Bab 1: Kesan Pertama

883 Kata
"Gila, followers gue udah sepuluh ribu! Lebih dekat dari target gue, yey!" Aku memekik heboh, saat memeriksa salah satu media sosialku.             "Wih, keren! Promote gue, dong! Siapa tau followers gue nambah, Key,” kata Lukas dengan semangat. Lukas adalah sahabat sekaligus bodyguard pribadiku. Dia tidak tinggi, tapi tidak juga pendek. Wajahnya tidak bisa dibilang setampan Harry styles, tapi setidaknya dia punya senyum yang manis dan tidak membuatku malu jika berjalan dengannya. Kadang, aku suka mengaku sebagai pacarnya jika ada yang menggodaku. Untungnya Lukas tidak keberatan. Ia bilang, ia senang membantuku. Iya, sebaik itu sahabatku Lukas.             "Anjir. Ini gue bukan beli followers. Susah, Luk!"             "Huuu, pelit."Dia terkadang suka bertingkah layaknya adik kecil di depanku. Menggemaskan sekali, hingga terkadang aku ingin mencubit ginjalnya.             Saat aku dan Lukas masih sibuk berdebat, tiba-tiba ada pengumuman kalau pengurus OSIS harus berkumpul di ruang OSIS. Huh, perusak kesenangan orang aja. Aku kan sedang asyik pamer!                   "Noh, sosis dipanggil. Pergi sana!" Lukas mendorong-dorong lenganku, seolah mengusir. Padahal aku tahu, dia tidak suka kalau aku meninggalkannya di kelas sendirian.             "Iya, iya. Awas kalo kangen!" Aku bangkit berdiri, dan keluar dari kelasku. Hah, aku selalu merasa malas jika sudah disuruh berkumpul dengan pengurus OSIS yang lain. Mereka itu tidak ada yang menganggapku. Aku layaknya debu yang tidak terlihat.             Aku pernah memberikan pendapat dalam sebuah rapat beberapa minggu yang lalu. Dan kalian tahu apa yang terjadi? Aku ... dicuekin. Semuanya malah ngerumpi sendiri dan main handphone.             Hati saya teh sakit.             Sejak saat itu, aku malas untuk memberi pendapat atau ide setiap rapat. Aku cuma diam dan main handphone. Balas dendam memang menyenangkan.             Bodo amat, deh.             Gimana? Enak nggak dicuekin, hah?!             Saat aku berjalan menuju ruang OSIS, aku terus memegang ponselku dan melihat timeline media sosialku. Tapi, langkahku terhenti saat ada suara berat yang memanggil namaku.             "Nama lo Keyra?"             Aku menoleh ke belakang dan menatap mata tajam seorang cowok yang berbadan atletis. Eh, maksudku dia tinggi dan badannya tidak gemuk. Tapi, tidak kurus juga. Pokoknya, PAS. Mendekati seksi, malah. Astaga, apa yang aku pikirkan?!             "I-iya. Lo siapa?" tanyaku sedikit terintimidasi. Tatapannya itu … seperti menilaiku dari atas sampai bawah.             "Gue Indra."             "Ohh, Indra. Terus? Apa kita saling kenal?" Aku meringis karena ia sama sekali tidak terlihat bersahabat. Tersenyum sedikit saja, tidak.             "Nggak."             "So?" Aku kini tersenyum lebar. Agar tidak canggung, tapi ... suasananya malah jadi semakin aneh. Aku jadi menyesal tersenyum padanya.             "Gue OSIS juga. Tapi, gue jarang ikut rapat."             "Oke." Aku mengangguk mengerti. "Terus?"             "Kata Nino, gue harus bekerjasama dengan lo untuk acara amal bulan depan."             "A-apa?" Aku mengernyit. "Mana Nino? Gue harus ngomong sama dia."             Nino itu ketua OSIS. Ia menang karena memiliki banyak fans. Wajar saja. Wajahnya yang tampan, terkadang merusak pikiran adik-adik kelas yang polos.             Mereka semua tidak tahu, kalau Nino itu aneh. Serius, dia aneh. Masa dia ganti-ganti pacar tiga kali dalam seminggu? Aneh banget, 'kan? Sok ganteng. I hate him. Aku bahkan menyesal menerima tawarannya menjadi pengurus OSIS. Sangat menyesal.             "Hey, Sayang. Kenapa tadi nyebut-nyebut nama gue?"             Akhirnya yang aku bicarakan datang juga. "Nino, kenapa gue harus kerja sama cowok asing ini?" Aku menunjuk Indra.             "Oh. Habisnya, kalian cocok. Siapa tau jodoh, 'kan?" Nino lalu tertawa sambil menepuk pundakku dan Indra. "Mendingan kalian masuk ke ruang rapat, biar lebih ngerti sama tugas kalian."             “Jelasin dulu, woy! Kenapa harus dia? Nggak ada yang lain?”             Tiba-tiba ada helaan napas yang begitu mengganggu. Aku melirik Indra, lalu ia pun langsung berkata, “Lo pikir, gue bahagia satu kelompok sama lo? Di sini, harusnya gue yang paling protes ke Nino. Bukan lo.”             “Hah?” Aku menaikkan satu alisku.             “Gue juara umum satu angkatan, sedangkan lo nggak. Jadi, siapa yang paling dirugikan, hah?”             “Gue nggak b**o! Dasar sombong,” ucapku mendengus kesal.             “Tapi, kurang pintar.” Indra pun berjalan melewatiku, tidak lupa dengan ekspresinya yang sangat angkuh.             “Heh, lo belom kenal siapa gue! Jangan nilai orang asing sembarangan, dong!” teriakku, yang seharusnya masih bisa ia dengar kalau ia tidak punya gangguan pendengaran.             “Sabar, Keyra. Lo juga belom kenal Indra, kan?” Nino merangkulku sok akrab, dasar modus. “Makanya, gue jadiin kalian satu kelompok biar saling kenal. Ayolah, menurut gue, kalian saling melengkapi, kok!”             “Melengkapi dari Hongkong! Kesan pertama aja dia udah nyebelin banget!”             “Makanya, lo harus kenal dia lebih jauh, Key. Dia nggak seburuk itu, kok.”             “Masa?”             “Iya, beneran, serius!”             “Bodo.” Aku pun berjalan duluan menuju ruang OSIS. Ya, ketua OSIS kami memang tidak terlalu dihormati oleh anggotanya. Harap maklum.             “Wah, kalian bener-bener—” Nino bahkan sampai kehabisan kata melihat tingkahku dan Indra yang berani  meninggalkannya. “Gue sumpahin, kalian berdua jatuh cinta!”             “No way!” Aku menoleh ke belakang, lalu menunjukkan jari tengahku.             Aku yakin, dia pasti langsung mengumpat. Tapi, aku tidak bisa mendengarnya. Aku hanya bisa melihat dia menggerutu tidak jelas, lalu berlari mengejarku.             Aku pun berlari lebih cepat darinya. Apa dia tidak tahu? Aku ini mantan atlet lari saat SMP! Berlari adalah keahlianku. Apalagi, berlari dari kenyataan. Aku ahlinya!             Saat sampai di depan ruang OSIS, aku mengintip dan melihat tidak ada yang mau duduk di sebelah Indra. Cowok itu terlihat menyibukkan diri dengan membaca buku, dan yang lain sibuk bermain handphone. Kenapa? Kenapa dia memilih membaca buku? Dan, kenapa punggungnya terlihat begitu kesepian?             Tidak, aku tidak kasihan. Tidak akan.             Malah, aku senang. Baguslah, ternyata bukan hanya aku yang tidak menyukainya. Ternyata banyak, kan? Haha. Memang sangat wajar untuk tidak menyukai sikapnya. Dia tidak sopan, sombong, sok pintar, mentang-mentang tinggi, ganteng—eh, oke cukup. Kenapa aku jadi memujinya?  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN