Langit masih nyaman dengan awan mendung menghiasi cakrawala. Langkah ringkih seorang gadis meninggalkan jejak di atas salju mengiringi kisah remajanya yang berantakan.
Air mata menemani setiap episode yang ia tinggalkan di sana. Satu persatu bulir demi bulir kristal bening dari langit berjatuhan menemani kepiluan. Dusta, satu kata yang terus menertawakan penderitaan.
Permata hanya seorang pemuda lemah yang terkadang membutuhkan air mata untuk meluapkan kepedihan. Naif, menempati kedudukan paling atas menjadi ciri khasnya saat ini.
Kebodohan membayangi menjadi kepiluan tidak bertepi. Bersamaan dengan angin berhembus langkahnya tertahan di tepi jalan.
Tidak ada siapa pun yang terlihat di sana, orang-orang enggan keluar di cuaca ekstrem tersebut. Hanya ia seorang diri dengan kesedihan terus memeluknya erat. Tanpa ada kata terlontar gadis cantik itu menangis dalam diam.
"Sakit sekali, di saat aku sudah percaya ternyata pisau itu menusukku dari belakang. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" benaknya, gamang.
Lama ia berdiam diri dalam posisi seperti itu membiarkan tubuhnya terselimuti hawa dingin yang kian mendera.
Tidak lama berselang ponsel yang berada di saku seragam bergetar, tertera nama ibu di sana. Sebelum menerima panggilan tersebut ia menarik napas panjang dan menghembuskan nya perlahan.
"Iya ma, ada apa?" ucapnya kemudian.
"Permata, ibumu masuk rumah sakit." Penjelasan dari orang di sebrang sana membuat netra nya melebar, bukan suara ibunya yang terdengar melainkan orang lain.
"APA? Baik aku ke sana sekarang."
Secepat kilat Permata berlari sekuat tenaga menuju rumah sakit. Ia takut sungguh dirinya tidak sanggup jika harus melihat orang paling dicintanya terbaring lemah di atas ranjang.
***
Jam menunjukan pukul empat sore, Permata tiba di rumah sakit kota dengan napas tersengal-sengal. Di lorong itu ia melihat sang ayah dan teman ibunya tengah duduk bersama. Ia lalu berjalan perlahan mendekati mereka.
"Permata," ucap wanita paruh baya tersebut menangkap keberadaannya.
"Bibi Lian, bagaimana bisa ibuku masuk rumah sakit?" tanyanya seraya menahan tangis.
"Ibumu jatuh dari tangga," jelasnya membuat Permata langsung menangkup kedua bahu wanita bernama Lian itu.
"Ba-bagaimana bisa jatuh?"
"Ibumu tadi sedang mengepel dan tidak sengaja menginjak genangan air di tangga setelahnya inilah yang terjadi."
Permata lemas seketika dan melepaskan tangannya. Kepala bersurai lembut itu pun menunduk dalam seraya menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Ia kembali menangis dalam diam tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada sang ibu.
"Tidak usah menangis seperti seorang anak kecil, cengeng sekali."
Suara berat dari arah samping menyadarkan. Permata lalu menoleh menyaksikan sang ayah yang tengah berpangku kaki sambil bermain ponsel.
Pria paruh baya dengan kumis tipis di atas bibirnya terkesan dingin dengan situasi yang terjadi.
"Apa tidak ada sedikit saja rasa khawatir yang Ayah rasakan? Mamah jatuh, apa Ayah tidak mencemaskan nya?" tanya Permata membuat pria itu beralih pandangan.
Dimas, mengangkat kepalanya lalu menyeringai lebar.
"Khawatir? Tidak akan ada yang terjadi pada ibumu. Kamu terlalu berlebihan, Permata. Lebih baik sekarang kamu pulang dan menggantikan ibumu bekerja. Kita tidak boleh mengecewakan Tuan Pratama."
Mendengar itu Permata menatap nyalang ke arah ayahnya. "Ayah memang tidak pernah berubah. Mau sampai kapan uang menggelapkan Ayah?"
"Berani kamu menggertak Ayahmu sendiri, HAH?"
"Ayah memang tidak pernah menghargai ku maupun mamah."
"Jaga bicaramu Permata, selama ini siapa yang membiayai kalian? Sekarang gantian kalian yang harus balas budi pada ayah."
"Ayah macam apa berkata seperti itu pada anaknya sendiri? Apa-"
"Sudah hentikan kalian berdua, ini rumah sakit. Jaga sikap kalian."
Lian menengahi adu mulut ayah dan anak itu. Permata menghela napas kasar dan masih menatap serius pada pria paruh baya di sana, sedangkan Lian menggendikan bahu acuh tak acuh kembali duduk di kursi tunggu.
Beberapa saat kemudian, pintu depan mereka terbuka menampilkan seorang pria berjas putih keluar dari sana. Permata dan Lian pun langsung mendekatinya.
"Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?" tanya Permata cepat.
"Ibu Anda mengalami kelumpuhan untuk sementara dan kedua kakinya tidak bisa digerakkan. Yang tabah yah, Nak." Pria bername tag Kelvin itu pun menepuk pelan pundak Permata.
Gadis berumur delapan belas tahun tersebut mematung di tempat mendengar perkataan sang dokter. Ia menatap sedih pria di hadapannya berharap apa yang dikatakannya adalah kebohongan.
"Ta-tapi bisa sembuhkan, Dok?"
Doker Kelvin mengangguk pelan seraya mengulas senyum simpul. "Kemungkinan bisa, tapi yang menentukan semua tergantung yang di Atas. Berharap lah pada Tuhan, kalau begitu saya permisi dulu."
Setelah kembali menepuk pundaknya, Kelvin pun melangkah kaki meninggalkan Permata. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan gadis cantik itu masuk ke dalam ruangan. Di sana ia melihat sang ibu tengah terbaring dengan selang infus menghiasi tangan putihnya.
"Mamah." Panggilnya lemah.
Wanita paruh baya itu menolehkan kepala mendapati sang putra tersenyum lembut. "Permata putriku, Sayang."
Permata berlari dan langsung mendekap tubuh rapuh sang ibu, hangat.
"Kenapa Mamah sampai seperti ini? Mamah tidak boleh sakit," ujarnya lirih menahan tangis.
"Sayang, tidak ada yang tahu takdir seperti apa. Apa pun bisa terjadi, semua sudah diatur. Permata jangan menangis, Mamah tidak apa-apa."
Suara lembut sang ibu mengalun menggetarkan d**a Permata. Ia menyadari jika apa pun yang terjadi sudah menjadi ketentuan dan takdir semata. Bagaimanapun kita mengelak jika skenarionya seperti itu maka akan terjadi.
"Mah, aku yang akan menggantikan Mamah untuk bekerja di mansion Pratama," lanjut Permata sambil melepaskan pelukan.
Netra Mentari membulat sempurna kemudian menggeleng pelan tidak setuju dengan ucapan sang putri.
"Tidak, Sayang. Bukan tugasmu untuk mencari nafkah."
"Tapi apa yang kita harapkan, Mah? Ayah? Tidak mungkin, pria itu sibuk dengan judinya."
Permata melontarkan kata-kata sakral yang seharusnya tidak boleh diucapkan. Karena akan menimbulkan luka terdalam untuk sang ibu.
Perlahan air mata mulai menyeruak dan sedetik kemudian meluncur membasahi bantal putih rumah sakit.
Permata gelagapan dan rasa bersalah hadir begitu cepat. "Ma-ma maaf, Permata tidak bermaksud. Permata hanya kesal, kenapa ayah-"
"Sudah, Nak jangan diteruskan. Kita harus bertahan bagaimanapun ini kisah kita yang sudah menjadi takdir. Lakukan apa yang menurutmu baik. Mamah tidak bisa melarang atau pun menyetujuinya. Karena putri Mamah ini sangat keras kepala."
Sentilan kecil dari sang ibu pun mendarat di dahinya. Lengkungan bulan sabit hadir menambah kecantikan Permata.
"Terima kasih dan maaf," balasnya kembali memeluk tubuh sang ibu.
Di tempat berbeda, Kenzie baru saja pulang. Keadaan rumah yang setiap hari selalu ramai akan pelayan membuatnya sudah terbiasa.
Kedua orang tuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Kerja, kerja dan kerja. Berkedok untuk membahagiakannya lewat harta tak bersua.
Kenzie tidak menginginkan sebuah kedudukan ataupun uang yang banyak. Namun, ia menginginkan sebuah pengakuan. Bersama ayah dan ibu saling melemparkan canda tawa, sebagaimana orang mengatakan jika keluarganya harmonis.
Dusta, kembali terdengar dan menorehkan luka dalam d**a. Karena situasi dalam rumah tidak seperti yang dibayangkan orang-orang.
Iri saat melihat orang lain membuatnya terjerembab dalam sikap congkak nan angkuh. Kenzie Pratama tidak jauh dari seorang remaja yang haus akan kasih sayang. Hal itu ia lampiaskan dalam permainan kekanakan bersama teman-temannya.
Permata, nama gadis itu terus terngiang dalam ingatan menimbulkan seringaian.
"Ah, bulshit!" pekiknya seraya menghempaskan tubuh ke ranjang besar.