Kejadian malam itu meninggalkan trauma mendalam bagi keluarga Alexander, terutama bagi Molly, yang direnggut malam pertamanya oleh pria menakutkan itu. Ia masih terguncang, menangis di kamarnya, membenamkan wajahnya di bantal seolah ingin menghapus mimpi buruk yang baru saja terjadi. Sementara itu, kedua orangtuanya duduk di ruang tamu yang berantakan, penuh dengan serpihan vas bunga dan barang-barang yang dirusak oleh kelompok perampok itu.
Monica memeluk putri bungsunya, Selina, erat-erat. Air matanya mengalir tanpa henti.
"Lucas, kita harus melapor polisi," katanya terbata-bata di antara isak tangis. "Kita hampir saja dibunuh... dan Molly... Molly menjadi korban pemerkos4an. Kita tidak bisa diam saja!"
Lucas mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ia berdiri sambil menatap keluar jendela dengan mata penuh kebencian dan ketakutan.
"Tidak bisa!" bentaknya tiba-tiba, suaranya terdengar seperti cambuk. "Kalau orang luar tahu kejadian ini, kita akan jadi bahan lelucon. Semua orang akan tahu bahwa putri kita telah menjadi korban kekerasan s3ksu4l. Nama keluarga kita akan hancur!"
Monica menatap Lucas dan mengangguk setuju dengam ucapan suaminya.
"Pa, Ma..." suara Selina memecah ketegangan, pelan namun penuh kegelisahan. "Siapa mereka sebenarnya? Kenapa mereka hanya merusak barang-barang dan menyakiti kita? Mereka bahkan tidak mengambil apa pun dari rumah ini."
Lucas dan Monica saling bertatapan, kesadaran yang menakutkan mulai merayap di pikiran mereka.
"Benar apa yang dikatakan Selina," bisik Monica, suaranya bergetar. "Sepertinya tujuan utama mereka bukan merampok... melainkan kita. Keluarga ini."
Lucas menggeram, membanting tinjunya ke tembok hingga membuat Monica dan Selina terkejut.
"Apa pun niat mereka," katanya penuh amarah, "Nama baikku kini tercoreng akibat perbuatan mereka terhadap Molly."
Keesokan harinya.
Di tempat lain, pria yang telah merenggut kesucian Molly berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Ia melepaskan kemejanya dengan gerakan perlahan, memperlihatkan tubuh kekar dan kulit yang masih berdarah di pundaknya. Bekas gigitan Molly terlihat jelas di sana — merah, dalam, dan marah.
Ia mengamati pantulan dirinya dengan tatapan dingin. Wajah tampannya, hidung mancung, dan sorot mata tajamnya membentuk aura yang membuat siapa pun memilih menjauh darinya. Namun kali ini, matanya berkilat dengan emosi yang dalam: dendam.
Ia menyentuh bekas gigitan itu sambil tersenyum miring, senyuman penuh kebencian dan ironi.
"Gigitannya cukup mengejutkan, Molly," gumamnya lirih, seolah berbicara dengan bayangan di cermin. "Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu... Ternyata kau adalah salah satu putri dari keluarga itu."
Matanya menajam, penuh bara dendam yang membara dalam diam.
"Lucas Alexander, Monica Benjamin..." bisiknya penuh kemarahan. "Kalian pikir bisa lari dari masa lalu? Aku akan membalas semua perbuatan kalian. Ini baru permulaan."
Ia menatap dirinya dalam-dalam, membiarkan kebencian yang selama ini ia pendam mengalir bebas dalam nadinya, menyusun rencana balas dendam yang lebih besar.
"Tuan," seru seorang pemuda yang adalah asistennya.
"Rocky, selidiki tentang Molly Alexander dan siapa pacarnya!" perintah Vincent.
"Baik, Tuan," jawab Rocky dengan patuh.
***
Malam itu, hujan deras mengguyur kota Paris, disertai angin kencang yang mencambuk jalanan dan menerbangkan dedaunan. Suasana kota yang biasanya berkilau kini tampak muram dan kelabu.
Di sebuah rumah mewah milik keluarga Alexander, suara teriakan dan tangisan mengisi udara. Lucas dan istrinya, Monica, menyeret Molly yang dalam kondisi lemah dengan kasar, tubuh mungil gadis itu terhempas ke lantai dari kasur, membuatnya meringis menahan sakit.
"Pa, Ma, tolong... jangan usir aku," isak Molly, tubuhnya gemetar, wajahnya pucat dan penuh luka.
"Pergi dari sini! Aku tidak bisa menerimamu lagi. Kau sudah ternoda dan hanya mempermalukan keluarga ini!" bentak Lucas, tanpa sedikit pun rasa belas kasihan. Tangannya mencengkeram kedua lengan Molly dengan keras, membuat gadis itu semakin tersiksa.
"Molly, kau tidak boleh memberi tahu siapa pun bahwa kau adalah anak kami. Mulai sekarang, kita putus hubungan! Kami akan memberimu sedikit uang, lalu kau harus pergi jauh dari hidup kami!" kata Monica dengan dingin, seolah Molly bukan darah dagingnya sendiri.
"Pa, Ma... kenapa kalian begitu kejam? Aku anak kalian... aku menjadi korban demi melindungi kalian dan Selina..." ratap Molly, suaranya pecah.
Air mata mengalir deras di wajah Molly saat orangtuanya menyeretnya turun menuruni anak tangga. Setiap anak tangga yang mereka lewati, semakin dalam luka di hati Molly menganga.
"Pa, Ma, tolong... jangan usir aku... kalian satu-satunya keluargaku," lirih Molly, hampir tak terdengar di tengah gemuruh hujan.
"Mulai saat ini, hanya Selina yang kami akui sebagai putri kami. Namamu akan dihapus dari daftar keluarga," tegas Lucas.
Tanpa ampun, pasangan itu mendorong Molly keluar rumah. Tubuhnya terjatuh ke tanah, menghantam genangan air hujan. Seluruh tubuhnya kuyup, rambutnya menempel di wajah pucatnya, dan dingin menembus hingga ke tulangnya.
"Aahh!" rintih Molly kesakitan. Luka-luka di tubuhnya terasa makin perih, tersiram air hujan yang dingin.
"Kalian bukan manusia... aku menjadi sasaran pria itu karena melindungi Selina dan kalian. Tapi ini... ini balasan yang kalian berikan padaku!" teriak Molly di tengah derasnya hujan, suaranya pecah dalam keputusasaan.
"Kau adalah kakaknya Selina, jadi sudah menjadi tanggung jawabmu melindungi kesucian adikmu. Sementara Jacky akan menikahi adikmu. Oleh karena itu, kau harus pergi dari sini," jawab Monica.
"Ma, Jacky adalah pacarku. Kenapa harus menikahi Selina?" tanya Molly, hampir tidak percaya.
"Apakah kau masih tidak sadar diri? Jacky adalah anak orang kaya. Mana mungkin dia menikahi seorang gadis yang telah ternoda? Selina masih suci dan bersih. Hanya dia yang bisa menaikkan derajat keluarga ini. Dan kau, jangan pernah kembali," ketus Monica tanpa ragu.
Lucas dan Monica menutup pintu dengan keras, meninggalkan Molly yang kehujanan serta terluka. Hancur sudah hidup gadis itu. Dirinya telah berkorban demi keluarga tercinta, namun dia justru dibuang setelah itu.
Molly menangis histeris. Kini hidupnya benar-benar kehilangan segalanya — tempat tinggal, keluarga, pacar, serta kehormatannya.
Hujan semakin deras, membuat tubuh gadis itu menggigil kedinginan. Di saat yang sama, terlihat sorot lampu mobil yang menerangi jalan dan sosok Molly. Dengan lemah, Molly memandang ke arah cahaya itu, dan sesaat kemudian ia pun pingsan di sana.
Sopir mobil itu segera keluar, membukakan pintu belakang sambil memegang payung untuk atasannya. Terlihat Vincent, seorang pria berwibawa, turun dari mobil dan menghampiri Molly yang sudah tak sadarkan diri.
Apa tujuan Vincent terhadap Molly? Tatapan tajamnya seolah menyimpan kebencian mendalam terhadap gadis itu.
Malam yang disertai kilatan petir seakan menambah kelam suasana. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Vincent membungkuk, menggendong Molly ke dalam pelukannya, dan meninggalkan tempat itu.
Tak seorang pun tahu ke mana Vincent membawanya malam itu. Namun satu hal pasti—sejak detik itu, hidup Molly tak akan pernah sama lagi.