BAHAN TARUHAN

1225 Kata
Hari demi hari berlalu begitu cepat. Waktu seakan mengikis kebersamaan Kenzie dan Permata yang terjebak dalam belenggu tak bersyarat. Di mana pun gadis berlanding di bawah mata itu berada maka sang pangeran sekolah akan selalu menemani. Bak kisah romansa remaja pada umumnya, mereka memiliki perjalanan cerita indah sendiri. Aku, kamu menjadi kita yang terikat dalam sebuah hubungan. Itulah yang mungkin bisa menggambarkan kedua remaja itu. Permata kadang merasa ada yang aneh saat bersama Kenzie. Jika diingat-ingat lagi, gadis manis itu tidak dekat dengan sang primadona. Bahkan bertegur sapa pun tidak pernah dilakukan. Namun, setelah pernyataan waktu itu Kenzie selalu menempel padanya. Permata merasa bingung sekaligus maklum, mungkin cinta datang secara tiba-tiba. Pikiran tersebut selalu ditanamkan pada dirinya. Rumor dengan cepat berhembus, bagaimana Permata memanfaatkan Kenzie untuk mendapatkan beasiswa. Gadis ayu itu sama sekali tidak mempermasalahkan apa kata orang, baginya mereka berhak berkata apa pun. Karena yang lebih tahu tentang dirinya, hanya ia sendiri. Bagaimana pun ia menjelaskan, orang lain hanya akan tutup telinga enggan mendengar kebenaran. Satu bulan berlalu, tanpa terasa hubungan Kenzie dan Permata pun berada ditahap lebih dekat nan akrab. Bahkan mereka tidak segan mengumbar kemesraan di depan publik. Ada beberapa yang suka, tapi tidak sedikit juga yang membenci. Hari ini udara semakin dingin, salju terus berjatuhan tanpa henti. Benda putih itu pun menumpuk di tengah jalan maupun atap-atap rumah. Permata tengah berjalan di lorong sekolah mencari keberadaan Kenzie hendak mengajaknya makan siang bersama. Ia berhenti sesaat dan menoleh ke arah jendela besar melihat uap dingin menempel di sana. Senyum pun mengembang kala hari-harinya lebih berwarna akan keberadaan tuan muda. Ia pun kembali melangkah dan pergi ke berbagai tempat di mana biasanya Kenzie berada. Namun, ke manapun ia menapakkan kaki sosok itu tak kunjung ditemukan. "Dia pergi ke mana? Bukankah dia sudah berjanji untuk selalu makan siang bersama?" gumamnya, bingung. Permata pun kembali melangkah menuju belakang sekolah. Di sana terdapat gedung kosong yang sering digunakan beberapa siswa untuk sekedar bermain. Entah kenapa ia merasakan sebuah firasat mengarah ke sana. "Tidak mungkinkan Kenzie ada di sini, kan?" cicitnya lagi, "lebih baik aku kembali ke kelas saja." Belum sempat Permata berbalik, samar-samar telinganya mendengar suara seseorang. Rasa penasaran timbul membuat kedua kakinya mendekat. Pintu gudang yang sedikit terbuka menampilkan empat orang siswa dan satu siswi di dalamnya. Kening tegas Permata mengerut dalam, melihat mereka bersama. "Aku tidak menyangka kamu bisa menaklukan kutu buku itu," ucap pemuda berselung pipit. "Kenzie Pratama, kamu menang banyak," lanjut pemuda manis tersenyum lembut padanya. "Ah, aku tidak menyangka kalah dari Kenzie," balas pemuda lain. Kenzie tertawa ringan seraya menerima beberapa lembar uang dari ketiga temannya. Seperti kipas, ia menggoyang-goyangkan nya tepat di depan wajah tampan itu. "Sangat mudah, Permata sebenarnya gadis yang bodoh dan kelewat polos. Dia tidak tahu jika sedang menjadi bahan taruhan. Thank you Asad, Ikbal dan sepupuku, Daren. Tidak ada yang bisa mengalahkan seorang Kenzie." Dengan percaya diri ia memukul dadanya pelan dan bersikap congkak. Mereka hanya memutar bola mata bosan. Ikbal lalu merogoh saku seragamnya dan mengeluarkan benda pintar dari sana, kemudian memperlihatkan sebuah foto yang berhasil diambilnya waktu itu. "Aku tidak menyangka bahkan kamu sempat memeluknya seperti ini? Sungguh menggelikan," ujarnya seraya tertawa pelan. Seorang siswi berambut panjang yang tengah berdiri di samping Kenzie langsung menggandeng lengannya kuat. Kepalanya bersandar nyaman di bahu pemuda itu. "Aku bahkan harus makan hati setiap hari melihat kalian bersama. Untunglah semuanya berakhir," ucapnya kemudian. "Kasihan sekali kamu Lusi Qadira, melihat kekasih bersama gadis lain," timpal Asad seraya mempaotkan bibir. Lusi Qadira, kekasih dari Kenzie merupakan gadis pintar sekaligus putri dari pemilik sekolah. Banyak siswa yang menaruh hati padanya, tapi gadis itu hanya melabuhkan perasaannya untuk sang pangeran. Sejak duduk di bangku kelas sepuluh ia sudah mengagumi sosok wibawanya. Bahkan mereka menjadi pasangan favorit di sekolah itu, banyak siswa maupun siswi mengagumi keduanya. "Satu bulan sudah berlalu, apa yang akan kamu lakukan pada Permata?" tanya Ikbal kemudian. "Apa lagi? Iya mengakhiri hubungan tidak mendasar ini lah!" Tegas Kenzie. "Aku juga malas harus berpura-pura menyukainya. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada seorang gadis, lusuh, kumuh dan jelek seperti Permata? Ih, lebih baik aku tidak usah punya pasangan sekalian. Mana mungkin aku menyukai gadis seperti itu, tidak sudi," lanjutnya meremehkan, seraya bergidik ngeri membayangkan hari-hari kemarin saat menghabiskan hari bersama gadis manis tersebut. "Tetapi, apa boleh buat demi taruhan, aku harus melakukan apa pun. Kalian harus ingat untuk mengirimkan hadiah lain padaku. Tidak ada yang bisa mengalahkan Kenzie Pratama," timpalnya lagi dengan berbangga diri. Di luar gedung, Permata mendengar semuanya. Kedua tangan saling mengepal kuat dengan d**a naik turun, tidak menyangka jika selama satu bulan dijadikan bahan taruhan Kenzie dan teman-temannya. Ia tidak bisa menerima hal itu. Kebohongan adalah salah satu hal paling di bencinya di dunia ini. Tanpa menunggu lama, Permata membuka pintu kasar membuat kelima orang di sana terkejut. Mereka melebarkan kedua mata saat melihat sosoknya menampakan diri. Namun, sedetik kemudian seringaian tercetak di wajah tampan Kenzie. "Oh kebetulan sekali tuan putriku ada di sini," ucapnya langsung. "Jadi selama ini kalian hanya menjadikanku sebagai bahan taruhan?" tanya Permata membuat Kenzie menganggukkan kepala tanpa rasa bersalah. "Apa salahku pada kalian, hah? Apa perasaan seseorang memang untuk dipermainkan? Di mana hati nurani kalian?" ujar Permata menggebu, dadanya naik turun menahan emosi yang membuncah. Kenzie berjalan perlahan lalu mencengkram kerahnya kuat. "Dengar yah Permata, kamu tidak pantas berkata seperti itu. Derajat kita berbeda, aku di atas dan kamu di bawah. Mana sudi aku jatuh cinta pada gadis lusuh sepertimu." Tanpa takut Permata membalas tatapan Kenzie tak kalah sengit. Sorot mata mereka berbicara dengan kemarahan kian menjadi. "Aku memang gadis lusuh dan miskin, tapi setidaknya aku punya hati yang tulus. Kalian memang menang dalam harta, tapi kalian lebih rendah dari sampah." Kenzie semakin mengeratkan cengkeramannya lalu menghempaskan tubuh Permata sampai terjatuh. Tidak sampai di sana bahkan pemuda itu menindihnya kuat dan hendak melayangkan pukulan. Namun, dengan cepat gadis tersebut menangkapnya. "Aku tidak sudi tangan kotormu mengotori wajahku. Kamu laki-laki pecundang yang berani melawan perempuan. Pergi!" tegas Permata dengan suara dingin nan tajam. Melihat sorot mata marah dan berapi-api, Kenzie menurut lalu bangkit dari posisinya. Permata pun melakukan hal sama kemudian menepuk-nepuk pelan seragamnya yang kotor. "Aku harap sekumpulan sampah ini tidak usah berurusan denganku lagi. Terima kasih untuk waktu satu bulan ini, memberikan noda hitam dalam catatan buku kehidupanku. Sampai jumpa semoga hari kalian menyenangkan." Setelah mengatakan itu Permata angkat kaki dari hadapan mereka. Kenzie menatapnya dalam diam dengan gigi saling gemeletuk, wajahnya sedikit memerah mendengar penuturannya. Ada hal tidak biasa yang ia rasakan dalam dadanya. Asad, Ikbal dan Daren terkejut melihat perubahan drastis dari Permata. Mereka pikir gadis itu seperti seekor kelinci yang mana hanya diberi sepotong wortel bisa menurut begitu saja. Namun, siapa sangka kelinci tersebut mengeluarkan taringnya dengan sangat tajam. Kata-kata yang keluar dari mulut kemerahan Permata menampar kuat diri mereka. Ketiga pemuda itu terdiam kaku dan sadar akan kesalahan. Permata keluar dengan kekecewaan, menjadi korban keegoisan Kenzie mematahkan perasaan teramat dalam. Ia tidak menyangka jika waktu yang pernah mereka habiskan bersama mengandung racun mematikan. "Aku tidak mengerti dengan semuanya. Apa aku benar-benar hidup di dunia ini? Kata-kata manisnya waktu itu ke mana perginya? Apa hanya omongan kosong belaka? Dusta menari dalam kepalaku dan tertawa begitu riang," benak Permata, sendu. Ia menengadah menghadapkan wajah cantiknya ke atas langit. Perlahan salju turun mendarat di pipi kemerahan iitu. Sejenak ia memejamkan mata menikmati dinginnya udara sekitar, mampu mengikis kan kegelisahan serta kekecewaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN