Tragedi
Malam itu diguyur hujan deras, angin bertiup kencang hingga pepohonan di halaman bergoyang liar. Kilatan petir sesekali menyambar langit yang muram, menambah kesan mencekam pada malam yang sudah penuh ketakutan. Di tengah badai itu, sebuah mansion megah milik keluarga terpandang Alexander berubah menjadi ladang teror.
Pintu utama rumah mewah itu hancur diterjang, kaca-kaca pecah berserakan di lantai marmer. Sekelompok pria bertopeng masuk dengan senjata di tangan. Mereka tak segan menghancurkan barang-barang berharga, memecahkan vas antik, merobek lukisan, menendang pintu-pintu kamar.
Di ruang tengah, Lucas Alexander bersama istrinya, Monica, dan putri mereka, Selina, terduduk ketakutan. Mereka bertiga berlutut di hadapan pria bertopeng yang tampak menjadi pemimpin para perampok itu.
Lucas, yang tubuhnya gemetar, mencoba menenangkan amarah pria itu.
"Tuan, silakan ambil apa saja yang Anda mau. Saya mohon jangan menyakiti kami," ucapnya lirih, penuh harap, memohon dengan suara bergetar.
Pria bertopeng itu menyeringai sinis di balik topeng hitamnya, matanya dingin dan tanpa belas kasih.
"Apa yang kau sanggup berikan padaku? Apakah menurutmu ada sesuatu yang berharga di sini?" tanyanya dengan nada menghina, menyusuri seisi ruangan dengan pandangan tajam.
"Uang, mobil, perhiasan—ambil semuanya! Tapi tolong, jangan sakiti keluarga saya!" Monica menyela, suaranya gemetar dan penuh ketakutan.
Pria bertopeng itu melangkah cepat, meraih Selina yang dua puluh dua tahun. Ia mencengkeram leher gadis itu dengan kasar, membuat Selina menjerit kesakitan.
"Aaahh!" jeritan Selina menggema di antara dentuman petir di luar sana.
"Aku tidak butuh harta benda," ucap pria itu dengan suara datar namun mematikan. "Yang kuinginkan adalah nyawanya. Tapi sebelum dia mati… aku akan menyerahkannya pada rekanku untuk… menikmatinya."
Monica terhuyung maju, tangisnya pecah.
"Tuan, tolong... jangan sakiti putri kami! Dia tidak bersalah... dia masih muda, dan ingin mengejar impiannya. tolong lepaskan dia. Ambil saja semua uang kami, semua yang ada di rumah ini!"
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Monica, diberikan oleh salah satu anak buah pria itu. Monica terjatuh ke lantai, menahan sakit, darah mengalir dari sudut bibirnya.
"Aaahh!" jeritnya, memegangi pipinya yang membengkak.
Pemimpin kelompok itu mengangkat tangan dan memberi perintah dingin pada bawahannya.
"Pukul mereka. Dan nikmati gadis ini di depan kedua orang tuanya." ucapnya dengan dingin, melepaskan Selina dari cengkeramannya dengan kasar.
"Aaah!" jeritan Selina kembali menggema saat tubuhnya terhempas ke lantai.
Di tengah kekacauan dan tangisan yang memilukan, suara langkah tergesa terdengar dari lantai atas. Seorang wanita muda dengan rambut panjang dan wajah pucat turun dengan terburu-buru. Matanya membelalak melihat ruang tamu yang kini porak-poranda dan keluarganya berlutut di hadapan pria bertopeng. Ia adalah Molly Alexander, putri sulung keluarga itu, dan kakak dari Selina.
"Hentikan!" teriak Molly histeris, berlari ke arah pria bertopeng yang berdiri dengan angkuh di tengah ruangan. "Tolong... jangan sakiti adikku!"
Pria bertopeng itu menoleh dengan perlahan. Tatapannya tajam menelusuri wajah Molly. Ada kilatan minat yang samar di balik sorot matanya.
"Tuan, tolong... jangan sakiti keluarga saya. Adikku masih muda… dia belum tahu apa-apa. Bunuh saja aku dan lepaskan mereka!" pinta Molly dengan suara gemetar, sebelum akhirnya berlutut di hadapan mereka, tubuhnya bergetar hebat.
Sang pria bertopeng berjongkok, mencengkeram dagu Molly dengan kasar, memaksa gadis itu menatap langsung ke matanya.
"Nyawamu seorang untuk mereka bertiga? Hm? Apa kau tahu akibat dari tawaranmu?" bisiknya dingin, seperti ular yang sedang bermain-main dengan mangsanya.
"Bunuh saja aku!" seru Molly lirih namun tegas. "Papa dan Mama sudah tua, mereka tak seharusnya menderita… dan Selina… dia masih punya masa depan. Tolong… bunuh saja aku."
"Molly!" teriak Monica di sela tangisnya. Ia mencoba bangkit, tapi ditahan oleh perampok itu.
Pria bertopeng itu menghela napas panjang, lalu menyeringai.
"Baiklah… aku akan pastikan mereka bertiga selamat. Tapi, sebagai gantinya…" ia membungkuk lebih dekat ke wajah Molly, suaranya berubah menakutkan, "…kau harus menyenangkan aku!"
Seketika itu juga, ia mengangkat tubuh Molly ke pundaknya seperti karung beras. Molly meronta, menendang, dan memukul, tapi tubuhnya tak sekuat pria itu.
"Tuan! Turunkan aku! Jangan lakukan ini!" teriak Molly panik.
"Apa yang ingin kau lakukan padanya?!" pekik Lucas dengan suara parau, mencoba berdiri, namun langsung dihempaskan ke lantai oleh salah satu perampok.
"Diam!" hardik perampok itu. "Kalau kalian ingin tetap hidup, jangan banyak bicara! Kalau putrimu bisa memuaskan bos kami… maka putri kecilmu akan selamat!"
"Tidak! Molly!!" teriakan Monica, terdengar melengking, sementara Molly dibawa naik ke lantai atas, tubuhnya menghilang di balik kegelapan tangga, meninggalkan kepedihan dan jeritan yang tak bisa diselamatkan siapa pun malam itu.
Pria bertopeng menutup pintu kamar dan menghempaskan tubuh gadis itu ke atas kasur. Wajah Molly pucat dan ketakutan. Namun, pria itu tidak peduli, yang ia inginkan adalah tubuh gadis yang di depan matanya.