Bu Kastinah memeluk Nadia erat. Berusaha menyalurkan energi positif ke salah satu anak didiknya itu. Tadi saat sedang latihan rutin pramuka, Nadia pingsan saat upacara pembukaan. Gegas petugas dari ekstra kurikuler Palang Merah Remaja membopong tubuh mungilnya ke Unit Kesehatan Sekolah (UKS).
Bangun dari pingsan Nadia minta tolong ke Asa untuk memanggil Bu Kastinah. Salah satu dari guru wanita yang mengajar Bimbingan Konseling.
Nadia tersedu sedan begitu Bu Kas, begitu panggilan akrab beliau, datang ke ruang rawat UKS.
Jiwa keibuan Bu Kas bisa menebak ada sesuatu yang terjadi dengan Nadia. Memang Nadia bukan salah satu murid yang populer. Akan tetapi dia juga bukan salah satu murid yang bermasalah di akademik.
Pelan Bu Kas mengusap rambut Nadia. Pak Subhan, salah satu guru pembimbing ekstra kurikuler Pramuka, datang memastikan keadaan Nadia.
"Nadia, bagaimana? Sudah baikan?".
Bu Kas mengangguk mewakili Nadia. Dengan isyarat mata, Bu Kas meminta Pak Subhan keluar terlebih dahulu.
Nadia masih terisak. Sungguh apa yang terjadi pada dirinya tak pernah sekalipun ia sangka. Dia begitu polos sehingga di usia tujuh belas tahun dia baru faham apa yang menimpanya selama bertahun-tahun adalah suatu bencana. Dia tak tahu kemana hendak bercerita. Dan hari ini adalah puncak dimana ia bingung mengutarakan apa yang menjadi bebannya.
Setelah menangis selama satu jam, Nadia merasa sesak di dadanya sedikit berkurang. Dia harus bercerita ke seseorang untuk mengurai benang kusut.
********
"Bagaimana perasaanmu saat selesai menceritakan kejadian buruk itu untuk pertama kalinya, Nad?".
Nadia tersenyum sekilas. "Menurutmu bagaimana?", Nadia bertanya balik.
Nathan tertawa. "Aku pikir gurumu akan memberi saran untuk membawa hal itu ke ranah hukum. Konsekuensinya nama sekolah bisa terbawa karena kamu adalah pelajar disitu."
"Salah. Beliau mencoba menenangkanku yang masih terisak. Aku masih shock berat, Nath. Beda dengan saat ini. Saat dimana aku sudah terbiasa bercerita."
Nathan merengkuh Nadia erat. "Kenapa kamu tak membawa kasus itu ke ranah hukum? Bukti visum pasti jelas."
"Aku tak ingin hidup bersama dengan sesuatu yang akan aku sesali seumur hidup. Mengalami pelecehan bertahun-tahun saja sudah sedemikian menyakitkan. Bagaimana bisa bila aku dipaksa untuk menikah dengan orang tersebut? Bisa gila permanen aku."
"Apakah orangtuamu tahu tentang peristiwa itu?".
Nadia menggeleng. "Sampai ayahku meninggal, aku memilih bungkam. Sudah cukup banyak kesedihan semasa beliau hidup. Aku tak ingin membuat Ayah merasakan dinginnya jeruji besi. Aku tahu betul Ayah tak akan diam saja."
"Apa kau tak ingin sekali saja memberi hukuman kepada pelakunya, Nad?"
Nadia mengedikkan bahu. "Untuk apa? Tuhan sudah memberikan dia hukuman yang setimpal. Seumur hidup dia akan menjaga apa yang paling berharga."
Nathan tertawa. Nadia yang merasa curiga dengan pertanyaan Nathan berusaha mencegahnya.
"Don't ever lay your hands towards him, dear Nathan … ".
Nathan yang merasa tindakannya terendus hanya tertawa.
"Bukan tanganku yang akan melakukannya, Nad", bisik Nathan.
**********
Nadia fokus mengerjakan detail proyek dengan perwakilan dari PT Sachin Trustee, Salim Yousef Khan. Tak dihiraukannya getar berulangkali yang dia tahu pasti dari handphonenya.
"Nona, kamu bisa mengangkat panggilan dulu. Kami risih mendengar getarnya. Atau jika Nona tak mau mengangkat alangkah baiknya jika Anda memilih mode diam."
Nadia menangkupkan kedua tangan di depan d**a. "Maaf, Tuan Salim. Saya tak bermaksud mengganggu pekerjaan kita."
"It's okey."
Lalu Nadia memeriksa handphone dan melihat ada panggilan berulang kali dari Bibi Maryam.
"Tuan, boleh aku keluar ruangan sebentar? Bibiku rupanya yang menelpon," pintanya sambil menunjukkan kontak yang tertera di layar.
Salim mengangguk, mengizinkannya.
Bukan. Bukan Bibi Maryam yang Nadia hendak hubungi. Tapi Nathan.
"Nath, siapa yang kamu suruh melakukan pekerjaan itu?".
"Cepat sekali ketahuan," jawabnya.
Nadia mendecih. "Did you do the same thing as he did?".
"Tidak, Nad. Aku hanya membuat anaknya merasakan trauma yang parah. Percayalah, tak ada tindak k*******n atau pelecehan yang dilakukan anak buahku."
"Lalu kenapa Bibi sampai menelponku berulang kali? Aku sedang kerja, dengan klien penting."
"Angkat saja telepon dari bibimu, Nad", ucap Nathan sebelum mengakhiri telepon secara sepihak.
Nadia mengumpat sebelum menghubungi sang bibi.
Tanpa basa basi Nadia bertanya langsung. "Ada apa tadi menelponku? Bukannya Bibi sudah mencoret namaku dari daftar pohon keluarga Wiryawan. Oh ya, sudah lima tahun tak satu pun dari kalian mencari keberadaanku. Sudah butuh sekarang?".
"Amna hamil, Nad."
"Urusannya denganku apa, Bi?".
"Amna hamil. Pacarnya tak mau bertanggung jawab."
"Siapa suruh pacaran kelewat batas," ketus Nadia.
"Bibi minta maaf, Nad."
Nadia beringsut mendekat ke jendela. Ditatapnya pemandangan luar dari lantai 27.
"Tolong maafkan kami," suara bibi di seberang sana terdengar parau.
"Kata maaf tak akan mengembalikan apa yang sudah hilang dariku, Bi. Silakan menikmati apa yang sudah ditanam oleh Paman Osman. Klienku sudah menunggu lama."
***********
Nadia memukul punggung Nathan yang sedang asyik menonton film dengan tas tangan.
"Hei, hei … apa begini caramu menyayangiku, Nad? Ini sangat sakit," ucap Nathan sambil mengelus area yang sakit.
Nadia duduk di tangan sofa.
"Apa yang sudah kau lakukan kepada keluarga Osman?".
"Apakah kau tak percaya aku tak melakukan apapun?".
"Tentu saja tidak," jawab Nadia dengan wajah datar dan tangan bersidekap di d**a.
"Kamu tahu siapa pacar Amna?".
Nadia menggeleng. "Tidak. Setelah keluarga besar mencoretku, tak satu pun dari mereka ada yang peduli padaku. Ya meski Amna pernah dekat tapi dia terlalu patuh dengan orangtuanya. Jadi dia turut melakukan embargo."
Nathan menepuk sisi kosong di sampingnya. "Duduklah di sini, Nad. Aku ingin membaui aroma wanita yang sedang marah."
Nadia memutar bola mata malas. Walau begitu dia memilih mendekat.
"Pacar Amna, Dilan, bukan bad boys sebenarnya. Aku menyuruh anak buahku yang wanita untuk mengajari Dilan hal-hal nakal."
"Itu yang kamu bilang kamu tak melakukan apa-apa?".
"Tentu. Dilan sendiri yang menggoda Amna untuk merayakan tahun baru bersama. And the rest, no need to ask the details … ", jawab Nathan dengan santai.
Nadia menangkupkan kedua tangan di wajah. Benar memang Nathan tak melakukan apapun.
"Nad, pada akhirnya keputusan akhir ada pada Dilan. Dia mau melakukan hal buruk atau tidak, Dilan yang punya kuasa atas dirinya. Dilan pergi meninggalkan Amna."
"Kemana, Dilan?"
"Menikah dengan wanita pilihan orangtuanya."
"Jadi?".
"Amna hamil sudah lima bulan. Dia dipecat dari tempat kerja karena dianggap berkelakuan buruk. Bibi Maryam tak lagi keluar rumah sejak dua bulan yang lalu. Osman terkena serangan stroke," jelas Nathan. "Maryam menelponmu bilang apa?".
"Bibi minta maaf. Itu saja."
"Bagaimana perasaanmu sekarang mendengar kabar ini, Nad?".
"Entahlah, Nath. Amna gadis yang baik. Di sisi yang lain, aku senang tahu bahwa Osman stroke."