ke outlet resmi Nama Busana. Di outlet aku akan memeragakan beberapa baju yang ready to wear dan berinteraksi dengan pengunjung.
Bila sedang tak ada kegiatan dari Nama Busana, maka di akhir pekan aku akan berkunjung ke "Panggon Sinau" di desa Ambuarum. Panggon Sinau artinya tempat belajar.
Di sekolah ini tak ada yang tahu bahwa aku seorang model. Aku memilih berpenampilan tanpa make-up. Rambut lebih sering aku kuncir kuda dengan tali rambut biasa. Meski berpostur tinggi aku tak ikut jadi pasukan pengibar bendera. Di sekolah aku ikut dua organisasi, Pramuka dan Jurnalis.
Untuk menyempurnakan penyamaran, segala peralatan dan perlengkapan sekolah juga aku samakan dengan apa yang di pakai teman-temanku. Meski aku bisa memakai barang brand ternama, namun tidak aku lakukan. Sepatu aku memakai merk New Abad. Tas sekolah merk Buah Pala.
Bila berangkat sekolah aku naik angkutan kota. Bunda akan mengantarku sampai gerbang perumahan dengan naik sepeda motor. Awal-awal sekolah di SMAN Bunda sering menawariku supaya berlangganan antar jemput sekolah. Namun aku tak mau. Bayangan selama tiga tahun akan selalu berjumpa dengan teman yang itu-itu saja selama perjalanan, membuatku tak menyetujui saran Bunda.
*********
Pagi ini aku berangkat sekolah lebih pagi. Tadi di rumah belum sempat sarapan. Setelah meletakkan tas di kelas aku pergi ke kantin.
"Bu, pesan nasi kari satu. Ayamnya yang bagian d**a, sambelnya dua sendok. Minumnya teh tawar. Ga pake krupuk ya, Bu."
"Siap, mbak Aruni. Duduk di meja pojok yang biasa?"
Aku mengangguk. Lalu berbalik berjalan menuju meja pojok dekat jendela di sisi timur.
Dari meja ini aku bisa bersandar sambil memperhatikan murid-murid yang datang lewat gerbang belakang. Mereka yang lewat sini adalah yang membawa motor ke sekolah.
Di pagi hari hanya sedikit anak yang makan di kantin. Kantin akan penuh di jam makan siang. Bila jam istirahat, sebagian murid akan memilih membeli jajan di koperasi lalu di bawa ke kelas.