Setelah dari sekolah Deeka, aku benar-benar diantar pulang oleh Indra (dengan selamat). Iya, pakai dalam kurung, agar kalian tidak khawatir. Aku pulang dengan selamat, walau diancam Indra diturunkan di tengah jalan sebanyak empat kali karena tidak sengaja memegang jaketnya.
"Makasih, ya." Aku tersenyum, turun dari motor Indra.
"Iya. Terpaksa."
"Yaudah, bye." Senyumku pudar setelah melihat wajahnya yang jutek. Ayolah, dari sekian banyak ekspresi, kenapa dia selalu memasang wajah jutek jika bersamaku? Segitu bencinya, kah?
"Tunggu."
Aku berbalik badan, menaikkan satu alisku. "Apa? Masih kangen?"
"HELM GUE, KEY." Indra memelototiku galak.
Aku menyengir. Astaga, bodohnya aku. "Oh iya, lupa."
Aku ingin melepas helm Indra yang aku pakai, tapi rasanya ada yang macet. "Ndra, kok susah?"
"Masa gitu aja nggak bisa?"
"Susaaah. Ini helm lo abal-abal, sih."
Indra mengembuskan napas dengan kasar. "Nyusahin banget sih, Lo. Sini!"
Aku berjalan beberapa langkah, dengan wajah cemberut. "Maaf..."
"Hmm." Indra menyentuh kaitan pengaman yang ada di bawah daguku. Wajahnya serius sekali.
"Ndra?"
"Apa?" Mata Indra akhirnya menatapku.
"Menurut lo, gue cantik, nggak?"
Indra sempat membuang pandangannya ke arah lain, lalu kembali menatapku. "Menurut lo, gimana?" Dia malah balik bertanya. Aneh.
"Gue? Gue cantik, lah." Aku terkekeh.
"Ya udah."
Aku merengut. "Ya udah apa?! Jawaban macam apa itu?"
"Ya semacam itu, lah. Jangan bawel, deh." Indra tersenyum kecil saat berhasil melepas helm dari kepalaku. Sepertinya dia tersenyum tanpa sadar.
"Seneng banget ya, helm lo balik?" tanyaku geli.
"Iya aja, deh. Biar cepet."
Aku terkekeh pelan, melihat senyum gelinya. Aku jadi ingin melihat ekspresi wajahnya yang lain. Sepertinya menarik.
Aduh, aku kenapa?!
***
Hari-hariku berjalan biasa saja. Aku terus bercanda dengan Lukas di kantin, mengobrol dengan Lukas di kelas, pulang naik angkot bersama Lukas juga setiap hari.
Pokoknya, selalu dengan Lukas. Memang, hanya dia yang mau berteman denganku.
Dia itu satu-satunya sahabat yang aku percaya sejak kecil.
Aku bukan tipe orang yang gampang percaya. Butuh waktu lama hingga akhirnya aku memilih Lukas untuk kupercaya.
Hanya dia yang baik.
Hanya dia yang lucu.
Hanya dia yang selalu saja bisa menghiburku.
Hanya dia. Dan aku kira, itu sudah cukup bagiku. Aku tidak butuh orang lain lagi.
Aku benci manusia yang ada di sekitarku. Mereka semua egois. Aku tidak butuh siapa-siapa di dunia nyata. Lukas saja sudah cukup.
Hubunganku dan kedua orang tuaku juga buruk. Mereka tidak bisa memenuhi semua keinginanku. Hingga aku harus tinggal di rumah kecil ini. Membosankan.
Aku iri dengan semua orang yang bisa bahagia dan pamer dengan harta yang mereka miliki. Beruntungnya!
Saat aku sedang merenungi kekesalanku, ponselku tiba-tiba bergetar. Ada panggilan dari nomor tak dikenal.
"Hallo, ini siapa? Dapet nomor gue dari mana?"
"Ini Kak Keyra, 'kan?"
"Ya. Lo siapa?" Suara lelaki ini cukup asing.
"Gue Andra, adiknya Bang Indra."
"Bohong. Jangan ngaku-ngaku. Adik Indra tuh namanya DEEKA."
"Iya, tapi gue juga adiknya Bang Indra. Kita tiga bersaudara, Deeka itu adik gue juga."
"Oh. Terus, kenapa? Ada perlu apa lo nelepon gue?"
"Cuma nomor Kakak, cewek yang ada di hape Bang Indra. Gue penasaran aja, makanya mau nanya sesuatu."
Whoa, benarkah?
"Oke. Nanya apa?"
"Lo pacarnya Bang Indra, ya?"
Hah?
"Iya, gue emang pacar Indra."
"Wah! Dugaan gue emang bener! Pantes aja di hape Bang Indra ada foto--eh, sori. Ada orangnya baru keluar dari kamar. Gue tutup dulu, ya."
"Ada foto? Foto apa?" tanyaku gemas.
"Foto cewek cantik. Tapi, gue nggak tau itu lo atau bukan, Kak."
Deg.
Indra menyimpan fotoku? Mana mungkin!
"Mungkin foto artis Korea kali, tuh. Bukan gue."
"Kalo artis Korea, harusnya gue kenal, Kak."
"Gitu, ya?"
"Eh, kok malah kita ngobrol lagi? Tuh, kan. Bang Indra mulai melototin gue. Bye."
Sial. Dimatiin.
Aku 'kan belum jawab 'bye juga'. Dasar adik dan abang sama aja!
Eh, tapi ... kayaknya lebih baik adiknya. Iya, 'kan? Dia terdengar lebih ramah, tidak seperti kakaknya yang jutek banget. Cih.