Saat rapat dimulai, aku terpaksa duduk di sebelah Indra. Lebih tepatnya, aku dipaksa Nino untuk duduk di sebelah Indra. Kata dia, sebagai pembalasan karena aku kurang sopan padanya tadi. Astaga, dia begitu pedendam. Tidak baik. Padahal aku hanya berusaha menjadi diriku sendiri dan tidak mencari muka padanya. Apa itu salah? Asal kalian tahu saja, banyak sekali anggota OSIS yang suka pura-pura baik di depan Nino, hanya untuk pencitraan. Agar dicalonkan sebagai ketua OSIS selanjutnya, mungkin? Aku juga tidak mengerti alasan mereka.
Tapi, tidak mungkin karena Nino ganteng, kan? Astaga, aku tidak suka dnegan manusia pemilih seperti itu. Memperlakukan orang ganteng dan jelek dengan cara yang berbeda. Tidak boleh, manusia tidak seharusnya begitu. Menurutku, semua manusia harus diperlakukan dengan adil. Mau kaya atau miskin, jelek atau cantik, smeuanya harus diperlakukan sama sebagai manusia. Iya, kan? Apa aku salah? Kadang, Lukas suka tertawa jika mendengarku mengoceh tentang keadilan. Katanya, aku harus menjadi hakim kelak.
Haha, aku memang suka keadilan, tapi aku sama sekali tidak berminat bekerja sebagai hakim. Itu terlalu berat. Sebenarnya, aku belum berpikir soal pekerjaanku di masa depan. Menurutku, menjadi apa saja tidak masalah, asalkan halal dan menghasilkan gaji yang besar. Itu saja kriteriaku mencari pekerjaan nanti. Sederhana sekali, ya?
Kembali ke realita yang kini aku lakukan. Rapatnya ternyata membosankan, seperti biasa. Nino bicara panjang lebar, tapi intinya itu-itu saja. Aku hanya butuh waktu lima menit utuk menjelaskan hal seperti itu. Kenapa dia suka sekali bicara berbelit-belit?
Aku pun mengeluarkan ponselku dari saku, lalu mulai mengecek akun media sosialku. Wah, followersku terus bertambah. Kenapa, ya? Apa karena mereka menyukai tutorial make up-ku kemarin? Whoa! Aku tidak menyangka terlahir sangat berbakat.
"Jangan main hape." Kalian pasti bisa menebak siapa yang menegurku, kan?
Aku melirik Indra. "Masalah buat lo?"
"Banget." Nada suara Indra yang tidak bersahabat, semakin membuatku kesal.
"Apa hak lo ngatur-ngatur gue? Nino aja yang ketua OSIS selow aja, tuh."
"Nino terlalu manjain anggotanya. Padahal, semua anggotanya nggak berguna. Cuma bisa main hape pas rapat." Lihat? Dia mungkin merasa dirinya lah yang paling benar.
"Oh. Berarti, lo juga nggak berguna?" Aku terkekeh sinis.
"Memangnya gue main hape? Nggak, 'kan?"
Eh, iya. Dia dari tadi terus menyimak rapat, tanpa bermain handphone. Cowok macam apa dia? Aneh.
"Lo punya hape?" tanyaku curiga. Jangan-jangan, dia memang tidak punya handphone. Apa dia miskin? Tapi, dia terlihat tidak miskin. Sepatunya saja bermerek mahal. Atau, apa jangan-jangan sepatunya KW?
"Pertanyaan lo aneh." Indra mendengus. "Tentu aja gue punya hape. Lo pikir, gue manusia goa?"
Aku sempat terkekeh. Dia ternyata lucu juga. "Terus? Kenapa lo nggak main hape? Hello, jaman sekarang tuh gadget nomor satu."
"Gue nggak mau jadi generasi yang menunduk setiap saat. Gue nggak mau jadi kayak lo, Keyra. Amit-amit."
Aku sempat terdiam beberapa detik karena ucapannya yang begitu menusuk. "Apa? Amit-amit? Emangnya, gue seburuk itu?"
"Ya."
"Apa masalah lo? Oh, gue tau. Lo pasti nggak punya teman di dunia maya, ya? Berapa followers i********: lo? Kayaknya nggak ada, ya? Kasihan banget."
"Lo hobi banget ngoceh, ya?" tanya Indra dengan senyum merendahkan. Aku semakin tidak suka melihat wajahnya. Untuk apa ganteng, kalau b******k?
Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah mengejekku hobi mengoceh. Dasar cowok kurang asem.
"Apa susahnya jawab, sih? Sok cool banget."
"Masalahnya, gue lupa sama semua pertanyaan lo." Indra mengedikkan bahu, lalu membuka buku untuk menulis sesuatu. Ia ingin mengabaikanku. Hebat!
"Berapa followers i********: lo?" tanyaku tajam.
"Gue nggak main i********:,” jawabnya santai.
Manusia macam apa dia? Apa gunanya punya ponsel, tapi nggak punya media social?
"Pantes. Asal lo tau, followers gue udah sepuluh ribu."
"Terus? Apa hebatnya? Emang sepuluh ribu orang itu, udah pasti sayang sama lo?”
Jleb. Aku terdiam, memandangnya tidak habis pikir.
"Hey. Kalian berdua kalo ngobrol ngajak-ngajak, dong. Mesra amat."
Aku menoleh dan mendapati Nino tersenyum meledek. "Eh, sori."
"Gapapa. Selow aja sama gue." Nino terkekeh. "Jadi, udah ngerti tugas lo belom, Key?"
"Erm ... ya." Kayaknya ngerti.
"Bagus. Besok, kita ngumumin ke kelas-kelas soal acara amal sekolah kita. Ayo semangat!"
Semuanya bertepuk tangan dengan heboh. Padahal, lihat saja nanti. Paling yang kerja sungguhan hanya lima orang. Yang lain, hanya numpang nama aja biar terkenal dan ditaksir adik kelas. Cih.
Setelah rapat selesai, aku berjalan ke kelas dan tiba-tiba Indra mencegatku. "Apa lagi, sih?" tanyaku ketus.
"Nih..." Indra memberiku robekan kertas.
"Apaan, nih?"
"Nomor telepon rumah gue."
"Hah? Udahlah, gue minta Id Line lo aja. Ribet amat sih, Lo."
Indra menggeleng. "Gue nggak main Line."
"Terus? Apa?"
"Handphone gue isinya cuma game balap motor." Nada bicara Indra masih saja tidak enak didengar.
"Astaga, kasian banget hape lo. Cuma dipakai kalo main game doang, gitu?"
Indra menggeleng lagi. "Kalo gue pulang telat, gue nelepon nyokap pakai hape, lah. Masa gitu aja lo nggak tau?"
Bagus. Jadi aku yang terlihat gaptek.
"Yaudahlah, terserah." Aku mengambil kertas yang berisi nomor telepon rumahnya, dengan dengusan keras.
"Kalo yang angkat anak kecil, itu berarti adek gue."
"Siapa?"
"Namanya Deeka."
"Maksud gue, siapa yang nanya?" Aku tertawa, lalu berjalan melewatinya.
Aku kira, dia akan kesal. Tapi, ekspresinya tetap begitu-begitu saja. Membosankan. Aku paling tidak suka dengan orang yang membosankan, ketus, dingin, dan sok tahu. Hell, semua sifat yang paling kubenci ada di diri Indra semua. Wow, ini pasti takdir! Yap, takdir … bahwa aku akan jadi musuh bebuyutannya. Hah.