•Akibara Axel•

1438 Kata
Waktu istirahat di mulai, Hiroto langsung pergi dari kelasnya menuju atap. Aku hanya perlu menegurnya untuk berhenti. Tidak perlu ada kekerasan. Aku tidak mau Ayah kecewa padaku. Dia menggenggam pintu ke atap, tapi berhenti sejenak karena kesadarannya direbut oleh sesuatu dalam tubuhnya. Hiroto menarik senyum miring seraya menarik pintu. Di luar, ada lima orang siswa lain berdiri menunggunya di sisi lain atap sekolah, berbekal kayu dan pipa besi di tangan. Siswa bernama Takayomi duduk di tepian atap, tertawa meremehkan saat tau Hiroto berani datang setelah apa yang dia perbuat dengan wajah yang tidak menunjukkan ketakutan. Laki-laki bersurai agak cepak itu berdiri, berjalan melewati siswa lain yang dia bayar untuk jadi tukang pukulnya, lalu berhenti tak jauh dari Hiroto. “Wah, wah, wah, lihat wajah itu. Kau tidak takut padaku?” kata Takayomi yang melototinya. Hiroto ber-hmm panjang, melipat tangan di belakang. “Aku? Kenapa harus takut? Toh, kau bukan siapa-siapa,” balasnya dengan logat bicara mirip pria tua. Takayomi merasa diledeki dengan ucapan dan gaya bicara Hiroto. “Kau tau kenapa aku melempar bukumu dan menaruh paku di sepatumu?” Nada bicara laki-laki yang lebih tinggi dari Hiroto itu mulai meninggi. “Butuh kasih sayang?” balas Hiroto. Salah seorang dari tukang pukul di belakang mendengus lucu, siswa itu langsung ditampar lengannya oleh siswa lain. Hiroto tersenyum. “Ya, kan? Kalian setuju, kan, dengan ucapanku barusan?” Takayomi meluncurkan tinjuan lambat yang Hiroto hindari dengan memiringkan badan. “Uups, meleset.” Laki-laki bersurai kemerahan itu meraung sambil terus melayangkan kepalan ke Hiroto. Tinjuan ke kepala, ke da da, ke perut, juga menendang, tapi tak ada yang kena. “Kenapa kalian malah diam? Hajar dia sekarang!” Manik Hiroto berotasi saat jumlah lawannya semakin banyak. Dia menjauhi tinjuan Takayomi, meraih lengan laki-laki itu lalu memelintirnya dan menendangnya menjauh hingga putra pemilik pabrik terkenal itu berguling di lantai atap dan tersungkur. Hiroto memicing, kemudian berkata. “Diam.” Kelima orang yang mengangkat tinggi-tinggi senjata masing-masing itu membeku di tempat. Mata mereka melotot, tapi mulut mereka tidak bisa berkata. “Sudah bisa berfungsi? Kalau begitu apa aku sudah bisa memakan nyawa mereka?” gumam Hiroto pada diri sendiri. Dia berjalan mendekat ke lima siswa itu. “Ah, untuk apa aku memakan mereka? Tujuanku ke permukaan bukan untuk itu lagi. Terus kuapakan mereka sekarang? Apa membiarkan mereka pergi akan baik-baik saja? Tapi kalau para pemburu itu tau soal ini, bakal repot ....” Selagi dia sibuk bergumam pada diri sendiri, seseorang muncul setelah membanting pintu masuk atap. Hiroto menoleh, “Itu ... bocah yang kemarin!” Kazan membuka kedua jimat yang berbentuk kain panjang yang ada di tangannya. Seketika jimat itu melesat seperti ular, menggulung kedua tangan dan kaki Hiroto ke belakang, lalu menahannya tetap berdiri di tempat. Manik Violet Kazan menatap kelima siswa yang masih di tahan, lalu menatap sinis ke Hiroto. “Siapa kau?” Suara Hiroto yang sejak tadi berubah karena diambil alih membalas. “Aku yang bersekolah di sini.” Pemburu itu mendelik. Kenapa aku merasa ada keberadaan iblis di sekitar sini? Padahal tidak mungkin ada iblis di siang hari. “Kau pemburu dari mana? Apa kau tau peraturan untuk tidak menggunakan kemampuan itu untuk melawan masyarakat?” tegas Kazan. Takayomi yang sadar, tak melihat situasi. Dia langsung bangkit dan melancarkan pukulan ke kepala Hiroto. Alhasil, anak itu pingsan dalam posisi berdiri terikat dalam Ofuda (jimat kertas yang panjang). Kazan melototi Takayomi. “Oi!” bentaknya. Hiroto yang asli sadar, mengerjap mendapati Kazan di hadapannya. “Kenapa kau di sini?” Kazan mengerut dahi. “Eh?” Hiroto berkedip. “Eh?” tirunya. ••••• Takayomi dan kelima siswa lain yang ikut bersekongkol dilaporkan Kazan ke guru sekolah. Dia juga meminta izin untuk membawa pergi Hiroto karena ada urusan penting terkait hukum yang berlaku untuk para pemburu. “Tapi, Hiroto hanya siswa biasa. Dia tak bisa melihat ataupun melawan Iblis,” jelas guru konseling. Masih ingat awal-awal Iblis naik ke permukaan? Saat itu, hanya satu keluarga yang bisa melihat Iblis dan melawannya. Siapa lagi kalau bukan keluarga Akibara. Setelah lima tahun tanah Jepang menjadi lautan darah, akhirnya manusia berhasil mengambil alih kendali di tahun 1827 dengan keberadaan keluarga Akibara yang sukarela berkelana ke segala tempat untuk mengurung Iblis. Kepala keluarga Akibara saat itu—Akibara Yataro—memiliki lima anak. Tiga laki-laki, dua perempuan. Mereka berlima bisa melihat dan melawan Iblis berkat keistimewaan dan ajaran ketat sang Ayah yang merupakan ahli pedang. Mereka menguasai teknik pembersihan iblis dengan ofuda (jimat kertas yang panjang), Alat musik tradisional, senjata khusus, dan Shigo—bahasa mati atau mengendalikan Iblis melalui bahasa. Namun, khusus anak perempuan, mereka tak diwajibkan bertarung. Mereka berperan penting tuk menurunkan darah Akibara. Orang-orang terpilih inilah yang menjadi cikal bakal pemburu masa kini. Walau mereka tidak memiliki nama depan ‘Akibara’, tapi orang-orang seperti Kazan memiliki darah salah satu dari anak Akibara Yataro dan mengemban misi mutlak untuk memburu iblis sampai mereka mati. Sudah jadi rahasia umum kalau para manusia yang diberkati ini tidak boleh menyerang manusia lain dengan kemampuan yang mereka miliki. Maka dari itu, sebagai tindakan antisipasi, pihak sekolah selalu menyelidiki garis keturunan setiap siswa baru. Jika ditemukan dia memiliki kemampuan dari keluarga Akibara, mereka akan diserahkan ke Akibara guild. Namun, tidak semua remaja terpilih sudah bisa menggunakan teknik pemburu. Kemampuan mereka muncul dengan lambat dan dimulai dengan bisa melihat Iblis. Tak heran, seorang Hayashi Kazan yang bisa menguasai teknik pemburu di usia muda membuat publik geger. Pihak sekolah sudah mengecek garis keturunan Hiroto dan laki-laki itu tidak memiliki darah Akibara dalam dirinya. Dia murni penduduk biasa. Mendengar balasan dari guru, Kazan mengerut heran. “Kalau begitu, saya akan melaporkan hal ini ke pihak Akibara dan kembali ke sini untuk membawa Yuuma Hiroto dengan surat resmi.” Bu Reika—guru konseling—mengangguk sepakat. “Baiklah, terima kasih atas kerja samanya, Kazan-kun.” Kazan menunduk hormat lalu melenggang pergi menyusuri lorong sepi. Bu Reika memperbaiki letak kacamatanya lalu mendesah kagum. “Masih muda begitu sudah jadi pemburu. Gajinya pasti banyak. Haaaa, sayang sekali aku tidak bisa melihat iblis,” gumamnya lalu kembali ke ruangan guru. Sampai di luar bangunan sekolah, Kazan menelepon mentornya, yaitu kepala Akibara Guild sekarang yang bernama Akibara Axel. “Halo, halo?” balas ramah si Kepala perkumpulan pemburu. “Axel-sama, saya menemukan satu siswa yang menggunakan teknik shigo pada siswa lain yang tidak berkemampuan.” Ada jeda sejenak. “Siapa dia?” Suaranya menjadi serius. Kazan menengadah, menatap ke jendela lantai tiga. Dia masih merasakan keberadaan iblis yang cukup kuat dari sana. “Yuuma Hiroto, di sekolah SMA Swasta Yamabuki.” “Loh, kenapa kau ada di sana, Zan?” tanya bosnya dengan panggilan akrab Kazan. Hawa ini terlalu pekat untuk dibilang bohong. Pasti ada sesuatu di bangunan ini, pikir Kazan yang masih waspada. “Zaaan?” “I-iya, Axel-sama?” “Kau yakin dia bisa menggunakan shigo? Dia masih SMA, kan? Apa dia sangat berbakat sepertimu?” Kazan memutuskan untuk berjalan ke luar area sekolah. “Saya akan kembali ke markas dan menjelaskan semuanya.” Di lantai tiga, Hiroto menatap kepergian Kazan dari balik jendela. Tidak banyak yang tau perihal kedatangan pemburu termuda itu. Salah seorang bilang Kazan mendadak masuk ke sekolah dari jendela lantai dua lalu berlari menyusuri tangga sampai ke atap. “Tapi, kenapa dia ke sini ya?” ucap salah seorang siswi yang melintas di belakang Hiroto. “Entahlah, sekarang kan siang hari, mana mungkin ada iblis. Apalagi sekolah ini kan pakai jimat,” balas siswi yang jalan bersisian dengannya. Begitu Hiroto kembali ke kelas, dia mendapati Masao duduk di bangkunya. Laki-laki bersurai mullet itu membulatkan mata, segera menghampiri. “Kau tidak apa-apa?” Siswa bersurai hitam itu tertawa singkat. “Aku baik-baik saja. Lihat? Tak ada lebam, tak ada yang berdarah.” “Tapi mereka bilang kau menghadapi si berandal itu dan lima orang lain,” lontar Masao. “Iya, tapi si pemburu itu datang tepat sebelum mereka melayangkan tinju.” Masao menghempas napas lega. “Syukurlah, aku gak ngerti sih kenapa pemburu itu ada di sini, tapi berkat dia, kau terselamatkan.” Sebenarnya yang menyelamatkanku adalah sesuatu yang lain, batin Hiroto. Manik hitam siswa itu menatap tangan Masao yang diberi plester luka. “Maaf.” Masao melirik tangannya. “Kenapa kau yang minta maaf, b**o? Ini jelas gara-gara si tuan muda kurang ajar itu,” balasnya seraya sedikit menempeleng temannya. “Urusan kami sudah selesai. Kazan sudah memberinya pelajaran.” Teman karibnya itu mengerjap dalam hening. “Kenapa?” tanya Hiroto. “Kalian sepertinya sangat akrab. Kau sudah lama berteman sama dia?” Hiroto bergidik tak suka. “Mana mau aku temenan sama dia,” tukasnya kembali ke tempat duduk.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN