8. Tubuh Yang Mengkhianati

972 Kata
Langkah kaki dua orang wanita berseragam putih terdengar nyaris tanpa suara, saat mereka mendekati Aveline. Di d**a mereka, tertera jelas bordiran huruf kapital NORD, nama perusahaan pelayaran mewah yang menaungi kapal ini. Tapi dalam benak Aveline, huruf-huruf itu lebih mirip simbol milik institusi rahasia yang menyeramkan. Tanpa banyak bicara, keduanya mencengkeram lengannya dari kiri dan kanan. Aveline berusaha menolak, tapi entah kenapa tubuhnya sudah terlalu lemah. Kakinya bahkan nyaris tak sanggup untuk menopang gerakannya. Ia hanya bisa mengerang pelan, merasa seperti boneka yang diseret menuju nasib yang tidak diharapkan. “Apa… apa yang kalian lakukan?” suaranya terdengar parau, seperti bukan suaranya. Mereka tak menjawab. Pintu kabin mewah itu terbuka dengan sensor otomatis, memperlihatkan sebuah ruangan luas bertabur lampu kristal dan sofa beludru. Ruangan itu terletak satu lantai di bawah rooftop kapal, jauh dari hiruk pikuk suara angin malam dan debur ombak. Ruangan ini… terlihat terlalu mewah, dan terlalu pribadi. Bulu kuduk Aveline pun sontak meremang, ketika kedua staf wanita itu mulai membuka gaun merah yang ia kenakan sejak makan malam tadi. Gaun itu melorot perlahan dari bahunya, menelusuri lekuk tubuhnya, lalu jatuh ke lantai dengan tanpa suara. Udara ruangan yang sejuk seketika menyapa kulitnya yang telanjang. Aveline pun menggigil tapi bukan karena dingin, melainkan karena rasa malu, marah, dan bingung yang bercampur-baur menjadi satu. Lagi-lagi untuk yang kedua kalinya hari ini, dirinya dipaksa untuk membuka baju di depan orang asing, meski mereka semua adalah wanita, Tanpa memberi penjelasan apa pun, salah satu staf mengambil sebuah bath robe dari gantungan emas. Yang ternyata adakah jubah sutra lembut berwarna hitam mengkilap, dengan bordir mawar merah besar di d**a. Jubah itu dibalutkan dengan hati-hati ke tubuh Aveline, seperti sedang menyelimuti hadiah istimewa yang hendak dikirimkan kepada seorang raja. Aveline nyaris tidak bisa melangkah ketika mereka menggiringnya menuju kamar mandi. Ruangan itu seluas ruang tamu, dengan bathtub marmer bundar yang dipenuhi air hangat yang mengepul. Aroma manis yang samar menyeruak ke udara, campuran melati, vanila, dan sesuatu yang tak bisa dikenali… sesuatu yang membuat kepala Aveline sedikit berputar. Jubah sutra itu pun lalu ditanggalkan dengan perlahan, dan untuk sesaat tubuh Aveline kembali telanjang di bawah cahaya remang lampu gantung kristal. Ingin sekali ia menutupi dirinya untuk melindungi harga dirinya… tapi lagi-lagi tubuhnya tak mau menurut. “Aku…” gumannya lirih, “…kenapa rasanya lemas sekali?” Salah satu staf wanita, yang berambut merah dan bermata abu-abu tajam, menjawab dengan datar, “Itu karena efek obat yang diberikan ke dalam makanan Anda, Nona. Obat penenang dosis ringan. Namun cukup untuk membuat tubuh Anda tak melawan.” “Obat…?” Aveline memejamkan matanya. “Kalian memberiku obat…?” “Saran saya,” lanjut wanita itu lagi masih dengan rautnta yang tenang. “Jangan dilawan, Nona. Tubuh Anda akan terasa sakit jika menentangnya. Rileks saja, dan ikuti alurnya. Jika Anda tidak membuat keributan, Tuan Dominic akan memperlakukan Anda dengan sangat baik.” Itu saran yang sangat menjijikkan. Kejam. Dan salah. Rasanya Aveline ingin membentak mereka, ingin berkata bahwa ini semua gila. Bahwa memperlakukan seseorang seperti boneka, bukanlah bentuk kasih sayang. Tapi sebuah sikap yang kejam. Namun Aveline tak mengerti kenapa suara di dalam kepalanya semakin terasa jauh. Dan tenggelam, seperti tubuhnya yang kini terbenam perlahan ke dalam bath tub. Aveline merasakan air hangat menyelimuti kulitnya, seperti selimut lembut yang memanjakan dan membuat sesuatu di dalam dirinya berdesir. Napasnya semakin terdengar memburu dan kedua matanya terpejam. Namun itu bukan karena nyaman, tapi karena ia tak kuat menghadapi rasa asing yang menjalar perlahan. Tubuhnya terasa berat seolah tak bertulang. Tapi di saat yang sama, ada sensasi panas mengendap di perut bagian bawah. Seperti gelombang yang lembut… yang perlahan berubah menjadi bara kecil. Rasanya sungguh mengerikan sekaligus membingungkan. Lalu tangan-tangan itu pun kembali menyentuh tubuhnya. Dengan lembut, mereka membalur sabun yang wangi ke kulitnya, menyapukan spons lembut ke punggung, bahu, d**a, serta pahanya. Aveline ingin meronta. Ingin berteriak. Tapi yang keluar hanya desahan samar dari bibirnya yang bergetar. “Berhenti…” bisiknya hampir tak terdengar, tapi tetap saja tak ada yang peduli. Mereka memandikan Aveline layaknya boneka porselen mahal. Mengangkat rambutnya, menyiramnya dengan air hangat, lalu mengeringkan setiap helai rambutnya dengan handuk hangat. Gerakan mereka sangat profesional. Tapi bagi Aveline, itu semua seperti siksaan yang halus namun sangat nyata. Setelah selesai, tubuhnya lalu dibungkus lagi dengan bath robe yang baru warna maroon gelap, namun kali ini jauh lebih tipis dan menggoda. Jubah itu hanya penutup semu, sebelum mereka mengganti pakaiannya dengan lingerie dua potong yang sangat sensual. Bra renda tipis yang nyaris tembus pandang, dengan potongan bawah berhiaskan pita kecil di sisi kiri. Warna maroonnya membuat kulit Aveline terlihat semakin pucat, tapi juga semakin menawan. Salah satu staf mengusap parfum lembut di leher dan pergelangan tangannya. Yang satu lagi menyisir rambutnya dengan hati-hati, membiarkannya tergerai alami. Dan saat itu juga, pintu ruangan pun terbuka. Dominic masuk, masih mengenakan kemeja hitam yang terbuka di dua kancing atasnya. Tatapan matanya menyapu tubuh Aveline seperti kilat. Ia berdiri di sana, memandangi gadis itu seakan ia adalah sajian mewah yang sudah lama ia pesan. “Luar biasa,” gumannya, suaranya rendah dan dalam. “Kupikir kamu akan sedikit menolak… tapi ternyata justru kamu terlihat sangat siap.” Aveline mengangkat wajahnya, berusaha menatap tajam pada sindiran sarkas Dominic… tapi justru kumpulan cairan bening yang tampak menggenang di sudut matanya. “Aku tidak siap. Aku tidak menginginkan ini semua.” Dominic mendekat dan mencengkeram dagu Aveline lembut untuk menahannya agar tidak menatap ke arah lain. “Tapi tubuhmu bicara lain, Aveline. Kamu bergetar dan merona. Juga napasmu yang terlalu cepat.” “Aku ketakutan!” balas Aveline dengan suara gemetar. Dominic tersenyum tipis. “Ketakutan dan gairah kadang tak bisa dibedakan.” Ia melepaskan cengkeramannya dagu Aveline, lalu menoleh pada kedua staf yang masih berdiri. “Kalian boleh keluar sekarang.” Tanpa suara, dua wanita itu berjalan keluar dengan pintu yang menutup otomatis di belakang mereka. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN