Pelajaran literatur klasik membahas puisi pertama yang dibuat di Jepang. Mata dan tangan Hiroto memang menghadap buku pelajaran, tapi pikirannya tidak demikian.
“Ini bukan puisi dari penulis yang sama, tapi sempat terkenal. Terbit di tahun 1824.” Sang guru membacakan puisi bertema perang yang sempat ramai di jaman dahulu.
Ditelinga Hiroto, puisi itu terdengar familier. Atensinya pun teralih ke puisi itu.
“Tuan Iwarai ini tewas diburu iblis tepat setelah menyelesaikan puisi ini. Sayangnya empat bait akhir puisi ini hilang karena kekacauan tersebut dan sampai sekarang tidak ada yang tau empat bait terakhir puisi peperangan ini,” tutur Wakano-sensei—pria tiga puluhan yang berkuliah S2 dengan jurusan Literatur klasik.
“Washi ja (aku), aku tau lanjutannya.”
Wakano-sensei menaikkan kacamatanya yang tergelincir dari hidung sambil menyipit. “Siapa ... oh, Hiroto? Kenapa kamu berkata begitu?”
“Kenapa mendadak dia berkata dengan bahasa jepang klasik?” gumam pelan si ketua kelas dengan bingung.
Hiroto berdiri, menyeringai, melipat tangan di belakang. Seisi kelas terdiam melihat sikap tidak biasa dari laki-laki itu. “Aku sempat membacanya. Di sebuah malam musim panas tahun 1824. Tepat setelah dia menulis kata terakhir dengan kuas. Aku membaca bagian akhirnya.”
Laki-laki itu melangkah keluar dari bangkunya, berdiri di antara barisan keempat dan ketiga bangku kelas. “Gaungan kesakitan terdengar perih, tapi tak ada yang menolong. Perang melawan dia yang bertanduk, tapi kita kalah lagi kali ini.” Selesai berucap empat bait terakhir puisi itu dengan gaya bicara seperti orang-orang jaman dulu, Hiroto menatap dingin ke gurunya. “Itu dia bait akhirnya.”
“Eeeiiii, sudah Bapak bilang kalau akhir dari puisi ini tak ditemukan. Mana mungkin kamu, yang jelas-jelas lahir jauh dari era itu tau?” Wakano-sensei tertawa. “Ngomong-ngomong, kenapa hari ini rambutmu begitu? Bapak tau kamu tampan, tapi itu membuatmu terlihat tua.”
“Jelas aku tau, kan aku yang menyantap jiwa penulis puisi itu.”
Sang guru dan murid kelas 1-b kembali mengerut dahi, terdiam terheran. Matsu mengerjap cepat, merasa Hiroto berkata dengan sungguh-sungguh. “Hi-hiroto, duduklah. Kau paham, kan, kalau sekarang masih sesi penjabaran?” ucapnya yang berdiri dari tempatnya duduk.
Hiroto masih menatap dingin. “Sudah lama aku tak bertingkah di permukaan, perlukah aku bermain lagi?”
Pria dengan kaos polo biru langit di depan kelas langsung melempar penghapus papan tulis ke kepala Hiroto. “Kau! Jaga cara bicaramu dikelasku! Ketua kelas, bawa b*****h ini ke ruang konseling dan bilang ke Ooyama-sensei kalau dia mengganggu sesi pelajaran.”
Hiroto yang sudah sadar—berkat pukulan tadi—kaget saat Matsu merangkulnya lalu membawanya ke luar kelas. “Loh? Tu-tunggu! Kenapa aku di bawa keluar?”
“Tidak perlu berakting amnesia, Hiroto. Bapak jengkel karena kau berkelakuan buruk di kelas tadi,” kata Matsu.
“Aku tidak berbuat apa pun! Oi, aku duduk diam sejak tadi!”
•••••
“Uwaaa, kau mencari gara-gara saat kelas Wakano-sensei berlangsung? Nyalimu besar juga, Hiroto-san,” ejek Eiji yang sudah berganti menggunakan seragam gakurannya. Dia duduk di samping kanan bangku Hiroto sedang menghabisi roti melon yang kedua.
“Berisik, ah! Udah dibilang bukan aku,” tukas laki-laki si pembuat masalah tadi, dia menyantap bekal yang dia buat di rumah.
Masao mencomot tomat ceri milik Hiroto. “Aku beneran bingung, deh. Kau sungguh baik-baik saja? Hari ini kau seperti sedang berakting.”
Hiroto diam, dia juga bingung pada dirinya sendiri. Aku bahkan tidak tau karena apa aku dibawa ke ruang konseling tadi.
“Oh iya, nanti pulang sekolah mau ikut aku beli komik?” tawar Masao yang berpikir temannya butuh jalan-jalan sejenak.
“Oke, tapi aku gak bisa berlama-lama, ya,” balas laki-laki bermanik hitam itu.
“Kau ini, komik sudah menggunung begitu, masih mau ditambah lagi?” cibir Eiji.
“Kau sendiri, koleksi baju bola yang sebanyak itu kenapa gak dipakai dan cuma dipajang?” balas Masao tak mau kalah.
Selagi kedua temannya berargumen, mata Hiroto mendapati Hiyori yang berdiri di ambang kelas dan melambai padanya. Laki-laki bersurai tersisir ke belakang itu mengerjap. “A-aku ke sana dulu ....”
Masao dan Eiji menoleh ke ambang pintu, lalu memasang senyum mengejek. “Iya, iya. Sana hampiri ojou-sama (tuan putri) yang kesepian itu, paduka,” tutur Masao yang dibalas jeweran telinga oleh Hiroto.
Perempuan yang bernama Hiyori itu bersurai panjang sepinggang tanpa poni dengan tubuh mungil. Memiliki manik berwarna jeruk di mata kecilnya. Sosok yang menggemaskan dan sempat membuat orang mengiranya sebagai anak SD.
Hiyori mendelik mendapati penampilan lain dari laki-laki yang pernah se-SMP dengannya. “Eh? Kau mau ke mana dengan rambut begitu?”
Hiroto kembali mengacak-acak rambutnya, tapi kembali rapi seperti sebelumnya. “Lihat? Rambutku aneh sekali. Bukan karena aku yang membuatnya begini.”
“Coba sini,” ujar Hiyori mengisyaratkan Hiroto tuk menunduk. Jemari siswi itu menyisir rambut laki-laki itu. Berhasil kembali lurus.
“Nah, udah kembali ke sedia kala,” ujar Hiyori riang.
Masao dan Eiji yang masih memperhatikan dari bangku Hiroto mengirim siulan. “Diam, kalian!” bentak Hiroto yang telinganya memerah.
“Yah, rambutnya kembali lagi. Kayaknya rambutmu begitu karena kau marah, Hiro-kun,” kata Hiyori menyebut nama akrab Hiroto.
“G-gitu, ya?”
Hiyori tersenyum. “Kenapa tadi kau berjalan di lorong pas jam pelajaran? Kau ketahuan tidur di kelas?”
“Itu ... tadi ada sesuatu, tapi sekarang semuanya baik-baik saja.”
Manik oranye Hiyori menangkap gelagat berbohong dari siswa itu, tapi dia tak ingin memaksakan Hiroto untuk bilang yang sejujurnya. “Oke, deh, kalau begitu. Aku mampir hanya untuk memastikan siapa siswa keren yang sejak tadi pagi digosipi oleh teman-temanku. Setelah melihatnya dihadapanku, ya, aku mengakui siswa itu keren.”
“Heeey,” rajuk Hiroto, setengah kesal setengah malu mendengar ejekan Hiyori.
Siswi itu terkekeh, melenggang pergi sambil melambai. Hiroto mendecak kesal pada rambutnya sendiri lalu kembali masuk ke kelas.
Seorang siswa yang sejak tadi memperhatikan mereka dari lorong pintu kelas sebelah mendecih tak suka, melempar kotak minuman masuk ke tong sampah. “Dasar culun.”
Keesokan paginya, setelah Hiroto kembali setelah menemani Masao ke kantin dan makan bersama di dekat lapangan, dia melihat sebuah tangan yang sedang melempar isi tas keluar lewat jendela di lantai tiga. Masao dan beberapa siswa yang berlalu di sekitar melihatnya dan beberapa berteriak menegur. Si pemilik tangan pun membalas dengan menyembulkan wajah dari balik jendela dan mengeluarkan sumpah serapah.
“Mulai lagi, si perundung itu,” kata Masao setelah menghela napas panjang.
“Siapa?”
“Takayomi Furuta. Putra pemilik pabrik Delicho yang besar itu. Inilah kenapa kau tidak boleh memiliki banyak uang. Uang bisa merubahmu jadi monster dalam sekejap,” cibir Masao menghampiri buku dan alat tulis yang dibuang itu, bermaksud membantu mengembalikannya.
Masao mendelik mendapati nama yang tertera di buku yang tergeletak di tanah. “Hiroto ....”
Hiroto mendekat saat dipanggil. Matanya membulat. “Bukuku?”
Laki-laki bersurai mullet itu memungut barang-barang temannya. “Ini semua milikmu, Hiroto. Kenapa dia membuangnya? Apa kau pernah cari gara-gara juga dengannya?”
“Aku bahkan tidak kenal siapa orangnya sebelum kau memberitahu tadi.”
Masao menyodorkan buku dan tempat pensil Hiroto yang sudah dia kibasi agar bersih dari pasir. “Dasar gila, apa dia tidak punya kerjaan selain merundungi siswa lain?” tukas Masao. “Biar aku yang menghajarnya.”
Hiroto menahan tangan temannya. “Oi, tidak usah. Dia pasti sedang mencari perhatian. Kalau kita cueki, dia bakal pergi, kok.”
“Tapi ini—“
Laki-laki bersurai hitam itu menggeleng. “Jangan. Kau tau, kan, kalau aku tidak suka meladeni hal seperti ini.”
Masao tau betul karena dia juga satu SMP dengan Hiroto. “Ya sudah. Aku ngerti. Sekarang, kita lapor guru dan ambil kembali tasmu dari dia.”
Sebelum Masao melapor, sudah ada siswi lain yang ikut menyaksikan perbuatan Takayomi dan melaporkannya langsung pada wali kelas siswa nakal itu. Tas Hiroto berhasil kembali walau harus ditukar dengan yang baru karena tas sebelumnya sudah dirobek-robek dengan cutter sampai tak bisa terpakai lagi.
Masao makin geram. “Dia gak bisa dibiarin, Hiroto!” serunya di jalan mereka pulang setelah membeli komik.
Eiji ikut setuju setelah mendengar penjelasan dari siswa kelasnya. “Pembulian tanpa alasan seperti itu sangat konyol, Hiroto. Aku setuju dengan Masao, kau harus tegas padanya.”
“Tenang saja, dia sudah ditegur oleh Sakata-sensei tadi. Itu sudah cukup,” balas Hiroto. “Hey, apa kalian punya jimat lebih? Jimatku ikut dipotong.”
Mendengar itu Eiji langsung merogoh tasnya. “Aku tidak punya omamori yang biasa, tapi aku bawa gelang koin ini.”
Hiroto menerima gelang berbandul koin dengan lubang kotak ditengahnya. Koin itu bertuliskan ‘Rubah putih’ yang dipercaya sejak dulu bisa menangkal Iblis. “Ini bukannya peninggalan pamanmu?”
“Iya, pakai saja.”
“Baiklah, terima kasih. Besok akan kukembalikan.”
•••••
Masao menatap dingin sepatu di loker Hiroto di esokan paginya. Sepatu putih milik laki-laki bersurai hitam itu dicoret-coret dengan spidol hitam permanen dan di lokernya dipenuhi sampah bungkus makanan.
Tanpa ditebak pun Masao dan Hiroto tau pelakunya. “Dasar kumbang kotoran!” bentak Masao yang mengeluarkan sampah dari loker sepatu Hiroto. Hiyori yang baru saja datang terdiam melihatnya.
“Tunggu, ada apa ini?” protes gadis itu sambil mendekat.
Masao berseru saat tangannya mengeluarkan sepatu Hiroto yang sudah dipenuhi paku payung bagian dalamnya. “Pengecut itu benar-benar ...,” sumpah siswa bersurai Hazel itu, pergi sambil masih memegang sepatu Hiroto.
“Kau mau ke mana?”
“Melaporkan ini ke guru konseling!” raung Masao.
“Kau di-bully?” tanya Hiyori.
“Enggak, kok. Ini kayaknya salah orang,” elak Hiroto. Matanya mendapati lipatan kertas di antara sampah yang jatuh. Begitu terbuka, ada tulisan ‘datang ke atap saat istirahat kalau kau ingin hal ini berhenti’.
Hiroto memasukkan surat itu ke saku celananya, lalu memasang senyum tipis. “Kau tidak ke kelas?”